Duh, Lucunya Orang Madura

Oleh: Moh. Mahfud MD






SALAH satu ciri utama yang melekat pada orang Madura adalah kelincahannya
dalam berkelit dengan logika-logika polos. Orang Madura, konon, pandai
berkelit dan cerdik, tapi tidak licik sehingga setiap kelincahan berdebat
sering dikaitkan dengan kelincahan orang Madura. Simaklah contoh ini.






Suatu hari seorang antropolog asal Jerman melakukan penelitian di Madura.
Dia mendapati seorang di desa yang sedang tidur-tiduran di kobhung (langgar
keluarga) dengan santainya sekitar pukul 09.00. Sang peneliti bertanya,
”Mengapa Anda tidur-tiduran dan tidak bekerja saja?” Orang Madura itu
menjawab malas bekerja. ”Enakan begini, santai sambil minum kopi dan makan
tela rebus,” kata orang Madura itu.






”Kan lebih baik bekerja agar nanti sesudah tua bisa punya tabungan dan
tinggal tidur-tiduran dengan enak, menikmati masa tua,” kata si peneliti.
”Lho, mengapa untuk tidur-tiduran harus bekerja dulu dan menunggu masa tua?
Sekarang saja saya sudah tidur-tiduran,” jawab orang Madura itu dengan
lincah. Si peneliti Jerman melongo, kalah. Dia pun ingin mewawancarai orang
tersebut lebih jauh dan naik ke kobhung sambil bertanya.






”Apakah di sini aman dan tidak ada ular? Saya takut dipatuk ular,” kata si
peneliti. ”Tenang, Tuan, di sini aman, tak ada ular,” jawab orang Madura
itu. Tetapi, tiba-tiba di bawah kobhung ada ular yang sangat besar
menyelinap dan terus masuk ke semak-semak di dekat kobhung itu. ”Lho,
katanya di sini tak ada ular. Itu ada ular besar sekali. Hiii, takut,” kata
peneliti Jerman tersebut dengan muka pucat karena saking takutnya. ”Oh, di
sini memang tidak ada ular, Tuan. Yang barusan lewat itu adalah ibunya.
Ibunya ular,” kata orang Madura tersebut dengan tenang.






Boleh jadi cerita itu tidak pernah benar-benar terjadi atau terjadi di
tempat lain dan bukan di Madura. Tetapi, kecerdikan menjawab dan berkelit
telah menjadi ciri khas orang Madura sehingga cerita seperti itu sering
dikaitkan dengan orang Madura. Untuk menimbulkan kesan kecerdasan yang
polos, spontan, dan lucu, kerap periwayat cerita seperti itu menyebutnya
sebagai cerita dari Madura.






Orang-orang seperti Gus Dur, Cak Nun, Hasyim Muzadi, dan Sujiwo Tejo sering
mengaitkan ceramah atau tulisan-tulisannya dengan cerita lucu yang,
katanya, dari Madura. Padahal, cerita tersebut kadang tak jelas dari mana
asalnya atau terkadang dibuatnya sendiri. Biar menarik dan terasa lucu,
disebutlah cerita itu dari Madura. Hasyim Muzadi, misalnya, pernah
bercerita bahwa gelar atau titel akademik doktorandus (Drs) bagi orang
Madura jauh lebih tinggi daripada gelar dokter atau doktor sekalipun.






Ceritanya, Pak Imam mengadakan pesta syukuran karena anaknya lulus menjadi
dokter (dr) dari Fakultas Kedokteran Unair. Pak Hamim yang anaknya lulus
sebagai dokterandes (Drs) dari IAIN Sunan Ampel (kini UIN Sunan Ampel) tak
kalah gaya. Dia pun mengadakan pesta syukuran. ”Anak saya lebih tinggi
gelar dan ilmunya daripada anaknya Imam. Anaknya Imam hanya dokter,
sedangkan anak saya sudah dokter masih ada andesnya. Bayangkan itu, sudah
dokter, masih andes. Hebat, kan?” kata Pak Hamim tanpa peduli dirinya
ditertawakan oleh hadirin.






Memang cerita-cerita lucu dan cerdas sering dikaitkan dengan suku Madura
meskipun mungkin tak benar-benar terjadi di Madura. Cerita antropolog asal
Jerman yang melakukan penelitian di Madura pada awal tulisan ini, misalnya,
menurut saya tak pernah terjadi di Madura. Cerita itu di-Madura-kan karena
kelucuan, keluguan, kecerdikan, dan kecerdasan yang melekat pada orang
Madura. Orang Madura sendiri bukanlah pemalas yang hanya suka tidur-tiduran
dan bersantai.






Orang Madura pada umumnya punya etos dan semangat kerja yang tinggi. Hampir
semua orang Madura hafal lagu ”kesukubangsaan” Madura tentang semangat dan
kewajiban bekerja keras, yaitu lagu Tandhuk Majang dan Pajjhar Lagghu.
Tandhuk Majang (Pulang Melaut) dan Pajjhar Lagghu (Fajar Pagi) adalah dua
lagu kesukubangsaan yang menggambarkan betapa uletnya orang Madura dalam
bekerja, menjelajah alam, serta mencari kehidupan siang dan malam.






Makanya, merantau ke mana pun, orang Madura pada umumnya bisa survive,
bahkan berhasil membangun ekonominya dengan gemilang, mulai tukang sate,
pedagang besi tua, akademisi, bahkan pejabat tinggi setingkat menteri atau
kepala staf di lingkungan TNI dan Kapolri. Selain pekerja keras yang gigih,
orang Madura juga dikenal sebagai orang yang agamais, egaliter, pemberani,
dan sportif.






Setelah Jembatan Suramadu diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) pada 2010, masyarakat Madura mau tak mau harus menghadapi
perkembangan dan melakukan pembangunan dengan sentuhan-sentuhan baru. Agar
budaya dan karakter orang Madura yang membanggakan itu bertahan, prinsip
dan rambu-rambu pembangunan di Madura harus diperhatikan.






Badan Silaturahmi Ulama-Ulama Se-Madura (Bassra) sudah menggariskan bahwa
pasca-Suramadu, pembangunan untuk Madura harus diartikan sebagai
pembangunan Madura, bukan pembangunan di Madura. Pembangunan Madura itu
bertumpu pada empat hal: manusiawi, indonesiawi, islami, dan madurawi.
Katakan, ”Aku bangga pada Madura.” (*)






JAWA POS, 23 Maret 2015
Moh. Mahfud MD, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke