ISLAM NUSANTARA (4)

Ini Tujuh Golongan Masyarakat di Zaman Wali Songo






Menurut Sejarawan NU, Agus Sunyoto, pada zaman Walisongo terdapat tujuh
struktur atau golongan masyarakat yang ditetapkan secara unik. Golongan
tersebut diukur dari keterikatan seseorang dengan kebutuhan duniawi. Makin
kuat keterikatan dengan materi duniawi, posisi seseorang paling rendah.
Sementara orang yang tak memiliki keterikatan dengan duniawi, posisinya
paling atas.




“Itulah golongan Brahmana. Mereka ini tinggal di hutan, di pertapaan, tidak
pula punya kekayaan pribadi. Nah, mereka menempati posisi paling tinggi,”
ujar Agus di hadapan para dosen Pascsarjana STAINU Jakarta.




Yang kedua, lapisan Ksatria. Golongan orang yang tidak diperbolehkan
memiliki kekayaan pribadi tapi kehidupannya dijamin oleh institusi negara.
“Waktu itu sudah ada istilah korupsi, korupsi itu kan mengumpulkan harta
untuk pribadi. Ini ndak boleh ada,” tegasnya.




“Jadi, kalau ada ksatria punya kekayaan pribadi disebut ksatria panten:
ksatria yang jatuh martabatnya. Dia tidak boleh dilayani. Kalau perlu
dikucilkan. Karena dia abdi negara kok punya kekayaan pribadi, ndak boleh,”
ungkap Agus.




Ketiga, lapisan Waisya. Itu golongan petani. Dia memiliki tugas menumbuhkan
tanaman makanan untuk manusia. “Dia lebih rendah. Kenapa? Karena sudah
punya rumah, sawah, dan ternak,” tuturnya.




Keempat, lanjut Agus, golongan Sudra. Siapa mereka? Menurut kitab
Salokantara dan Nawanadya, yang dimaksud kaum Sudra itu ada beberapa
kalangan: (1) saudagar. Orang yang memiliki kekayaan lebih. Pikirannya
selalu tentang keuntungan. Lalu (2), rentenir (orang yang membungakan
uang). Kemudian (3), orang yang meminjamkan perhiasan, pakaian, termasuk
juga tuan tanah dan pemilik aneka kekayaan lainnya.




“Jadi, makin besar kekayaan seseorang, makin rendah kedudukannya. Mungkin
konglomerat sekarang zaman dulu disebut Mahasudra. Karena kekayaannya
berlebihan,” selorohnya disambut derai tawa para dosen Pascasarjana STAINU
Jakarta.




Kelima, golongan Candala. Yakni orang yang hidup dari membunuh makhluk
lain. “Jagal, pemburu, itu masuk di sini. Bahkan, aparat negara yang
bergelar Singanegara dan Singamenggala, yaitu algojo yang membunuh
pelanggar aturan pun masuk golongan ini,” paparnya.




Urutan berikutnya, keenam ada golongan Mleca. Yaitu semua orang asing yang
bukan pribumi dan saudagar. Itu salah satu sebab Islam tidak mudah diterima
masyarakat waktu itu. “Yang bawa Islam ke sini kan orang asing, dan
saudagar yang sudra. Rangkep sudah. Jadi, pribumi ndak mau nerima,”
tandasnya.




Nah, yang paling bawah atau ketujuh adalah golongan Tuja. Mereka yang
hidupnya selalu merugikan masyarakat. Siapa mereka? Disebutkan riil, mereka
adalah para penipu, pencuri (maling), perampok, begal, dan sejenisnya.
“Pokoknya yang selalu merugikan orang lain. Koruptor masuk di sini,”
tegasnya.




Walisongo itu Brahmana




Menurut Agus, para Walisongo menempati posisi Brahmana. Para sunan tersebut
dianggap masyarakat sebagai orang suci. Oleh karena itu, Islam dengan mudah
diterima penduduk. “Jadi, kalau ada teori bahwa Islam disebarkan oleh para
saudagar, ndak masuk akal itu. Karena saudagar itu orang Sudra,” tandasnya.




Orang Sudra, lanjut Agus, tidak memiliki otoritas bicara soal agama. Karena
ada aturan yang disepakati masyarakat waktu itu. “Jadi, yang boleh bicara
tentang agama itu hanya Brahmana. Kalau Sudra yang cara berpikirnya
keuntungan materi bicara agama, bisa jadi barang dagangan nanti,” ujarnya.




Jika ditarik ke era kekinian, menurut Agus, kiai merupakan gelar
kebangsawanan brahmana. Bahkan, zaman Majapahit sudah ada gelar tersebut.
Hingga zaman Mataram, orang yang tidak bergelar kiai tidak boleh mengajar.
“Nggak boleh orang biasa menggunakan gelar kebangsawanan itu. Apalagi
mengajar atau mendidik,” tandasnya. []






(Musthofa Asrori/Fathoni)






Sumber: NU Online






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke