*Cara Mengganti Puasa yang Bolong*





Melanjutkan pertanyaan kedua saudara Dido
<http://harian-oftheday.blogspot.com/2015/06/ngaji-of-day-bagaimana-mengganti-shalat.html>
dari Surabaya. Pada edisi yang lalu, kami telah menjelaskan tentang
bagaimana qadla-nya shalat yang ditinggalkan selama bertahun-tahun. Dan
pada kesempatan ini kami akan mencoba menjelaskan mengenai qadla-nya puasa
yang juga ditinggalkan selama bertahun-tahun.






Dalam kasus pembatalan puasa secara sengaja tanpa alasan yang dibenarkan
syara` (‘udzr syar’i) para fuqaha` berbeda pendapat. Menurut madzhab Hanafi
dan Maliki, orang tersebut wajib meng-qadla` dan membayar kaffarat atau
denda sebagaimana orang yang sengaja melakukan jima’ pada siang hari di
bulan Ramadhan. (‘Alauddin al-Kasani dalam Bada’i ash-Shana’i fi Tartib
asy-Syara’i dan Malik bin Anas dalam al-Mudawwah al-Kubra)






Sedangkan menurut madzhab Syafii bahwa orang yang sengaja membatalkan puasa
dengan tanpa alasan yang dibenarkan syara selain jima’ tidak memiliki
kewajiban kaffarat. Sebab kaffarat menurut mereka hanya dalam kasus jima’
saja. (Ibrahim asy-Syirazi, al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i,
Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, 1, h. 183). Kami cenderung memilih pendapat
madzab Syafi’i.






Pandangan madzhab Syafi’i di atas juga diamini oleh madzhab Hanbali
sebagaimana yang dikemukakan Ibnu Qudamah. (Ibnu Qudamah al-Mughni,
Riyadl-Dar al-‘Alam al-Kutub, cet ke-3, 1417 H/1997 M, juz, 4, h. 349)






Mengenai penundaan pelaksanaan qadla` sampai Ramadhan berikutnya. Dalam
kasus ini menurut pendapat mayoritas ulama, bahwa orang yang dengan sengaja
tanpa alasan yang dibenarkan syara` seperti sakit, bepergian jauh, haid dan
nifas menunda pelaksanaan qadla` sampai masuknya Ramadhan berikutnya maka
ia wajib membayar fidyah.






وَتَجِبُ اْلفِدْيَةُ أَيْضاً مَعَ الْقَضَاءِ عِنْدَ الْجُمْهُورِ (غَيْرِ
الْحَنَفِيَّةِ) عَلَى مَنْ فَرَّطَ فِي قَضَاءِ رَمَضَانَ، فَأَخَّرَهُ
حَتَّى جَاءَ رَمَضَانُ آخَرُ مِثْلُهُ بِقَدْرِ مَا فَاتَهُ مِنَ
الْأَيَّامِ، قِيَاساً عَلَى مَنْ أَفْطَرَ مُتَعَمِّداً؛ لأن كِلَيْهِمَا
مُسْتَهِينٌ بِحُرْمَةِ الصَّوْمِ






“Begitu juga wajib membayar fidyah beserta qadla` menurut mayoritas ulama
(selain madzhab hanafi) atas orang yang melalaikan qadla` puasa Ramadhan
kemudian ia menunda qadla` tersebut sampai datangnya puasa berikutnya,

sejumlah puasa yang ditinggalkan karena diqiyaskan dengan orang yang
membatalkan puasa puasa dengan sengaja. Sebab keduanya sama-sama dianggap
orang yang tidak menghormati kemulian puasa.  (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus-Dar al-Fikr, cet ke-2, 1405 H/1985 M,
juz, 2, h. 688-689)






Besarnya fidyah yang harus dibayar adalah 1 mud atau sekitar kurang lebih 7
ons beras untuk setiap puasa yang ditinggalkan, yang diberikan kepada orang
miskin. Bahkan menurut pendapat yang kuat dalam madzhab syafi’i, fidyah-nya
bisa berlipat ganda sesuai dengan kelipatan tahun pendundaanya.






Misalnya, jika seseorang pada tahun 2009 tidak melakukan puasa selama lima
hari dan baru di-qadla` pada tahun 2014 ia wajib membayar fidyah empat kali
lipat. Dan jumlah keseluruhannya jadi 20 mud. Tetapi menurut madzhab maliki
dan hanbali fidyah-nya tidak berlipat ganda.






Demikian jawaban yang bisa kami sampaikan. Tentu semua ketentuan dan
konsekuensi di atas dilakukan menurut kadar kemampuan yang bersangkutan.
Selain qadla puasa dan membayar fidyah, jangan lupa untuk memperbanyak
istighfar, shalat sunnah, dan kebajikan kepada sesama. Semoga Allah SWT
memberikan hidayah dan kekuatan kepada kita untuk menjadi hamba yang lebih
baik dan lebih baik lagi di masa-masa yang akan datang. []






Mahbub Ma’afi Ramdlan


Tim Bahtsul Masail NU






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke