Seriuskah NU Akan“Bicara Keras” Masalah Agraria?

Oleh: Mh Nurul Huda*






Pertama-tama judul bernada tanya di atas sama sekali tidak bermaksud
meragukan pikiran-pikiran dan komitmen NU untuk mengatasi masalah agraria.
Bahkan sudah wajar dan sangat masuk akal bila para ulama dan kiai kita
memberi porsi sedikit lebih besar pada masalah ini.




Mengingat keterkaitan NU secara langsung dengan kehidupan warga Nahdliyin
(rakyat) di pedesaan dan kehidupan bangsa secara keseluruhan.




Dapatlah dikatakan, para kiai dan ulama sendiri adalah “back bone” (tulang
punggung) NU. Sedangkan NU adalah tulang punggung warga Nahdliyin yang,
bersama-sama elemen masyarakat yang lain, menyadari dirinya sebagai tulang
punggung kehidupan bangsa. Sudah sepantasnya “NU and the back bone”
memikirkan secara serius masalah-masalah agraria yang merupakan sekian
masalah penting yang dihadapi masyarakat kita di pedesaan dan perkotaan
baru dewasa ini.




Dalam seminggu terakhir, misalnya, penulis membaca pernyataan Ketua PBNU H
Saifullah Yusuf dua hari berturut di media ini (NU Online, 10-11/3).
Nahdlatul Ulama, katanya, perlu “bicara keras” soal tanah atau politik
agraria. Diawali dengan pembahasan oleh para ulama dan kiai pada forum
muktamar NU di Jombang, Agustus mendatang, pokok-pokok yang dihasilkan akan
menjadi dasar pijakan moral untuk mendesak pemerintah agar menyusun
regulasi tata kelola agraria dan SDA yang jauh lebih baik.




Begitulah memang yang perlu diketahui oleh khalayak umum, mengenai tata
cara jamiyyah NU terlibat dalam kehidupan politik. Sikap institusinya
ditentukan oleh hasil keputusan para ulama dan kiai NU (dari cabang-cabang
seluruh Indonesia dan kini ditambah delegasi pengurus cabang istimewa NU di
seluruh penjuru dunia) yang didasarkan pertimbangan keagamaan melalui forum
debat dan musyawarah keagamaan (disebut juga bahtsul masail). Hasil
keputusan itu lalu diserahkan ke parlemen (pusat maupun daerah) lewat
partai-partai politik untuk diperjuangkan atau ke pihak pemerintah (pusat
maupun daerah) untuk mengubah/memperbaiki perundang-undangan dan konstitusi
yang ada. Wilayah perjuangan NU memang mengutamakan persuasi moral yang
bisa jadi punya dimensi politik kepada pemerintah, yang dapat dibedakan
dari partai-partai politik atau banyak LSM yang cenderung langsung
melakukan tekanan-tekanan politik an sich.




***


Semua pihak, termasuk warga Nahdliyin yang mengalami masalah agraria di
berbagai daerah, pastilah tak sabar menunggu buah keputusan muktamar yang
masih 4 bulan lagi. Mereka tidak sabar lagi menanti hasil baik yang
diharap-harapkan. Suatu ketaksabaran yang dipikir-pikir dapatlah kita
pahami, lantaran banyaknya masalah agraria yang tak kunjung terselesaikan
menimpa kehidupan sehari-hari mereka.




Alih fungsi lahan, misalnya di Pati atau wilayah pertambangan semen di
kawasan Kendeng, Rembang, tak sesuai aturan undang-undang hingga berpotensi
tinggi mengancam sumber-sumber air warga dan merusak lingkungan setempat.
Belum lagi di daerah lain, masalah berkaitan dengan ganti rugi yang tak
berasas keadilan. Atau, kebutuhan wajar pemilik lahan sendiri yang
menginginkan keuntungan yang sepadan, tidak jomplang, dengan para pelaku
industri, pengusaha domestik atau non-domestik. Banyak dijumpai

kesamaan-kesamaan masalah di sejumlah daerah, di samping perbedaannya yang

khas di masing-masing tempat. Di antara kesamaan itu ialah pemerintah dan
elit politik sendiri seolah tutup mata dan telinga. Mereka tidak hadir
bersama masyarakat, tapi justru merapat bersama juragan modal.




Lalu, keadaan hiduplah yakni pengalaman eksistensial (pribadi maupun
kolektif) yang serba tidak didengarkan dan tidak dipedulikan, diabaikan dan
dipinggirkan, bersamaan dengan perasaan diperlakukan tidak adil yang tak
tertahankan, akhirnya memaksa mereka melawan. Warga setempat yang kadang
lebih banyak kaum perempuannya “berjihad” di bawah moncong senapan dari
pria-pria perkasa berseragam atau kepalan tangan preman brangasan. Mungkin
hanya beruntung saja bila di antara mereka dan pimpinannya tidak dicap
dengan label “komunis” yang berarti risiko fisik dan politik akan jauh
lebih besar dibandingkan kuatnya pesan moral perjuangan yang hendak
disampaikan dan kemungkinan tercapainya tujuan mereka itu sendiri.




Kekeliruan cara penanganan maupun kekeliruan persangkaan terakhir itu
perlulah dijelaskan sejelas-jelasnya dan diluruskan selurus-lurusnya,
sejelas dan selurus jembatan shirotol mustaqim. Diketahui secara umum bahwa
di sejumlah tempat, para warga yang menuntut keadilan ini “ditemani” oleh
sekumpulan anak muda yang bergairah, gigih, teguh dan secara ekstasif
menyadari kedalaman tugas kekhalifahannya berbela-rasa dengan masyarakat.
Mereka mondar-mondir dari kota ke kota dan dari kampung ke kampung,
menginap di mushola dan rumah warga untuk menemani, menyemangati,
mendampingi, mengaji bersama, mengarang buku dan berbagi pengetahuan baik
secara online maupun offline dengan khalayak umum.




Sudah sepantasnyalah bila penulis kolom ini menyebut satu di antara mereka,
yakni anggota Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA).
Dukungan besar yang diberikan khusus oleh Rais ‘Aam PBNU KH A Musthofa
Bisri kepada paguyuban anak muda NU ini seakan menambah energi batini atas
apa yang telah mereka miliki. Mereka makin bertenaga, energinya tambah
berlipat-lipat. Mungkin inilah buah arti kata “hikmah” atau “falsafat” yang
dikenal dalam tradisi filsafat Islam, sejak Abu Yusuf Ya‘qub ibn Ishaq
Al-Kindi, Ikhwanus Shofa hingga Abdurrahman Ad-Dakhil. Hikmah dalam tradisi
ini berarti manunggaling ilmu dan spiritualitas, atau kesatuan “rechenhaft
alias rasionalitas dan pengarah hidup” dalam suatu aksi perbaikan terus
menerus yang menjadi “jalan hidup” bagi para pelakunya.




Singkat kata, menentang ketidakadilan dan membela kaum mustadhafin
(tertindas) adalah motif-motif keagamaan para aktivis muda NU di atas, yang
dimaknai suatu panggilan profetik (kenabian) seorang muslim dari
penghayatan imannya yang paling dalam. Ketundukan semata kepada Yang Ilahi
dan komitmen bela-rasa sejatinya kepada penderitaan umat manusia adalah
postulat agung bagi segala tindakan.




Hal ini dirasa perlu dibeberkan oleh penulis, untuk menepis
persangkaan-persangkaan keliru dan kurang arif yang telah disinggung di
muka yang berpotensi membelah rakyat dan para pemimpinnya atau menjauhkan
pemimpin dari umatnya. Kekeliruan atau kesalahpahaman ini sebetulnya juga
dampak dari sejarah politik masa lalu pada mempengaruhi psikologi dan
mentalitas kita. Kombinasi pertentangan pada masa lampau antara komunisme
dan kapitalisme-imperialistik menyusul tawaran model baru pembangunan
berorientasi pertumbuhan ekonomi belaka yang menguntungkan pemodal besar
dan meminggirkan rakyat kecil dengan bertopangkan tatanan yang serba
militeristik di samping birokrasi dan parlemen yang serba elitis,
kenyataannya telah menempatkan masyarakat Islam di masa lampau dalam posisi
serba sulit dan dilematis.




Namun kini seiring dengan tumbuhnya kesadaran keberagamaan yang makin
matang, kedewasaan kita dalam memaknai hak dan kewajiban asasi manusia, dan
proses demokrasi yang tentu saja masih perlu kita tingkatkan mutunya, maka
kehidupan kebangsaan yang lebih manusiawi dan berkeadaban dapat kita
upayakan secara bersama-sama.




***


Kembali kepada masalah agraria yang dilontarkan Ketua PBNU H Saifullah
Yusuf di muka. Sebuah tema yang rencananya dibahas dalam muktamar
mendatang. Ini berarti forum tersebut harus membicarakan masalah-masalah
pertanahan yang berdimensi luas. Di antaranya kepemilikan tanah, alih
fungsi dan pemanfaatan lahan, konflik sumber daya alam (SDA), masalah

kerusakan lingkungan hidup hingga ketahanan pangan serta mencari solusi
yang paling feasible (mungkin dan dapat dikerjakan) atas sekian masalah
itu. Sebagian tema tersebut, misalnya pemeliharaan lingkungan hidup, sudah
dibahas dalam forum muktamar atau musyawarah nasional NU di tahun-tahun
sebelumnya. Karenanya cukuplah ia dipertajam menurut
perkembangan-perkembangan terkini.




Barangkali yang tak kalah penting untuk dibahas adalah menyangkut paradigma
dan strategi pembangunan yang langsung terkait dengan tata kelola agraria
dan SDA. Para ahli menyebutnya “mind-set”. Soal tata kelola ini tidak
sekadar menyangkut ganti-rugi untuk pemilik lahan dalam proses alih fungsi,
tetapi juga proyeksinya terhadap ketahanan pangan, keberlangsungan
lingkungan hidup (misalnya sumber air atau potensi bencana) serta kehidupan
ekonomi warga dan anak cucunya sendiri di masa mendatang. Sejumlah
peraturan dan perundang-undangan telah mengatur hal ini, tetapi seringkali
terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan sehingga warga selalu menjadi korban.




Banyak kasus agraria yang merugikan kehidupan masyarakat dan
karakteristiknya sangat beragam. Oleh karena itu penting pula untuk
mengidentifikasi masalah-masalah yang terjadi di berbagai provinsi dan
kabupaten di mana wilayah-wilayah dan cabang-cabang NU berada. Kiranya
sangat beruntunglah NU karena banyak kadernya memiliki keahlian dan
mengikuti perkembangan masalah agraria di berbagai tempat. Front Nahdliyin
misalnya dapatlah terlibat dalam pembahasan semacam ini, termasuk
melibatkan warga yang mengalami masalah tersebut. Selain itu juga perlu
kita pikirkan pembelaan-pembelaan macam apa yang dapat dilakukan oleh
lembaga-lembaga dan banom-banom NU berkaitan dengan masalah yang dihadapi
warganya.




Sebagaimana dinyatakan H Saifullah Yusuf, lahan pertanian belakangan ini
semakin surut dan tanah pertanian milik para petani juga semakin sempit.
Sementara di masa depan kebutuhan atas pangan makin meningkat, dan memaksa
impor produk pertanian dari Vietnam, Filipina, dan lainnya. Untuk itu
selain koridor pertambangan, pemerintah akan segera membuka koridor
pertanian baru di wilayah luar Jawa, sementara di Pulau Jawa intensifikasi
pertanian masih berlanjut dengan pengutamaan lebih besar pada industri
jasa. Begitulah menurut desain Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang disusun oleh pemerintah SBY
kemarin. Itu berarti sektor pertanian akan menjadi industri besar terutama
di luar Jawa, untuk mengganti pasokan impor yang selama ini menggelisahkan
para petani sendiri.




Adanya perkembangan ini memungkinkan pemain-pemain baru di bidang industri
pertanian akan masuk. Di antaranya perusahaan asing seperti Monsanto dan
lainnya untuk kepentingan bisnis dalam rantai permintaan dan suplai
kebutuhan pangan nasional dan dunia. Mereka akan mencari lahan luas di luar
Jawa atau mengintegrasikan lahan-lahan kecil milik petani dengan sistem
sewa dengan konsekuensi pemiliknya menjadi buruh di lahannya sendiri.
Selain itu bibit yang digunakan Monsato adalah bibit berpaten yang setiap
saat dapat menjerat petani lokal yang memanfaatkannya atau memanfaatkan
varian bibitnya tanpa ijin. Barangkali kenyataan-kenyataan inilah yang
dibaca oleh Ketua PBNU H Saifullah Yusuf sehingga dapat dipahami sepenuhnya
bila ia menganggap penting NU “bicara keras” soal agraria.




Jika demikian kenyataannya maka cukuplah alasan yang mengharuskan “NU and
the back bone” memikirkan masalah ini. Wallahu a’lam bis showab




*Mh Nurul Huda, Aktivis Forum NU 1926, tinggal di Jakarta.






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke