Memberi Arah RUU Perlindungan Umat Beragama

Oleh: Rumadi Ahmad






Rencana Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin untuk memasukkan draf
Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB) ke DPR untuk
menjadi Program Legislasi Nasional (prolegnas) 2015 tertunda.




Hal ini berarti Kementerian Agama sebagai inisiator RUU tersebut punya
waktu lebih panjang untuk menyusunnya. Sejauh yang penulis pantau,
Kementerian Agama, baik melalui Badan Penelitian dan Pengembangan
(Balitbang) maupun Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) sudah melakukan
serangkaian diskusi untuk menyusun Naskah Akademik dan draf RUU. Namun
hingga kini belum tampak hasilnya yang bisa didiskusikan bersama, baik
Naskah Akademik maupun draf RUU-nya.




Dalam berbagai kesempatan, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin
mengemukakan, RUU PUB nanti paling tidak mengatur lima hal yang dianggap
paling krusial. Lima hal tersebut adalah: 1) Hak penganut aliran keagamaan
di luar enam agama yang resmi diakui (Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Buddha dan Konghucu).




Hal ini sudah lama menjadi kerisauan bersama dan cenderung memunculkan
konflik. Pengikut agama di luar yang enam itu merasa, pemerintah kurang
menyapa dan menfasilitasi mereka. Padahal konstitusi mengamanahkan
perlindungan tanpa pengecualian terhadap semua warga negara; 2. Soal
pendirian rumah ibadah. Hal ini cukup kompleks karena melibatkan banyak
lembaga.




Tidak hanya kemenag, tapi juga FKUB dan pemda karena terkait dengan tata
ruang; 3) Isu penyiaran agama. Dewasa ini semua umat agama kian marak
menyiarkan ajaran agamanya dengan berbagai cara. Karena itu perlu ada
aturan yang boleh dan tidak boleh disiarkan di ruang publik. Demikian pula
cara-cara penyiaran agama yang agitatif perlu diatur; 4) Isu kekerasan
terhadap minoritas yang disesatkan; 5) Isu kian meningkatnya angka
intoleransi.




Hal itu diduga berpangkal dari pemahaman agama yang sempit dan mudah
menuduh pihak lain sebagai musuh. Di luar lima hal tersebut sebenarnya ada
persoalan lain yang layak dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam RUU PUB,
yaitu masalah penistaan agama dan ujar kebercian (hate speech) terhadap
pihak lain, baik yang berbeda agama maupun seagama.




Hal-hal tersebut, idealnya harus dirumuskan peta persoalannya agar regulasi
yang akan disusun tidak salah arah, atau justru menjadi sarana legitimasi
tindakan-tindakan yang bertentangan dengan spirit awal penyusunan RUU PUB
ini. Saya sebenarnya ingin menguraikan satu per satu persoalan di setiap
isu. Namun, tentu bukan di sini karena ruangan yang terbatas.




Arah Penyusunan RUU PUB




Hal yang paling penting dalam setiap penyusunan regulasi adalah memberi
arah yang tercermin dalam asas-asas RUU itu. Dalam kaitan RUU PUB ini harus
diarahkan untuk beberapa tujuan sebagai berikut. Pertama, memastikan bahwa
semua warga negara, apapun agama dan keyakinannya harus diperlakukan secara
adil dan setara.






Perlakukan secara adil dan setara dalam arti semua warga negara dengan
berbagai jenis keyakinan keagamaannya harus mendapat perlindungan dan
pelayanan kewarganegaraan yang equal. Dengan kata lain, RUU PUB harus bisa
menghilangkan seluruh bentuk diskriminasi berdasar agama dan keyakinan.




Meski Indonesia sudah punya UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis, namun UU ini belum memasukkan agama dan
keyakinan sebagai persoalan yang harus dibebaskan dari diskriminasi. UU ini
hanya terfokus pada diskriminasi ras dan etnis dimana agama tidak menjadi
bagian di dalamnya.




Terkait dengan hal ini, harus diakui, hingga menjelang 70 tahun merdeka
Indonesia belum terbebas dari diskriminasi berdasar agama dan keyakinan. Di
satu sisi negara sudah memberi pemenuhan yang melimpah untuk menjalankan
agama dan keyakinannya, namun di pihak lain ada kelompok masyarakat yang
hak eksistensialnya masih dipersoalkan.




Kedua, RUU PUB harus memberikan jaminan perlindungan kepada warga negara
untuk memeluk agama dan keyakinan, tanpa dibayang-bayangi penyesatan dan
kriminalisasi. Keyakinan keagamaan tak dapat dikriminalkan. Prinsip pokok
ini harus dipegang teguh oleh perumus RUU ini agar tidak terombang-ambing
dengan berbagai pendapat.




Selama ini sering terjadi kriminalisasi keyakinan keagamaan karena dianggap
sebagai kelompok sesat, bahkan dianggap melakukan penistaan agama. Ketiga,
terkait dengan poin kedua, kriminalisasi dengan tuduhan penistaan agama
tidak bisa diarahkan pada keyakinan keagamaan dan orang-orang yang
mengembangkan pemikiran keagamaan yang berbeda dengan mainstream.




Kriminalisasi harus lebih diarahkan pada tindakan atau ucapan bernada
kebencian atau mengancam keselamatan seseorang karena keyakinan yang
berbeda (hate speech). Selama ini yang terjadi justru sebaliknya.
Orang-orang yang keyakinan keagamaannya disesatkan dikriminalisasi,
sementara orang-orang yang jelas-jelas memberikan ancaman dengan ucapan
kebencian, dibiarkan bebas dari tindakan hukum.




Dengan demikian, penistaan agama hanya bisa kenakan kepada orang-orang yang
memang jelas punya intense dan maksud merendahkan, menghina dan melecehkan
keyakinan keagamaan seseorang. Keempat, RUU PUB harus mampu membuka ruang
toleransi seluas-luasnya atas berbagai keanekaragaman dan perbedaan. Hal
ini penting ditegaskan karena banyak aturanaturan kehidupan keagamaan yang
justru mempersempit ruang toleransi yang hidup dalam masyarakat.




Penyempitan ruang toleransi itulah yang menyuburkan tindak kekerasan dan
intoleransi yang beberapa tahun terkahir ini banyak terjadi. Yang penulis
maksud dengan memperluas ruang toleransi adalah adanya regulasi yang mampu
memberikan perlindungan maksimal atas keyakinan keagamaan dan berbagai
bentuk ekspresinya di satu sisi, dan tidak mudah digunakan
kelompok-kelompok intoleran untuk melegitimasi tindakan intoleransinya.




Regulasi terkait pendirian tempat ibadah atau tata cara penyiaran agama
harus diletakkan dalam konteks ini. Sedetail apapun tentang Peraturan
Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No. 9 dan 8 Tahun
2006yangdidalamnya mengatur tata cara pendirian tempat ibadah, tapi karena
ruang toleransi dipersempit, maka aturan ini tetap menimbulkan banyak
persoalan di lapangan.




Demikian juga dengan tata cara penyiaran agama yang diatur dalam Keputusan
Menteri Agama No. 70 Tahun 1978, lebih bernuansa mengatur kompetisi
merekrut pemeluk agama daripada memperluas arena toleransi dalam kehidupan
beragama. Nah, menurunnya intoleransi merupakan buah atau hasil dari
perluasan arena toleransi tersebut disertai dengan penegakan hukum yang
konsisten.






Angka intoleransi yang tinggi beberapa tahun terakhir merupakan buah dari
regulasi yang mempersempit ruang toleransi dan penegakan hukum yang jauh
dari semangat keadilan dan perlindungan keyakinan keagamaan. Kelima,RUU PUB
harus bisa mereformasi dan merevisi sejumlah regulasi keagamaan yang sudah
tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman, bukan sekedar mengkompilasi
berbagai regulasi keagamaan kemudian dinaikkan statusnya menjadi
undang-undang.




Sebagai contoh terkait dengan penodaan agama. Dalam putusan Mhkamah
Konstitusi NO. 140/PUU-VII/2009, meskipun MK memutuskan delik penodaan
agama tidak bertentangan dengan konstitusi, tapi MK juga menyetujui
perlunya memperbaiki rumusan delik penodaan agama baik pada lingkup formil
perundang-undangan maupun secara substansi agar memiliki unsur-unsur
materiil yang jelas sehingga tidak menimbulkan kesalahan penafsiran dalam
praktik seperti yang sekarang ini sering terjadi.




Demikianlah, bila arah perumusan RUU KUB bisa digerakkan ke arah ini,
penulis yakin Indonesia akan semakin terhormat di mata dunia internasional,
dan situasi kehidupan beragama kita semakin baik. []






Koran SINDO, 11 Maret 2015
Rumadi Ahmad, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta; Peneliti Senior the WAHID Institute






-- 
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke