Menunggu Peran Pemda dalam Peningkatan Kualitas Pendidikan Pesantren

Oleh: Hafis Muaddab






Awal bulan Desember kemarin, pemerintah melalui Menteri Kebudayaan,
Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan memutuskan untuk menghentikan
pelaksanaan Kurikulum 2013 (K-13) di seluruh Indonesia. Keputusan tersebut
mengejutkan banyak kalangan, mengingat K-13 ini masih baru diterapkan sejak
Juli 2013 lalu. Meski sebenarnya berbicara perubahan kurikulum bukan hal
yang baru lagi di negeri ini. Setiap ada pergantian penguasa, di situlah
kurikulum juga mengalami perubahan. Tentunya, perubahan tersebut tidak
lepas dari perkembangan politik, sosial, budaya, ekonomi, dan ilmu
pengetahuan. Dampaknya pun sangat memengaruhi kualitas pendidikan itu
sendiri.






Meski disadari bersama kurikulum berdasarkan pada fungsi dan tujuan dari

pendidikan nasional, haruslah berakar pada budaya bangsa, kehidupan bangsa

masa kini, dan kehidupan bangsa masa depan. Kurikulum pendidikan sebagai
seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis, sesuai
dengan kebutuhan, tantangan, tuntutan, dan perubahan masyarakat. Keributan
kita semua menyikapi polemik K-13 adalah bukti bahwa perlu ada standarisasi
dalam rangka perbaikan mutu pendidikan.






Keributan K-13 sebagaimana kita tahu hanya berlaku bagi sekolah sekolah
formal, sedang bagi entitas seperti pesantren hal ini tidak
berlaku. Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang khas. Kegiatannya
terangkum dalam “Tri Dharma Pesantren” yaitu: 1) Keimanan dan ketaqwaan
kepada Allah swt; 2) Pengembangan keilmuan yang bermanfaat; dan 3)
Pengabdian kepada agama, masyarakat, dan negara. (Pendidikan Berbasis
Pesantren, Siradj 2014:xi). Nurcholis Madjid menyebutkan, bahwa pesantren
mengandung makna keislaman sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia.
Lembaga pendidikan pesantren biasanya terdapat lima elemen dasar yang tidak
terpisah-pisahkan, yaitu: pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab
klasik dan kyai.






Menurut mantan Presiden Abdurrahman Wahid pondok pesantren merupakan sebuah
subkultur masyarakat yang memiliki karakter, watak dan tradisi tersendiri
yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Pesantren bisa disebut sebagai
sebuah subkultur karena memiliki keunikan sendiri dalam aspek-aspek
kehidupannya seperti; pertama, pola kepemimpinan pondok pesantren yang
mandiri tidak terkooptasi oleh negara; kedua, kitab-kitab rujukan umum yang
selalu digunakan dari berbagai abad dalam bentuk kitab kuning; dan ketiga,
sistem nilai (value system) yang digunakan adalah bagian dari masyarakat
luas. Dengan bermodalkan ketiga elemen itulah, maka pondok pesantren
memiliki hubungan yang sangat erat dengan kehidupan masyarakat Indonesia,
dan sekaligus sebagai salah satu penopang pilar utama pendidikan di bumi
Nusantara ini. Sebab, pondok pesantren telah membuktikan dirinya diterima
ditengah-tengah masyarakat dan kyainya menjadi panutan. Fenomena ini telah
menunjukkan bahwa puluhan ribu bahkan ratusan lebih orang Indonesia yang
ikut merasakan pola pembelajaran pondok pesantren.






Meski sampai dengan sekarang pihak Departemen Pendidikan Nasional masih
mensyaratkan ijazah wajar Dikdas yang Pemerintah terbitkan, di samping
ijazah yang diterbitkan oleh pihak pesantren. “Pertanyaan yang masih ada
adalah mengapa harus ada dua ijazah bagi peserta didik di pesantren? Kenapa
pemerintah tidak menganggap cukup dengan ijazah yang diterbitkan pesantren
saja?”.






Menyoal Kurikulum Pesantren






Hal yang menggembirakan hari ini adalah pesantren saat ini sudah dianggap
sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, melalui Peraturan
Pemerintah (PP) PP No 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan
Keagamaan. Meski dukungan pendanaan dari pemerintah juga belum semuanya
dapat dinikmati oleh pesantren untuk memungkinkannya untuk terus berkembang
dan masih mengharuskan mencari pendanaan alternatif. Sebab bagi beberapa
pihak adanya Peraturan Pemerintah (PP) PP No 55/2007 sebagai penjabaran UU
Sistem Pendidikan Nasional dikhawatirkan akan menjebak pesantren pada
standarisasi dan reduksi pengajaran agama.






PP tersebut memungkinkan pemerintah atau lembaga mandiri yang berwenang
untuk melakukan akreditasi atas pendidikan keagamaan untuk penjaminan dan
pengendalian mutu pendidikan sesuai Standar Nasional Pendidikan (SNP).  Isi
SNP tersebut meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi
lulusan, standar pendidikan dan tenaga pendidikan, standar sarana dan
prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian
pendidikan. Keadaan ini dalam jangka panjang akan mengancam eksistensi,
karakter dan ciri khas pesantren sebagai lembaga pendidikan yang
mengajarkan keilmuan dan nilai-nilai agama (tafaqquh fiddin), sebagai
kontrol sosial dan sebagai agen pengembangan masyarakat.






PP ini hanya cocok untuk sekolah formal sedangkan pendidikan informal dan
non formal perlu dibuatkan aturan tersendiri. PP ini sangat besar
kemungkinannya akan menempatkan pesantren sebagai lembaga yang harus
ditertibkan. Aturan seperti ini akan membunuh dengan adanya standar
nasional dan Ujian Nasional (UN). Ukuran-ukuran seperti ini dianggapnya
terlalu menyederhanakan dan tidak akan mampu menghadapi kompleksitas
permasalahan di pesantren. Dengan terbitnya PP ini, pemerintah dinilainya
juga abai mempertimbangkan aspek budi pekerti yang harus dimiliki para
siswa. Jika terjadi penurunan nilai moral, maka bukan semata kesalahan
orang tua, tapi kesalahan pemerintah yang tidak bijak dalam mengelola
pendidikan. Dalam hal ini, pesantren merupakan salah satu lembaga
pendidikan yang holistik integratif. Internalisasi pendidikan karakter di
pesantren ditekankan untuk menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal
yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang
benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa
melakukannya (psikomotor). Di pesantren, anak didik sangat ditekankan pada
nilai-nilai moralitas seperti keikhlasan dan spiritualitas yang tidak bisa
dengan mudah diukur dengan standar yang dibuat dalam PP tersebut. Apa yang
ada di pesantren seperti keikhlasan dan spiritualitas mendorong kita untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jiwa keikhlasan sudah menjadi
tuntunan.






Pondok pesantren tentu tidak sama dengan sistem boarding school sebagaimana
dimaksud dalam PP tersebut, meskipun sama-sama diasramakan layaknya
pesantren. Keduanya memiliki motif dan tujuan pembelajaran yang sangat
berlainan sehingga tidak bisa distandarkan hanya dengan PP tersebut.  Meski
harus diakuinya saat ini memang terjadi perubahan seperti perlunya
persyaratan ijazah bagi politisi, lurah, bupati dan lainnya. Pesantren
dalam hal ini juga harus luwes dan mampu mengakomodasi kepentingan santri
yang berminat meniti karir di sektor publik. Meskipun begitu, ciri khas
pesantren tak boleh dihilangkan. Pesantren tetap harus bebas intervensi
dari siapa pun dalam memberikan sumbangan yang besar pada pelayanan publik.






Menunggu Keterlibatan Stakeholder Lokal






Nilai-nilai karakter pendidikan pesantren secara umum bisa diringkas dalam
tiga kata: al Khair (goodess), al Birr (virtues) dan al Taqwa (religion
commitment). Namun persoalan pendidikan pesantren bukan hanya berhenti
dengan mengenali nilai-nilai apa yang ada dan selanjutnya menerapkannya
pada lembaga formal lain. Upaya untuk menjadikan pendidikan pesantren mampu
beradaptasi dengan modernitas dan menjaga keberlanjutan pendidikannya
adalah persoalan yang harus ditemukan solusinya. Tentunya tidak akan
selesai dengan keberadaan PP, yang diakui benar tidak dapat menangkap
kekhasan pendidikan pesantren disetiap daerah di Indonesia.






Dalam peran inilah stakeholder lokal seperti pemerintah daerah perlu
membuat terobosan berupa regulasi tentang penjaminan mutu pendidikan
berbasis pesantren. Penyusunan regulasi ini tidak bertujuan mendikte pondok
pesantren agar menjalankan proses penjaminan mutu seperti diuraikan dalam
pedoman ini, melainkan pedoman ini bertujuan memberikan inspirasi tentang
factor-faktor yang pada umumnya terkandung di dalam proses penjaminan mutu
di suatu pondok pesantren. Perumusan kebijakan ini diambil karena didasari
bahwa setiap pondok pesantren memiliki spesifikasi yang berlainan, antara
lain dalam hal ukuran, struktur, sumber daya, visi dan misi, sejarah, dan

kepemimpinan.






Peran penting pemerintah daerah untuk memberikan keberpihakannya terhadap
peningkatan kualitas pendidikan berbasis pesantren. Mengingat posisi dan
arti penting penjaminan mutu suatu pondok pesantren dapat dikemukakan bahwa
di masa mendatang, bahwa eksistensi suatu pondok pesantren tidak
semata-mata bergantung pada pemerintah, melainkan terutama bergantung pada
penilaian pemangku kepentingan (steakholder), yaitu santri, orang tua,
dunia kerja, pemerintah, pengajar (ustad), tenaga penunjang, serta
pihak-pihak lain yang berkepentingan, tentang mutu pendidikan pondok
pesantren yang diselenggarakan.






Konsep kebijakan otonomi daerah merupakan bagian integral dari program
reformasi sistem pemerintahan dan pembangunan secara menyeluruh, tetapi
pendidikan adalah salah satu aspek yang mendapat perhatian sangat besar di
dalamnya. Bidang pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah serta
pondok pesantren, adalah salah satu bidang yang diotonomikan kepada
pemerintah daerah sebagai titik tolak reformasi bidang sosial dan politik,
sekaligus reformasi sistem pendidikan nasional.   Dalam konteks daerah
berbasis pondok pesantren, seperti Jombang dan daerah-daerah lain di Jawa
Timur persoalan ini sangatlah penting. Persoalan tentang belum meratanya
pencapaian kualitas hasil pendidikan pesantren, perbedaan kualitas
penyelenggaraan pesantren hingga menyangkut persoalan proses rekrutmen
pengajar (ustad), hingga kuantitas dan kualitas pengajar (ustad) yang
dibutuhkan pondok pesantren.






Dalam menghadapi semua permasalahan ini pondok pesantren kerapkali harus
berinisiatif sendiri atas keterbatasan peran pemerintah daerah. Padahal
seharusnya pendidikan berbasis pesantren mendapat perhatian secara total
bukan hanya perhatian terkait dengan hal-hal tertentu, seperti dalam isu
radikalisasi, terorisme dan ajaran-ajaran tertentu. Melalui terobosan
regulasi tentang penjaminan mutu pendidikan berbasis pesantren pemerintah
daerah dengan sendirinya telah menjawab kebutuhan masyarakatnya akan
perlindungan terhadap praktek pendidikan yang salah. []






Hafis Muaddab, Wakil Sekretaris PC GP Ansor NU Jombang






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke