Ihwal Pembangunan Museum Islam Nusantara
Oleh: Achmad Fatturohman Rustandi Pesantren sebagai salah satu basis pendidikan, sudah eksis jauh sebelum Republik Indonesia berdiri. Corak Pesantren saat ini berbeda dengan masa lalu. Dulu, santri tidak hanya dididik ilmu agama, namun ilmu pertanian, ilmu astronomi, ilmu tehnik, dan arsitektur, layaknya universitas saat ini. Peran sentral pesantren sebagai tulang punggung lembaga pendidikan di Nusantara yang berlangsung beberapa abad, akhirnya digantikan oleh universitas yang dibawa dari Barat pada masa kolonialisme. Pesantren Tebuireng sejak awal berdirinya pada tahun 1899 sudah mewarnai pergerakan revolusi kemerdekaan Republik Indonesia. Tren positif ini terus terjaga hingga kini, ikhtiar mewarnai masa kemerdekaan selalu ada, api Tebuireng tidak pernah padam. Pesantren akan terus mewarnai bangsa ini, sejak dulu, sekarang, dan selamanya. Tebuireng bersama PBNU pada 22 Oktober 1945 mengeluarkan Resolusi Jihad, fatwa mengusir tentara Belanda yang tergabung dalam NICA, untuk mempertahankan Republik Indonesia yang baru berdiri, semangat yang sama masih tetap ada, namun dengan cara berbeda, sekarang Pesantren ikut serta dalam proses mencerdaskan kehidupan bangsa, agar Indonesia menjadi Bangsa yang unggul berwibawa. Museum Sebagai Manifesto Islam Nusantara Terkait hal itu, pembangunan Museum Islam Nusantara Hasyim Asy’ari (MINHA) di lingkungan Pesantren Tebuireng, layak diapresiasi. Pembangunan museum tersebut diharapkan bisa terintegrasi dengan wisata religi makam Gus Dur, mengingat peziarah makam Gus Dur kian membludak dan datang dari berbagai daerah. Kami berharap para pengunjung tidak hanya melakukan wisata religi namun juga wisata edukasi, mendapatkan pengetahuan holistik tentang Islam Nusantara, sejarah masuknya Islam, persebarannya, dari masa Wali Songo sampai Gus Dur. Museum sebagai citra peradaban di Indonesia, diharapkan mampu menggambarkan Islam Nusantara secara komprehensif, agar generasi saat ini paham akan perjuangan berdirinya republik ini yang tidak lepas dari peran kaum santri dan pesantren. Belajar tentang nilai-nilai Islam Nusantara sangat mendesak, karena paham radikalisme yang dibawa gerakan Islam transnasional yang makin marak dan celakanya digandrungi banyak anak muda. Ini sangat membahayakan karena menafikan semangat nasionalisme. Menggelorakan Khilafah, tanpa melihat sejarah, dan melupakan cita-cita para pendiri bangsa tentang Negara Indonesia yang berasaskan Pancasila. Untuk itu museum diharapkan sebagai tempat kesadaran kolektif memahami perjalanan panjang bangsa Indonesia hingga merdeka. Gagasan untuk mengabadikan, mengumpulkan, melestarikan, meneliti, mengomunikasikan, dan memamerkan kepada masyarakat tentang benda peninggalan bersejarah tentang perkembangan dan perjuangan agama Islam di Nusantara akan diwujudkan dalam satu museum. Gagasan ini muncul dari berbagai elemen masyarakat, di antaranya sejarahwan, budayawan, ulama, kalangan pesantren dan masyarakat secara luas. Tata pamer museum ini nanti tidak sekadar memamerkan benda-benda koleksi museum, tetapi lebih ke participative and interactive exhibition agar pengunjung mendapatkan pengalaman yang menyenangkan dengan berpartisipasi dan berinteraksi. Tata pamer seperti ini juga akan memberi kesan adanya keterikatan antara pengunjung, koleksi serta kisah di balik koleksi. Mewarnai Peran Museum di Indonesia Sebagai salah-satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia, Tebuireng tidak memiliki dasar ilmu arkeologi maupun museologi, sehingga pengiriman kader untuk belajar arkeologi dan museologi merupakan keniscayaan yang harus dilakukan, sehingga gagasan museum yang berbasis Islam Nusantara bisa diejawantahkan dengan baik. Santri memiliki piranti ilmu agama sebagai representasi Islam Nusantara. Sedangkan Universitas Gadjah Mada memiliki Jurusan Arkeologi dan Museologi sebagai lembaga pencetak kader museum yang unggul. Diyakini kerja sama dua institusi ini bisa menjadi kekuatan yang luar biasa dalam menghidupkan diskursus relasi agama dan budaya dalam bingkai Museum Islam Nusantara. Museum Islam yang masih sedikit di Indonesia baik secara jumlah maupun kualitas, menjadi tantangan tersendiri. Kerja keras dan kerja nyata sangat dibutuhkan oleh seluruh pemangku kepentingan untuk mensukseskan misi Islam Nusantara, menjaga, mengabarkan, dan melestarikan hasil karya, karsa, dan rasa para ulama pendahulu kita. [] *) Penulis adalah Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng pecinta Ilmu Arkeologi dan Museologi -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."