Meluruskan “NU Garis Lurus”

Oleh: M. Alim Khoiri






Menjelang muktamar ke-33 NU yang rencananya akan dilaksanakan di kota
Jombang, 1-5 Agustur 2015, sudah banyak pekerjaan rumah yang menanti.
Dengan jargon “NKRI harga mati”, NU tak hanya dituntut untuk mampu mengawal
keutuhan dan kesatuan negeri tercinta, tetapi juga harus mampu mengatasi

persoalan-persoalan kecil ‘rumah tangga’ yang jika terus menerus diabaikan
justeru akan merusak kesatuan dan keutuhan internal NU.






‘Kerikil’ terbaru NU saat ini adalah munculnya fenomena “NU Garis Lurus”.
Ini mengesankan bahwa ternyata ada juga NU yang tidak lurus. Mirisnya,
kelompok yang mengatasnamakan “NU Garis Lurus” ini tak segan-segan mencaci
kelompok NU lain yang tak sependapat dengan mereka. Tokoh-tokoh besar NU
macam Gus Dur, Profesor Quraish Shihab dan Kang Said pun tak lepas dari
serangan mereka.






Di dunia maya, “NU Garis Lurus” ini populer melalui media sosial facebook

dan jejaring sosial twitter dengan nama akun “NU GARIS LURUS”. Mereka juga
terkenal lewat situs pejuangislam.com yang diasuh oleh ust. Luthfi Bashori.
Tak hanya mendaku sebagai pejuang Islam atau NU Garis Lurus, kelompok ini
juga mengklaim sebagai etafet pemikiran dakwah Sunan Giri. Gerakan ini,
boleh jadi merupakan semacam bentuk tandingan atau perlawanan terhadap
faham-faham pemikiran yang mereka anggap sesat macam pluralisme,
sekularisme, liberalisme atau faham “Syi’ahisme”. Menurut mereka,
faham-faham tersebut tak boleh ada dalam NU, tokoh-tokoh NU yang dianggap
memiliki prinsip-prinsip ‘terlarang’ itu tak layak dan tak boleh ada dalam
NU.






Paradigma “NU Garis Lurus” yang berusaha untuk ‘meluruskan’ NU dari
faham-faham yang mereka anggap bengkok ini, sebetulnya sah-sah saja. Hanya,
masalahnya ada pada cara berdakwah. Jika kelompok “NU Garis Lurus” ini
mengaku sebagai pewaris perjuangan dakwah Sunan Giri, maka mestinya mereka
berkaca pada beliau dalam beberapa hal;






Pertama, sejarah mencatat bahwa, dakwah Sunan Giri banyak melalui berbagai
metode, mulai dari pendidikan, budaya sampai pada politik. Dalam bidang
pendidikan misalnya, beliau tak segan mendatangi masyarakat secara langsung
dan menyampaikan ajaran Islam. Setelah kondisi dianggap memungkinkan beliau
mengumpulkannya melalui acara-acara seperti selametan atau yang lainnya,
baru kemudian ajaran Islam disisipkan dengan bacaan-bacaan tahlil maupun
dzikir. Dengan begitu, masyarakat melunak hingga pada akhirnya mereka
memeluk Islam. Kanjeng Sunan Giri tidak mengenal metode dakwah dengan cara
mencela atau bahkan menghina.






Kedua, dalam bidang budaya kanjeng Sunan Giri juga memanfaatkan seni
pertunjukan yang menarik minat masyarakat. Beliau juga dikenal sebagai
pencipta tembang Asmaradhana, Pucung, Cublak-cublak suweng dan Padhang
bulan. Lalu tentu saja beliau masukkan nilai-nilai keislaman di dalamnya.
Itu semua dilakukan kanjeng Sunan demi tersebarnya ajaran Islam yang damai.
Kanjeng Sunan -sekali lagi- tidak mengajarkan metode berdakwah dengan
saling mencemooh atau menghujat mereka yang tak sependapat.






Ketiga, di bidang politik, kanjeng Sunan Giri dikenal sebagai seorang raja.
Dalam menjalankan kekuasaannya, beliau tak pernah berlaku otoriter dan
semaunya sendiri. Beliau selalu menggunakan cara-cara persuasif untuk
menarik minat masyarakat terhadap ajaran Islam. Beliau tidak mencontohkan
strategi dakwah dengan cara mencaci maki mereka yang tidak sefaham.






Wa ba’du, Terlepas dari apakah “NU Garis Lurus” ini memang betul-betul
berasal dari kalangan nahdliyyin ataukah sekedar ulah oknum yang tak
bertanggung jawab, yang jelas supaya betul-betul lurus, “NU Garis Lurus”
mesti mengubah gaya dakwahnya yang cenderung ekstrim itu. “NU Garis Lurus”
juga harus bisa memahami bahwa di dalam tubuh NU selalu penuh dinamika.
Perbedaan pendapat menjadi sesuatu yang biasa dan berbeda jalan pemikiran
adalah hal yang niscaya. Jika “NU Garis Lurus” terus bersikukuh dengan

strategi kerasnya, maka yang terjadi adalah sebaliknya. Alih-alih mendaku
sebagai kelompok “NU Garis Lurus”, yang ada mereka justeru menjadi “NU
Garis Keras”. Wallahu a’lam. []






M. Alim Khoiri, warga NU tinggal di Kediri






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke