Serbuan Tiga Anak Panah Ayat Al-Qur’an





Bagi yang akrab dengan dunia tasawuf, nama Fudhail bin ‘Iyadl tentu
tidaklah asing. Kezuhudan dan pikiran-pikiran asketisnya dikagumi para
ulama hingga sekarang. Tapi siapa sangka, tokoh sufi kenamaan ini ternyata
menyimpan rekam jejak sebagai penyamun.




Lebih dari sekadar perampok amatiran. Kehadiran Fudhail selalu menyusutkan
nyali para kafilah yang dalam perjalanan. Peristiwa ini seperti dikisahkan
dalam al-Aqthafud Daniyyah fi Idhlahi Mawa’idhil ‘Ushfuriyyah.




“Ada Fudhail bin ‘Iyadl membawa pedang. Apa yang harus kita lakukan?” kata
salah seorang dari rombongan kafilah. Mereka yang terdiri dari tiga
kelompok itu panik. Padahal malam itu Fudhail tak berbuat apa-apa selain
menyandarkan kepala ke pangkuan pelayannya.




“Biarlah kami memanahnya. Jika kena, kita meneruskan perjalanan. Namun jika
tidak, kita kembali,” kata dari kelompok pertama.




Tidak ada busur atau anak panah di sana. Karena senjata yang dimaksud
kelompok pertama ini adalah bacaan ayat al-Qur’an:






أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ




“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati
mereka mengingat Allah.”




Fudhail menjerit hingga tersungkur. Pelayannya bingung mengira dada tuannya
benar-benar tertusuk anak panah. Tidak ditemukan benda asing apapun yang
menancap di tubuh Fudhail yang kesakitan tersebut. Ketika sadar Fudhail
berujar, “Aku terkena tusukan panah Allah SWT.”




Sejurus kemudian, serbuan “anak panah” lain datang dari kelompok kedua:




فَفِرُّوا إِلَى اللَّهِ إِنِّي لَكُم مِّنْهُ نَذِيرٌ مُّبِينٌ






"Maka segeralah kembali kepada (mentaati) Allah. Sesungguhnya aku seorang
pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu."




Fudhail kembali histeris. Kali ini lebih keras dari yang pertama. Seperti

sebelumnya, sang pelayan tak mengerti dengan apa yang dialami tuannya itu.

“Hai pelayanku, aku terkena anak panah Allah.”




Baru saja pulih kesadarannya, “anak panah” ketiga kembali meluncur dari
kelompok terakhir.




وَأَنِيبُوا إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِن قَبْلِ أَن يَأْتِيَكُمُ
الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنصَرُونَ




"Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya
sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi)."




Fudhail berteriak semakin keras. Setelah sadar, ia berujar kepada
pelayannya, “Mari kita pulang. Sungguh aku sangat menyesal dengan perbuatan
jahatku selama ini. Hatiku takut luar biasa. Akan kubuang kesalahan
tersebut.”




Sejak peristiwa itu, Fudhail lantas berangkat ke Makkah. Saat hendak sampai
di Nahrawan, ia berjumpa dengan Khalifah Harun Ar-Rasyid. Raja ini
bercerita tentang pengalaman mimpinya.




“Ada suara memanggil dengan keras (dalam mimpi itu), ‘Sesungguhnya Fudhail
telah takut dan bertekad untuk mengabdi kepada Allah. Temuilah dia’.”




Dengan penuh rasa takjub dan syukur, Fudhail hanya bisa meratap, “Sebab
kemuliaan dan keagungan-Mu, Engkau mencintai hambamu ini. Hamba yang telah
berlumur dosa dan durhaka kepada-Mu selama empat puluh tahun.”




Demikianlah cara Allah membalikkan kondisi hati dan perilaku Fudhail bin
‘Iyadl. Ketika Dia berkehendak, seorang penjahat puluhan tahun pun sanggup
diubahnya dalam waktu singkat menjadi pribadi yang mulia, bahkan melebihi
orang-orang pada umumnya. Tak sekadar pencerahan, Fudhail akhirnya juga
menerima penghormatan dari seorang khalifah. Kehadiran cahaya hidayah
memang menjadi otoritas Tuhan, bukan manusia. []






(Mahbib)






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke