Perempuan, Agama, dan Persamaan

Oleh: Musdah Mulia






SEBUAH perhelatan agung di Teheran, Iran, bertajuk Konferensi Internasional
ke-12 Perempuan Peneliti Alquran (12th International Congress of Women
Qur'an Researches) memberikan banyak warna dalam pergerakan perempuan
internasional. Setidaknya, ajang ini sudah 12 kali digelar dan mengundang
para perempuan ilmuwan dari berbagai negara Islam atau negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Indonesia. Hadir sekitar dua
ribuan undangan yang umumnya perempuan intelektual, mahasiswa, dan kaum
terpelajar dari berbagai perguruan tinggi di Iran. Ajang tersebut dihadiri
sekitar 30 perempuan cendekiawan dari berbagai wilayah Islam.




Konferensi yang digelar 12 Maret lalu itu harus diakui sungguh well
organized karena dihadiri para pejabat tinggi dan tertinggi Iran serta para
mullah atau pemuka agama ternama. Hanya di Republik Islam Iran, perempuan
bisa tampil dan berbicara lantang di hadapan para mullah dan petinggi
negara yang umumnya laki-laki. Kondisi demikian masih sulit dibayangkan
terjadi di Arab Saudi dan negaranegara Arab lainnya. Hanya di Iran,
dijumpai institusi negara yang menghimpun perempuan peneliti Alquran dan
setiap tahun mengadakan konferensi internasional mengundang tokoh-tokoh
intelektual dari berbagai negara Islam. Hanya di Iran, para perempuan
diberikan akses penuh dan difasilitasi negara untuk mengkaji Alquran dan
menggalinya semata untuk kepentingan kemajuan kebudayaan dan peradaban
Islam.




Sejujurnya ada rasa takut dalam diri karena berada di sini.Namun, ketika
meyakini sistem keamanan masyarakat telah dibangun sedemikian rupa, dan
juga terutama mindset masyarakat terhadap perempuan telah dikembangkan
dengan benar, tidak lagi menganggap perempuan sebagai objek seksual,
perempuan akan dihormati dan dimuliakan dalam kondisi apa pun.


Sayangnya, tidak banyak disosialisasikan secara luas bahwa memuliakan
perempuan dan menempatkannya setara dengan laki-laki sebagai manusia
merdeka adalah ajaran hakiki Islam, seperti terbaca dalam hadis Rasul SAW,
dan kitab suci Alquran.




Ketika mendengar azan subuh dikumandangkan, ada yang menarik dari lafaz
azan yang secara redaksional sedikit berbeda dengan azan di Indonesia.
Terus terang, kalimat hayya ala khayril amal terasa lebih dinamis dari
kalimat asshalat khayrun min an-naum. Tambahan kalimat asyhadu anna aliyyan
waliyyullah dan asyhadu anna aliyyan hujjatullah sama sekali tidak terasa
janggal di telinga saya karena merupakan pujian terhadap Ali ibn Abi
Thalib, sahabat terdekat dan menantu Rasul SAW.




Bagi saya, perbedaan itu justru menambah keindahan dan kekayaan Islam. Mari
menghargai kebinekaan dalam beragama.




Para perempuan mewakili perguruan tinggi dan masing-masing mewakili negara
dan budaya berbeda. Meski mereka sama-sama menganut Islam, busana yang
dikenakan berbeda satu sama lain. Justru tidak ada yang memakai cadar
(penutup wajah).




Biarkan memilih




Sungguh menarik karena meskipun beragama yang sama, mereka berbeda dalam
cara berbusana, bahasa, dan budaya. Ekspresi Islam sangat berwarna-warni.
Saya percaya bahwa upaya penyeragaman busana bagi perempuan selalu berujung
pada lahirnya kemunafikan. Bukan hanya itu, hal tersebut membuat hancurnya
daya inovasi dan kreativitas yang justru diperlukan dalam hidup
bermasyarakat. Itulah mengapa saya amat menentang semua bentuk peraturan
dan perundang-undangan yang mengatur dan menyeragamkan busana perempuan.




Biarkanlah perempuan memilih busana yang terbaik untuk diri mereka. Yang
penting ialah mengedukasi mereka untuk dapat memilih busana sesuai dengan
kepribadian Islam. Perempuan terdidik pasti akan memilih busana yang wajar
dan sopan.




Ada hal yang baru dalam kajian Alquran oleh perempuan Iran, yaitu
pemanfaatan kecanggihan teknologi digital. Ada banyak pelajaran dari
konferensi ini. Walau demikian, menurut saya kajian para perempuan peneliti
Alquran tersebut belum sampai menyentuh hal yang paling esensial dalam
Alquran, yaitu mengungkapkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan hakiki
bagi semua manusia, termasuk kesetaraan perempuan dan laki-laki. Alquran
diturunkan untuk menjelaskan visi penciptaan manusia (perempuan dan
laki-laki) sebagai khalifah fil ardh (pengelola kehidupan di bumi) dengan
misi utama menegakkan ajaran tauhid, membebaskan manusia dari semua
belenggu kemusyrikan, perbudakan, dominasi, diskriminasi, eksploitasi, dan
kekerasan yang dalam Alquran diistilahkan dengan thagut.




Itulah sebabnya, mengapa pada masa awal Islam, pesanpesan Alquran begitu
memukau kalangan marginal dan tertindas yang dikenal dengan istilah
musthad'afin, termasuk di dalamnya semua kelompok rentan, seperti hamba
sahaya, fakir miskin, perempuan, dan kelompok minoritas. Tidak mengherankan
jika mereka yang tertarik masuk Islam pada masa awal umumnya terdiri dari
kelompok tersebut.




Pesan-pesan Alquran yang begitu radikal dan liberal menyuarakan prinsip
kebebasan dan kesetaraan manusia justru tidak menarik, bahkan dirasa
mengganggu hegemoni kelompok bangsawan dan kaum elite yang mapan di masa
itu. Mereka tentu mati-matian menolak Alquran, membela budaya jahiliah yang
melanggengkan thagut. Bahkan, harus diakui secara jujur, sampai sekarang
pun, pesan-pesan Alquran yang fundamental tersebut masih sulit diwujudkan
secara komprehensif dalam kehidupan nyata karena masyarakat muslim masih
banyak terbelenggu dalam budaya jahiliah.




Sempat terpikir, mungkin para perempuan peneliti itu memang sengaja
diarahkan pemerintah untuk tidak kritis menyentuh wilayah sensitif dalam
kajian Alquran, dengan maksud menjaga stabilitas masyarakat sehingga tidak
ada kontroversi, konflik, dan pergolakan dalam masyarakat. Hal-hal tersebut
amat ditakuti pemerintah yang tidak demokratis.




Dari diskusi panjang, saya menyimpulkan bahwa tantangan perempuan muslim di
berbagai wilayah Islam intinya tidak banyak berbeda. Kami para perempuan
menghadapi persoalan budaya patriarkat yang masih mendomestifikasi dan
menyudutkan kaum perempuan, serta memandang perempuan cukup berkiprah di
dunia domestik saja.




Kami menghadapi persoalan yang sama dalam bentuk kemiskinan, iliterasi, dan
keterbelakangan akibat kurangnya akses dalam pengembangan ilmu dan
keterampilan. Pemenuhan hak-hak perempuan dalam kesehatan reproduksi
Kurang. Kami semua masih menyebut perkawinan anakanak, perkawinan paksa,
perceraian, dekadensi moral, bahaya HIV/AIDS, narkoba, dan trafficking
serta aksi-aksi kekerasan fundamentalisme agama sebagai musuh nyata yang
harus dieliminasi bersama.




Saya amat salut terhadap pemerintah Iran yang dengan nyata memberikan
dukungan dan memfasilitasi kaum perempuannya untuk aktif dan terlibat dalam
dunia penelitian, khususnya dalam bidang agama dengan melakukan penelitian
Alquran. Saya sangat yakin, dengan mengembangkan kajian Alquran berbasis
sains dan teknologi serta memberikan akses penuh kepada kaum perempuan yang
notabene merupakan setengah dari warga masyarakat, kebudayaan dan peradaban
Islam akan maju dan berkembang. []






MEDIA INDONESIA, 24 Maret 2015
Musdah Mulia  ;  Ketua Umum ICRP (Indonesian Conference on Religions for
Peace)






-- 
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke