Maksud Istilah Islam Nusantara

Oleh: KH. Afifuddin Muhajir


[image: Inline image 1]




Istilah Islam Nusantara akhir-akhir ini mengundang banyak perdebatan
sejumlah pakar ilmu-ilmu keislaman. Sebagian menerima dan sebagian menolak.
Alasan penolakan mungkin adalah karena istilah itu tidak sejalan dengan
dengan keyakinan bahwa Islam itu satu dan merujuk pada yang satu (sama)

yaitu Al-Qur’an dan As-Sunah.




Kadang suatu perdebatan terjadi tidak karena perbedaan pandangan semata,
tetapi lebih karena apa yang dipandang itu berbeda. Tulisan singkat ini
mungkin menjadi jawaban bagi mereka yang menolak “Islam Nusantara” menurut
apa yang saya pahami dan saya maksudkan dengan istilah tersebut.




Al-Quran dan As-Sunah sebagai sumber utama Agama Islam memuat tiga ajaran.
Pertama, ajaran akidah, yaitu sejumlah ajaran yang berkaitan dengan apa
yang wajib diyakini oleh mukallaf menyangkut eksistensi Allah, malaikat,
para utusan, kitab-kitab Allah, dan hari pembalasan. Kedua, ajaran
akhlak/tasawuf, yaitu ajaran yang berintikan takhalli dan tahalli, yakni
membersihkan jiwa dan hati dari sifat-sifat tercela dan menghiasinya dengan
sifat terpuji. Ketiga, ajaran syariat, yaitu aturan-aturan praktis
(al-ahkam al-‘amaliyah) yang mengatur perilaku dan tingkah laku mukallaf,
mulai dari peribadatan, pernikahan, transaksi, dan seterusnya.




Yang pertama dan kedua sifatnya universal dan statis, tidak mengalami
perubahan di manapun dan kapanpun. Tentang keimanan kepada Allah dan hari
akhir tidak berbeda antara orang dahulu dan sekarang, antara orang-orang
benua Amerika dengan benua Asia. Demikian juga, bahwa keikhlasan dan
kejujuran adalah prinsip yang harus dipertahankan, tidak berbeda antara
orang Indonesia dengan orang Nigeria. Penipuan selalu buruk, di manapun dan
kapanpun. Dalam segmen keyakinan dan tuntunan moral ini, Islam tidak bisa
di-embel-embeli dengan nama tempat, nama waktu, maupun nama tokoh.




Sementara yang ketiga, yaitu ajaran syari’at, masih harus dipilah antara
yang tsawabith/qath’iyyat dan ijtihadiyyat. Hukum-hukum qath’iyyat seperti
kewajiban shalat lima kali sehari semalam, kewajiban puasa, keharaman
berzina, tata cara ritual haji, belum dan tidak akan mengalami perubahan
(statis) walaupun waktu dan tempatnya berubah. Shalatnya orang Eropa tidak
berbeda dengan salatnya orang Afrika. Puasa, dari dahulu hingga Kiamat dan
di negeri manapun, dimulai semenjak Subuh dan berakhir saat kumandang azan
Maghrib. Penjelasan Al-Quran dan As-Sunah dalam hukum qath’iyyat ini cukup
rinci, detil, dan sempurna demi menutup peluang kreasi akal. Akal pada
umumnya tidak menjangkau alasan mengapa, misalnya, berlari bolak-balik
tujuh kali antara Shafa dan Marwa saat haji. Oleh karena itu akal dituntut
tunduk dan pasrah dalam hukum-hukum qath’iyyat tersebut.




Sementara itu, hukum-hukum ijtihadiyyat bersifat dinamis, berpotensi untuk
berubah seiring dengan kemaslahatan yang mengisi ruang, waktu, dan kondisi
tertentu. Hukum kasus tertentu dahulu boleh jadi haram, tapi sekarang atau
kelak bisa jadi boleh. Al-Quran dan As-Sunah menjelaskan hukum-hukum jenis
ini secara umum, dengan mengemukakan prinsip-prinsipnya, meski sesekali
merinci. Hukum ini memerlukan kreasi ijtihad supaya sejalan dengan tuntutan
kemaslahatan lingkungan sosial.




Para tabi’in berpendapat bahwa boleh menetapkan harga (tas’ir), padahal
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam melarangnya. Tentu saja mereka
tidak menyalahi As-Sunah. Perbedaan putusan itu karena kondisi pasar yang
berubah, yaitu bahwa pada masa Nabi SAW harga melambung naik karena
kelangkaan barang dan meningkatnya permintaan, sedangkan pada masa tabi’in
disebabkan keserakahan pedagang. (Nailul Authar, V, 220) Di sini, para
tabi’in membedakan antara-apa yang disebut ekonomi modern dengan-pasar
persaingan sempurna dari pasar monopoli atau oligopoli misalnya.




Para tabi’in juga memfatwakan larangan keluar menuju masjid untuk perempuan
muda karena melihat zaman demikian rusak, banyak laki-laki berandal yang
sering usil hingga berbuat jahil, (Al-Muntaqa Syarḥul Muhadzdzab, I, 342)
padahal Nabi sendiri bersabda-seperti dalam riwayat Abu Daud (لا تمنعوا
اماء الله مساجد الله، ولكن ليخرجن تفلات. رواه أبو داود عن أبي هريرة.)-supaya
jangan sampai perempuan dilarang keluar menuju masjid.




Dalam pengertian hukum yang terakhir ini kita sah dan wajar menambahkan
pada ‘Islam’ kata deiksis, seperti Islam Nusantara, Islam Amerika, Islam
Mesir, dan seterusnya. Makna Islam Nusantara tak lain adalah pemahaman,
pengamalan, dan penerapan Islam dalam segmen fiqih mu’amalah sebagai hasil
dialektika antara nash, syari’at, dan ‘urf, budaya, dan realita di bumi
Nusantara. Dalam istilah “Islam Nusantara”, tidak ada sentimen benci
terhadap bangsa dan budaya negara manapun, apalagi negara Arab, khususnya
Saudi sebagai tempat kelahiran Islam dan bahasanya menjadi bahasa
Al-Qur’an. Ini persis sama dengan nama FPI misalnya, saya benar-benar yakin
kalau anggota FPI tidak bermaksud bahwa selain mereka bukan pembela Islam.
[]




*) KH Afifuddin Muhajir, Katib Syuriyah PBNU. Guru utama fiqih dan ushul
fiqih di Ma’had Aly Pesantren Salafiyah As-Syafi’iyyah, Sukorejo,
Situbondo. Tulisan ini dikutip dari situs jejaring Ma’had Aly setempat. Ia
baru saja meluncurkan karya Fathul Mujib sebagai syarah kitab Taqrib.






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke