ISI Menggertak, Seriuskah?

Oleh: As'ad Said Ali






Pada pertengahan Maret 2014, beberapa kelompok pendukung ISIS di Indonesia
mendeklarasikan berdirinya wadah baru, yakni Jama'ah Anshar Al-Daulah.
Organisasi bawah tanah tersebut dideklarasikan oleh Jama'ah Tauhid
Wal-Jihad (JTW), Jamaah Anshorut-Tauhid sempalan, Mujahidin Indonesia
Timur, Muhajirun (sempalan dari Hizbut-Tahrir.) Yang didapuk sebagai
pemimpin sementara adalah Marwan alias Abu Musa. Pada masa depan, Aman
Abdurahman, sang pendiri jama'ah Tauhid Wal Jihad, diproyeksikan sebagai
pemimpinnya.




Sebelumnya, sekitar empat bulan lalu, di kota Hasaka (kota di perbatasan
Irak-Suriah) telah dideklarasikan Majmu'ah Al-Arkhobili atau lebih populer
dengan nama Katibah Nusantara Li Daulah Islamiah. Pemimpinnya Bahrumsyah
asal Bandung dan wakilnya Asyikin Nur dari Malaysia.






Organisasi ini mewadahi para mujahidin ISIS asal Asia Tenggara. Dapat
diduga, pembentukan kedua wadah baru tersebut merupakan bagian dari upaya
untuk memperkuat konsolidasi pendukungnya di Indonesia. Kedua organisasi
itu mempunyai hubungan satu sama lain, karena pemimpin masing-masing, baik
Marwan alias Abu Musa maupun Bahrumsyah, dibina Aman Abdurahman yang juga
pendiri JTW. Sekarang, Aman Abdurahman berada di penjara karena tersangkut
beberapa kasus terorisme.






Banyak pihak, di dalam dan luar negeri, pemerintah ataupun masyarakat geram
terhadap aktivitas ISIS akhir-akhir ini. Kenapa? Untuk menjawab hal itu,
terlebih dahulu perlu dipahami latar belakang, baik ISIS maupun Al-Qaeda,
karena keduanya mempunyai tujuan dan motivasi yang nyaris sama.






Bedanya, Al-Qaeda belum memandang perlu memproklamasikan khilafah karena
belum ada daerah yang dikuasai penuh. Sebaliknya, ISIS telah menguasai
daerah-daerah strategis di Irak dan Suriah Utara. Al-Qaeda tidak menjadikan
Syiah sebagai target, sedangkan ISIS menganggap Syiah menjadi target
penting karena Pemerintah Iraq sejak 2005 yang didominasi kalangan Syiah,
dianggap bentukan Amerika Serikat dan Barat.




Al-Qaeda dan ISIS, yang kini tengah menjadi isu global, pada dasarnya
adalah bentuk perlawanan global kelompok radikal Islam terhadap
ketidakadilan dunia. Isu yang mereka perjuangkan mampu menarik perhatian
anak-anak muda secara cepat dan mendunia karena mudah dicerna terkait
dengan ketidakadilan di Palestina (Al-Aqsa), dominasi ekonomi Barat yang
mengakibatkan kesenjangan sosial-ekonomi di negara-negara dunia ketiga
termasuk di negara Islam, dan ekspansi budaya Barat yang dianggap merusak
nilai-nilai Islam, seperti hedonisme dan materialisme.






Kaum radikal Islam menganggap para pemimpin dunia Islam tidak berdaya dan
tunduk kepada kemauan Barat. Pengaruh ISIS tersebut dengan cepat menyebar
ke seluruh penjuru dunia melalui jaringan maya.






Isu ketidakadilan sebagai akibat kebijakan Barat tersebut mudah dicerna di
kalangan anak muda dan dampaknya memprovokasi kebencian terhadap Barat. Di
kalangan kelompok termarjinalkan secara politik dan ekonomi, khususnya di
kalangan radikal Islam ataupun mereka yang memahami agama secara dangkal,
ideologi ISIS bisa cepat merasuk pikiran mereka.






Itulah sebabnya, banyak anak-anak muda muslim yang terhanyut pada
propaganda dengan janji surga bagi mereka yang bersedia mengorbankan
jiwanya (istisyadah atau berburu sahid). Tawaran insentif ekonomi bukanlah
faktor utama.






ISIS dalam jangka dua tahun sejak 2014 memproyeksikan pengaruhnya di
seluruh Timur Tengah, Turki/Balkan dan Afrika Tengah/Barat. Dalam periode
lima tahun, pengaruhnya diproyeksikan merambah ke Asia Selatan, Asia Tengah
dan Asia Tenggara.






Gebrakan ISIS di Eropa menimbulkan gejala meluasnya Islamophobia dan
gerakan anti-imigran muslim. Negara-negara Barat seperti tersengat lebah
berbisa, menyadari bahaya yang datang. Teroris berpotensi membahayakan
semangat globalisasi yang sesungguhnya bertujuan membangun peradaban dunia
yang damai.






Beberapa negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman,
Australia segera membenahi UU yang terkait dengan terorisme. Apa sebenarnya
yang mereka khawatirkan?






Dampak negatif ekonomi merupakan penyebab utama kenapa negara-negara Barat
bergerak cepat. Terorisme yang disusul dengan
meningkatnya Islamophobia, kemudian gerakan anti-imigran muslim
dikhawatirkan mengganggu laju pertumbuhan ekonomi beberapa negara. Para
pekerja pabrik-pabrik dan jasa serta tenaga kasar sebagian besar adalah
warga pendatang yang jumlahnya jutaan.






Kemungkinan terjadinya eksodus gerakan anti-imigran akan menjadi mimpi
buruk bagi perekonomian.






Selain ekonomi, terjadinya konflik berdasarkan agama akan menjadi sebab
berikutnya. Jumlah imigran muslim relatif terus bertambah dan di beberapa
kota di negara-negara Eropa mampu menduduki jabatan strategis pada level
wali kota. Jika terjadi konflik komunal, dampaknya bukan hanya ekonomi,
melainkan juga politik dan kemanusiaan. Lebih lanjut, konflik bisa
berkembang kearah konflik peradaban.






Perkembangan ISIS di Indonesia






Ketika Abu Ayub al-Masri (pengganti Abu Mus'ab al-Zarkawi) mendeklarasikan
negara Islam Irak (ISI) pada oktober 2006 dan kemudian mengangkat Abu Umar
al-Baghdadi sebagai kepala pemerintahan setahun kemudian, gemanya mulai
menggelitik kaum radikal di Indonesia. Sudah ada upaya untuk mengirim
mujahid ke negeri tersebut, karena walau bagaimanapun daerah konflik akan
dapat dijadikan sebagai tempat pengemblengan kader.






Persoalannya, tidak mudah untuk memasuki wilayah Irak. Yordan, Suriah, dan
Turki ketika itu mencegah wilayahnya sebagai transit menuju Irak. Baru
setelah Abu Bakr al-Bagdadi --yang menggantikan Abu Umar al-Baghdadi--
mengumumkan berdirinya Islamic State of Iraq and Levant (ISIL) mulai
berlangsung pengiriman mujahin ke suriah dan Irak, meskipun jumlahnya
relatif kecil. Deklarasi ISIL tersebut memicu perpecahan antara ISIL dan
Al-Qaeda. Dalam hal ini Al-Qaeda di Suriah yang dikenal dengan nama
Jabhatun Nusra menolak bergabung ISIL, sehingga terjadi pertempuran di
antara mereka.






Seperti diketahui, Jabhatun Nusra dibentuk pada 2012, tidak lama setelah
terjadinya Arab Spring di Suriah dengan tujuan penggulingan Presiden Basir
al-Assad. Kaum perlawanan di Suriah dan Irak pecah menjadi tiga, yakni
Jabhatun Nusra, Ahrarur Syam dan ISIL, yang masing-masing mempunyai tujuan
yang berbeda. Perembesan mujahidin ke kedua negara tersebut mulai meningkat
karena perbatasan Suriah-Irak dan Turki-Suriah-Irak menjadi lebih terbuka.






Di samping itu, berbagai pihak luar campur tangan dengan ikut mengirimkan
atau memfasilitasi kaum radikal ke Irak dan Suriah. Gelombang pengiriman
mujahidin semakin membesar dengan diproklamasikannya khifalah Islamiyah
pada 2014. Khilafah Islamiyah menjadi magnet tersendiri bagi mereka yang
memercayainya.






Perpecahan di atas memengaruhi perpecahan di kalangan kaum radikal di
Indonesia, yang masing-masing mengirimkan kadernya sesuai dengan orientasi
politiknya. Tetapi bagian terbesar, berangkat untuk bergabung ISIS, baik
karena alasan politik dan ideologis ataupun ekonomi yang lebih menjanjikan.
Dengan terbentuknya Jamaah Anshorut Daulah dan Majmuah al-Arkhobili maka
komunikasi antara ISIS dengan partnernya di Indonesia menjadi lebih
terkoordinasi.






Perkembangan ini memerlukan perhatian yang lebih serius. Dampak jangka
dekatnya akan memengaruhi toleransi beragama karena isu Sunni-Syiah akan
mengemuka. Para pendukung ISIS yang meniru induknya akan mempertajam
potensi konflik antar-sekte seperti di Irak. Dampak jangka menengah dan
panjang akan lebih seru karena datangnya kaum radikal yang lebih matang
dengan ideologi yang lebih radikal, kalau tidak segera diantisipasi.


Apa yang layak dilakukan?
Semua pihak tentu sepakat, semua pemangku kepentingan seperti pemerintah,
birokrasi, DPR/MPR, TNI, Polri bersama masyarakat --khususnya ormas-ormas
besar-- bergandeng tangan mengatasi masalahnya. Bagi penulis, yang urgen
dilakukan adalah, penguatan UU yang terkait terorisme dan radikalisme.
Tidak perlu menyiapkan UU baru, cukup menyempurnakan UU Antiteror, UU
Kewarganegaraan, UU Ormas, dan merevisi beberapa pasal KUHP yang terkait
dengan isu toleransi. Semua itu harus merujuk pada ideologi negara
Pancasila. Katakanlah, kita melakukan konsolidasi demokrasi.




Jangan biarkan kekuatan anti-demokrasi mengambil kendali.  []






Kolom Majalah GATRA, Beredar Kamis, 26 Maret 2015
As'ad Said Ali, *Wakil Ketua Umum PBNU, Mantan Wakil Kepala BIN*






-- 
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke