Agama Pelangi, Bukan Agama Serdadu

Oleh: Ahmad Lukman Fahmi






Berawal dari acara Kongkow Bersama Lesbumi NU Sudan beberapa waktu lalu
–esai ringan nan pendek ini ditulis. Kongkow mengangkat sebuah tema
“Tradisi Ramadhan di Nusantara” dimana setelah pemateri menyampaikan apa

yang semestinya disampaikan, setiap peserta yang hadirmenceritakan bermacam
tradisi berislam pada bulan suci Ramadhan di daerah masing-masing. Sangat

menarik!






Berbicara tradisi Ramadhan di Indonesia, artinya berbicara tradisi islam
Nusantara, yang dalam skala lebih besar berkait-erat dengan Islam
Nusantara, term yang menjadi polemik akhir-akhir ini oleh berbagai
kalangan, ada sebagian yang ‘meragukan’ –kalau tidak menolak- ada pula yang
bersikukuh dengan ke-otentikannya. Ada banyak definisi terkait Islam
Nusantara yang dikemukakan, dari yang menolak, yang sekedar mengkritisi,
dan yang mengukuhkannya, -dapat dilacak di google.






Sejatinya, definisi-definisi dari berbagai kalangan itu terdapat persamaan
persepsi yang mendasar bahwa islam nusantara adalah hasil daripada proses
akulturasi antara nilai keislaman (syariat) dengan tradisi lokal
setempat.Tetapi kemudian terhadap hasil dari proses itulah perbedaan sikap
atas tradisi dimulai.







Ulama-ulama nusantara –diawali para wali songo- sebelum sampai kepada
kesimpulankolektif terhadap tradisi lokal setempat, telah melakukan
Istiqra’ (penelitian)panjanguntuk mendialogkan sekaligus mendamaikan
syariat dan tradisi dengan memakai berbagai perangkat otoritatif dalam
Islam, ada yang disebut dengan Maqoshid al Syari’ah (tujuan-tujuan
syariat), Ushul al Fiqh (pokok-pokok teori fikih), danQowaid al Fiqh
(kaidah-kaidah fikih). Berkat kecemerlangan mereka, hasil dari akulturasi
(syariat dan tradisi) itu dengan mudah diterima oleh masyarakat tanpa
terjadi benturan dengan nilai keislaman yang baku, yang itu tidak sebatas
bentuk ‘sinkretisme’ antara islam dan budaya, dan tidak pula hasil dari
pemaksaan atas tradisi lokal untuk kemudian diberi label islam; tradisi
islam.






Landasan teori atas keberhasilan mendialogkan tradisi dan syariat itu dalam
pendekatan Maqoshid al Syariah, disebut dengan Ma’alat al Af’al
(konsekuensi logis atas perbuatan), yang (memang) mendapat perhatian lebih
oleh para ulama Nusantara dari berbagai teori yang ada. Yaitu sebuah teori
fikih yang digagas oleh al Syatibi dalam bukunya al Muwafaqot, yang
kemudian melalui Abdullah bin Bayyah teori ini lebih dikenal dengan Fiqh al
Tawaqqu’ (fikih antisipasi/fikih ramalan). Teori ini lebih menitik-beratkan
pada konsekuensi logis yang diterima dari setiap perbuatan atau tindakan,
atau lebih jelasnya konsekuensi atau implikasi baik dan buruk yang akan
diterima apabila suatu sikap-hukum diterapkan terhadap suatu perkara.






Bukan seperti ‘pepesan kosong’, teori diatas memiliki banyak acuan Nash
dari al Quran dan al Hadits, diantaranya sebagaimana dalam surah al An’am
ayat 108, tentang pelarangan menyela sesembahan selain Allah, karena
konsekuensi logis yang akan diterima, orang-orang yang sesembahannya dicela
oleh seorang muslim, maka orang-orang tersebut pasti akan balik mencela
sesembahan seorang muslim, yaitu Allah SWT, kemudian dari sini teori
Ma’alat al Af’al atau Fiqh al Tawaqqu’ itu mendapat posisinya. Dan masih
banyak lagi status hukum dalam sebuah Nash (quran maupun hadits) yang lahir
dari pertimbangan Syara’terhadap konsekuensi logis yang akan diterima,
untuk keterangan lebih jelasnya dapat dilihat dalam al Muwafaqot, karya al
Syatibi.






Kembali ke pembicaraan awal, berkat kecerdasan para ulama Nusantara itu,
benturan antara tradisi dan syariat dapat dihindari, bahkan berkat sikap
kolektif mereka (ulama) terhadap tradisi setempat, masyarakat dapat dengan
mudah menjalankan tradisi yang telah berlaku tanpa‘terusik’dengan status
hukumnya.






Ada banyak sekali tradisi-tradisi keislaman menjelang atau ketika memasuki
bulan Ramadhan di banyak daerah di Indonesia, bahkan di Jawa sendiri meski
ada persamaan ‘teritorial’, terdapat bermacam tradisi yang berbedasatu sama
lain, -seperti yang diceritakan peserta kongkow waktu itu. Tradisi-tradisi
seputar Ramadhan di Jawa yang hampir dikenal semua masyarakat secara umum
diantaranya Kenduri, Nyekar, Mbesik dan lain sebagainya. Bukan berarti
bebas status hukumnya, tradisi-tradisi tersebut telah mendapat ‘polesan’
dari para ulama, sehingga pembiaran atas eksistensi tradisi itu mendapat
justifikasinya, tentu saja dengan menggunakan perangkat otoritatif dalam
islam seperti yang penulis sebut diatas.






Tidak hanya memoles tradisi sehingga menjadi ‘legal’status hukumnya, tidak
jarang tradisi-tradisi non-islami itu oleh ulama nusantara kemduian
digunakan sebagai wasilah dakwah; sebuah perantara untuk mengenalkan
masyarakat kepada ajaran luhur islam, sebagaimana yang dilakukan sunan
kalijaga ketika menjadikan pementasan wayang sebagai sarana islamisasi.






Sikap kolektif-persuasif ulama terhadap tradisi setempat seperti ini
membuat Islam sebagai agama baru –dalam tradisi keberagamaan nusantara-
mudah diterima, dan dapat menempati posisi kokoh dalam sanubari
masyarakatnya. Inilah ciri khas (tradisi) islam yang ada di nusantara,
agama yang diwarnai banyak tradisi, tentu saja tradisi yang telah
dilegalkan status hukumnya, yang tidak bertentangan dengan hal-hal Ushul
(pokok) dalam agama. Meminjam istilah yang dipakai Azyumardi Azra, Islam
Nusantara itu adalah Islam yang berbunga-bunga, islam yang penuh dengan
berbagai macam tradisi. Menurut penulis, justru lebih dari sekedar
berbunga-bunga yang terbatas macamnya, tetapi lebih dari pada itu, islam di
Indonesia adalah agama yang penuh dengan warna (tradisi), yang warnanya
dapat dikombinasikan satu sama lain dengan sangat indah, oleh karenanya
islam di Indonesia pantas disebut sebagai agama pelangi; agama yang penuh
warna.






Ihwal semacam ini tentu berbeda dengan corak Islam yang terkesan penuh
paksaan dari sekelompok ‘ektremis’ pengimpor tradisi badui dari padang
pasir, corak islam yang cenderung ‘kaku’, sehingga mudah mem-purifikasi
setiap tradisi –yang tidak memiliki dalil shorih-nya dalam Qur’an maupun
Hadits- tanpa pandang bulu. Hal ini ber-implikasi terhadap kesan bahwa
islam bukan sebagai agama normatif yang dipeluk secara suka rela dengan
penuh tanggung jawab, tetapi tidak lebih seperti doktrin yang dipaksakan
kepada serdadu perang sebagai sebuah aturan-aturan yang tidak boleh
diterjang. []






Khartoum, 7 Ramadhan 1436 H


Ahmad Lukman Fahmi, Aktifis PCINU Sudan






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke