Bahasa, Agama, dan Budaya

Oleh: Komaruddin Hidayat






Dari nama saja sudah bisa diduga bahwa saya seorang Muslim. Belajar Islam
sejak kecil di lingkungan keluarga dan masjid. Setelah tamat pesantren lalu
meneruskan ke Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada
tahun 1974, yang sekarang berkembang menjadi UIN, Universitas Islam Negeri.






Di samping sebagai anak kandung ayah-ibu, saya adalah anak kandung budaya
yang mengasuh dan membesarkan diriku. Produk pengasuhan budaya itu terlihat
paling nyata dalam aspek bahasa, yaitu bahasa Jawa dan Indonesia. Ada
ungkapan klasik: language carries cultures. Dalam bahasa terkandung budaya.
Dalam bahasa tersimpan nilai-nilai yang diekspresikan dan diwariskan dari
generasi ke generasi melalui tradisi.






Jadi, dalam diriku terekam dan tertanam nilai-nilai yang berakar kepada
tradisi Jawa, Indonesia, dan Islam. Tradisi kejawaan dan keindonesiaan
telah berbaur dan sulit dipisahkan. Mungkin juga antara keislaman dan
kearaban di Timur Tengah juga saling terkait.






Dalam pengasuhan budaya






Membayangkan keislamanku, pasti telah bercampur dengan nilai-nilai
kejawaan, keindonesiaan, dan kearaban. Ditambah lagi mungkin pengaruh studi
dan pengalaman saya tinggal di luar negeri non-Arab. Oleh karena itu, saya
tak berani menyebut diriku menganut Islam murni.






Bagi saya, istilah dan pembatasan Islam murni itu mengundang perdebatan.
Konsepnya belum jelas. Meski terlahir sebagai orang Jawa, bagi saya yang
namanya Jawa murni itu tidak ada. Seseorang itu tumbuh dalam pengasuhan
budaya yang di dalamnya terdapat unsur-unsur agama. Terlebih sekarang kita
hidup di era informasi yang telah memungkinkan terjadi banjir informasi
merambah ke berbagai kelompok masyarakat tanpa bisa dibendung. Ditambah
lagi informasi yang hadir dalam bentuk bahasa gambar membuat dunia terasa
semakin sempit sekaligus plural. Perjumpaan antarbudaya dan agama telah
melahirkan konflik, tetapi sekaligus juga pengayaan yang berlangsung setiap
saat.






Ketika membaca keislaman saya sendiri, sering kali saya merasakan terjadi
dialog dan konflik antara pengaruh tradisi kejawaan, komitmen
keindonesiaan, kesetiaan kepada Islam dan juga pengaruh keilmuan literatur
filsafat Barat yang pernah saya pelajari. Hati saya sering tergetar dan
kagum ketika membayangkan pemuda-pemuda angkatan 1928 yang telah berjuang
untuk membangun dan merajut bangsa Indonesia, tetapi tetap menghargai dan
menjaga identitas suku serta kekayaan daerah yang begitu beragam. Mereka
menghadapi tantangan tidak saja dari imperialis Belanda, tetapi juga dari
penguasa-penguasa lokal yang tengah menikmati kekuasaan dan bersahabat
dengan penjajah. Cita-cita dan tekad mereka secara resmi menjelma dalam
rumah besar negara yang berdaulat pada 17 Agustus 1945, meski proses
pematangan konsep kebangsaan masih terus berlangsung hingga hari ini.






Keterikatan saya kepada tradisi Jawa dan cita-cita keindonesiaan bertemu
dengan komitmen keislaman saya dalam rumah epistemologis-ideologis yang
bernama Pancasila. Jika sila ketuhanan diposisikan dalam titik sentral,
maka yang dimaksudkan adalah kebertuhanan yang menumbuhkan komitmen
kemanusiaan yang bermuara kepada kesejahteraan yang berkeadilan bagi rakyat
Indonesia. Kalaupun sila kemanusiaan yang menjadi pijakan sentral, yang
diharapkan adalah perilaku kemanusiaan yang berketuhanan dan yang peduli
kepada agenda keadilan dan kesejahteraan bangsa.






Dengan demikian, saya tidak mau memperhadapkan antara tradisi kejawaan saya
dengan semangat keindonesiaan dan keislaman. Lebih dari itu, setiap ajaran
agama selalu memerlukan rumah dan teritori negara sebagai tempat untuk
tumbuh berkembang. Membayangkan dunia hanya diisi dan dikuasai oleh satu
bahasa, etnis, budaya, dan agama adalah mustahil. Di samping itu juga tidak
menarik dihuni.






Dengan segala keterbatasan yang melekat, saya belajar ilmu keislaman yang
disajikan terutama dalam bahasa Arab dan Inggris. Meskipun Al Quran saya
yakini sebagai wahyu Allah, tetapi bahasa mediumnya adalah lisan Arab yang
terikat dengan tradisi dan kaidah budaya.






Oleh karena itu, jika disebutkan salah satu kemukjizatan Al Quran terletak
kepada dimensi keindahan dan keunggulan bahasanya, terus terang saya tidak
mudah menghayati dan menyelaminya karena saya bukan ahli sastra Arab. Saya
cukup percaya saja kepada pendapat yang ahli bahasa Arab. Bahkan ketika
berdoa dalam bahasa Arab, otak dan hati saya berbicara kepada Tuhan dengan
bahasa Indonesia atau Jawa. Bibir saya mengucapkan bahasa Arab-Al Qur an,
tetapi hati saya berbahasa Indonesia. Dengan demikian, saya sembahyang
menggunakan multibahasa. Jika kekhusyukan shalat itu di hati, maka hati
saya jangan-jangan shalat dengan bahasa ibu. Agama dan budaya saling
membantu dalam shalat saya.






Mengingat kitab suci lahir dan terbakukan dalam ranah budaya, maka tanpa
mengetahui bahasa dan budaya tempat lahir sebuah kitab suci banyak pesannya
yang tidak tertangkap. Bagi diri saya yang lahir dan tumbuh di Indonesia,
untuk memahami pesan Tuhan yang terkandung dalam kitab suci Al Quran
terdapat banyak hambatan serius. Pertama, hambatan bahasa. Saya memahami
dan mereproduksi ulang pesan Al Quran dalam benak saya yang menggunakan
bahasa Indonesia. Padahal, karakter bahasa Arab dan Indonesia memiliki
perbedaan serius. Jumlah kosa kata bahasa Arab lebih kaya dibandingkan
bahasa Indonesia sehingga banyak sekali kata dan istilah dalam Al Quran
yang tidak ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia. Akibatnya,
terjadilah distorsi dan penyempitan makna ketika diterjemahkan mengingat
banyak diksi dalam kitab suci yang bersifat konseptual sehingga memerlukan
penjelasan panjang lebar.






Universalitas dan lokalitas






Yang sangat membantu diri saya untuk menangkap pesan dasar agama dan
kemanusiaan adalah adanya konsep universalitas yang didukung penalaran
rasional. Apa pun bahasa, agama, dan budaya seseorang mereka sepakat bahwa
dalam perilaku dan pergaulan internasional terdapat nilai-nilai universal
yang sama-sama ingin dijaga dan ditegakkan. Misalnya, konsep dan keinginan
untuk menegakkan keadilan, kejujuran, perdamaian, dan hidup saling
hormat-menghormati.






Dalam kajian psikologi moral dikatakan, setiap pribadi ingin meraih well
being, hidup yang baik, benar, dan bahagia. Untuk meraih itu, salah satu
syarat mutlak yang mesti dipenuhi adalah mampu membangun a good
relationship, hubungan yang baik dengan orang-orang di sekitarnya dan yang
memiliki kepentingan dengannya. Hal ini meniscayakan sikap untuk selalu
menghormati perbedaan, menerima perbedaan, dan merayakan perbedaan itu.
Jadi, menghargai keragaman merupakan keniscayaan jika ingin hidup damai.






Bahwa dalam sejarah terjadi konflik, peperangan dan kejahatan, semua itu
kenyataan yang tak terhindarkan. Manusia terlahir dengan membawa nafsu dan
kecenderungan egoistik serta tega memangsa yang lain. Namun, rasanya nalar
sehat sepakat mengatakan bahwa kebaikan, kebenaran, keindahan, dan
kedamaian serta keadilan merupakan realitas yang diidealkan dan selalu
didambakan sepanjang sejarah. Semua itu sejalan dengan pesan agama,
sehingga peperangan dan kejahatan dianggap melawan ajaran dasar agama dan
peradaban.






Mengingat semua agama diyakini datang dari Tuhan pencipta manusia, maka
nilai-nilai dasar agama memiliki perhatian kepada agenda kemanusiaan
universal, sekalipun agama lahir dan terbentuk dalam jubah budaya dan
bahasa yang bersifat lokal. Oleh karena itu, pesan universalitas agama
terwadahi dalam format lokalitas bahasa dan budaya. Hanya saja ketika
jumlah penduduk bumi semakin banyak, tak sebanding dengan jumlah penduduk
di saat agama-agama itu lahir, dan perjumpaan lintas pemeluk agama juga
berlangsung secara intens dan masif, maka nilai- nilai universal agama
sering kali tertutupi dengan bungkus lokalnya.






Bungkus yang semula merupakan budaya lokal serta profan lalu disakralkan.
Membela budaya seakan identik dengan membela agama. Arabisme dan Islamisme
lalu tak terpisahkan. Sementara itu, agama Kristen yang juga lahir di
wilayah Timur Tengah sekarang ter-"Barat"-kan.






Keberagamaan di Nusantara ini bisa menjadi dalam berbagai aspeknya lebih
esensial, substantif, tetapi oleh sebagian orang dipandang dangkal,
pinggiran. Mungkin sekali umat Islam Indonesia lebih bersemangat dalam
melaksanakan ibadah. Lebih toleran dan senang menjaga keamanan ketimbang
masyarakat Arab yang ribut bertengkar dan berperang dengan membawa jargon
keagamaan.






Misalnya saja konflik Sunny-Syiah, itu warisan lama perebutan kekuasaan
politik umat Islam Arab sepeninggal Rasulullah. Sementara di Indonesia,
para sultan rela membubarkan diri demi lahirnya Negara Kesatuan Republik
Indonesia.






Jadi, mengapa perebutan politik di Timur Tengah mau dibawa-bawa ke
Indonesia dengan baju keagamaan? Kita mesti bedakan antara universalitas
Islam dan lokalitas bahasa serta budaya yang menjadi medium dan
kendaraannya. []






KOMPAS, 26 Juni 2015


Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, Jakarta






-- 
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke