Dua Pesantren, Dua Budaya (3)

Oleh: Azyumardi Azra




Dua pesantren, dua budaya. Kedua pesantren: an-Nuqayah Guluk-guluk,
Sumenep, Madura, dan MTI Candung, Bukittinggi, Sumatra Barat, jelas
menampilkan gambaran berbeda. Sistem sosial, adat, dan corak Islam yang
tumbuh dan berkembang dalam masing-masing suku sangat memengaruhi
dinamika-pasang dan surutnya pesantren dan juga lembaga pendidikan Islam
lain semacam madrasah.




Dalam masyarakat Madura, keterkaitan kuat antara pesantren dan masyarakat
masih bertahan. Meminjam kategori klasik Deliar Noer, Islam tradisionalis
yang menekankan ketundukan pada ulama yang berpusat di pesantren sebagian
besar juga masih berlanjut. Karena itu, pesantren tetap bertahan.




Sementara dalam masyarakat Minang terlihat ada kerenggangan-jika tidak
keterputusan-di antara masyarakat dan adat yang konon 'tidak lapuk karena
hujan dan tidak lekang karena panas' dengan pesantren. Islam modernis yang
hegemonik di Sumatra Barat, justru menggugat otoritas ulama yang berpusat
pada surau, lembaga pendidikan Islam tradisional Minang. Melekatnya citra
yang tidak positif terhadap surau memaksa para pengasuhnya mengadopsi
istilah pesantren.




Adopsi istilah pesantren khususnya sejak 1970-an oleh lembaga pendidikan
Islam tradisional di luar Pulau Jawa menjadi momentum yang tidak pernah
bisa lagi dimundurkan. Perubahan ini sekaligus merupakan konsolidasi
lembaga pendidikan Islam tradisional yang sangat krusial bagi perjalanan
pesantren dalam masa selanjutnya sampai sekarang.




Penting dicatat, sejak masa awal sejarahnya berbarengan dengan peningkatan
penyebaran Islam sejak akhir abad ke-13, pesantren memainkan peran lebih
daripada sekadar lembaga pendidikan. Sejak awal, pesantren menjadi salah
satu lembaga sentral dalam proses Islamisasi. Adalah dari pesantren bermula
transmisi keilmuan dan kecakapan keislaman.




Mengalami ekspansi dan konsolidasi secara fenomenal sejak abad ke-19,
pesantren menjadi pusat keilmuan dan perlawanan terhadap kolonialisme
Belanda. Hal terakhir ini terjadi tidak lain karena pesantren sekali
menjadi pusat tasawuf dan tarekat yang sejak akhir abad ke-18 mengalami
'eksklusivisasi' dan 'radikalisasi'. Seperti dicatat sejawaran Sartono
Kartodirdjo, semua perkembangan terkait pesantren dan tarekat ini
memunculkan 'kebangkitan agama' (religious revivalism) dengan semangat
antikolonial yang terus meningkat.




Masa Orde Lama menyaksikan pesantren yang tetap bertahan dalam
kesendiriannya -tanpa kemajuan berarti. Dalam perspektif perbandingan,
lembaga pendidikan Islam tradisionalis berupa madrasah konvensional di
wilayah dunia Arab, misalnya sejak 1960-an, mengalami integrasi ke dalam
sistem pendidikan umum. Hasilnya, sekarang hampir tidak ada lagi lembaga
pendidikan sebanding (comparable) dengan pesantren. Karena itulah,
Indonesia merupakan negara Muslim terkaya dengan warisan lembaga pendidikan
Islam tradisionalnya.




Pesantren menemukan momentum sejak masa Orde Baru ketika pemerintah
menginginkan pesantren tidak hanya sebagai 'objek', tetapi lebih lagi
sebagai 'subjek', pelaku pembangunan masyarakat Muslim, khususnya di
perdesaan. Di sini pesantren diharapkan meningkatkan perannya dalam
pembinaan koperasi; ekonomi mikro, kecil, dan menengah; kesehatan
masyarakat; pemeliharaan lingkungan hidup, keluarga berencana, dan
seterusnya.




Harapan pada pesantren datang tidak hanya dari pemerintah, tetapi
lebih-lebih lagi dari masyarakat Muslim sendiri. Secara konvensional,
harapan umat itu mencakup pesantren sebagai lokus transmisi ilmu Islam,
pemeliharaan ortodoksi dan tradisi Islam Indonesia, dan kaderisasi calon
ulama.




Mobilitas pendidikan, sosial, dan ekonomi umat sejak 1980-an sampai
sekarang meningkatkan ekspektasi pada pesantren. Pesantren diharapkan tidak
hanya membekali para santri dengan ilmu keislaman, tetapi juga dengan ilmu
umum yang memperbesar ruang gerak mereka untuk melanjutkan pendidikan. Atas
alasan itu, pesantren juga mengembangkan pendidikan umum yang umumnya
terbentuk melalui madrasah umum sejak dari tingkat dasar (ibtida'iyah),
menengah pertama (tsanawiyah), dan menengah atas (aliyah). Dalam bidang
pendidikan ini saja, banyak pesantren kini menjadi holding instution,
lembaga induk yang mengikat berbagai institusi pendidikan sejak dari
tingkat TK/RA, dasar, menengah, dan tinggi, baik yang berbasiskan
pendidikan ilmu umum maupun agama.




Pesantren juga menjadi holding institution dalam bidang nonkependidikan,
tegasnya dalam lapangan pengembangan masyarakat, baik terkait ekonomi,
teknologi, kesehatan, dan seterusnya. Dengan demikian, pesantren menjadi
lembaga yang sangat esensial dalam lingkungan masyarakatnya.




Dua pesantren, dua budaya. Banyak pesantren tidak memiliki kapasitas
menjadi holding institution. Namun, harapan masyarakat tidak berkurang.
Menyangkut pesantren besar semacam an-Nuqayah, misalnya, Usep Fathuddin,
peneliti senior yang terlibat aktif dalam program LP3ES sejak pertengahan
1970-an untuk pengembangan pesantren, menyarankan perlunya penelitian lebih
lanjut tentang berapa besar hasil pesantren terhadap lingkungannya; apakah
masyarakat sekitarnya menjadi lebih terdidik, lebih makmur, lebih damai
-tidak lagi berlaku seperti zaman jahiliyah dengan balas membalas secara
kekerasan? Pertanyaan-pertanyaan dapat menjadi langkah awal meneliti
pesantren masa kini. []






REPUBLIKA, 12 March 2015
Azyumardi Azra  ;  Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta; Ketua Teman Serikat Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan






-- 
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke