Islam Nusantara Perspektif Tradisi Pemikiran NU

Oleh: Muhammad Sulton Fatoni






Terma 'Islam Nusantara' menjadi perbincangan masyarakat Indonesia tidak
lama setelah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menetapkannya sebagai

tema Muktamar NU Ke-33 di Jombang pada tanggal 1—5 Agustus 2015,
"Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia". Berbagai
diskusi digelar, begitu juga puluhan artikel muncul di media nasional, dari
tulisan mahasiswa hingga Guru Besar. Tak pernah terjadi dalam sejarah NU
sebelumnya tema Muktamar bisa meledak dan jadi bahan diskusi seramai ini.




Di antara pemikiran yang muncul tentang 'Islam Nusantara' adalah
mengkomparasikannya dengan istilah 'Islam: The Straight Path' yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, 'Islam: Jalan Lurus', atau Islam:
Shiratal Mustaqim. Memaknai 'Islam: The Straight Path' dengan 'Islam: Jalan
Lurus' memang tidak menimbulkan pergeseran pemahaman. Namun menjadi
persoalan besar jika menyamakan makna 'Islam: The Straight Path' (Islam:
Jalan Lurus) dengan 'Islam: Sirathal Mustaqim'.




Rangkaian kata shirathal mustaqim terdapat dalam surah al-Fatihah ayat 6
(enam) yang lengkapnya, ihdinas shirathal mustaqim. Maksud kata shirath
dalam nash tersebut adalah 'agama Islam'. Sedangkan maksud mustaqim dalam
ayat tersebut adalah 'kemapanan tanpa distorsi' (Ahmad as-Showy, 1813M).
Sehingga jika dirangkai dalam satu kalimat, 'islam: Shiratal Mustaqim'
menimbulkan kekacauan arti yang bersumber dari kesalahan merangkai kata.
Padahal Rasulullah saw menegaskan bahwa Islam itu kesaksian ketuhanan hanya
Allah, kerasulan Muhammad saw, komitmen melaksanakan salat, mengeluarkan
zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji saat mampu (Imam Muslim, 875M).




Muncul juga pemikiran mengkomparasikan 'Islam Nusantara' dengan istilah

'Islam Rahmatan lil 'Alamin'. Kalimat 'rahmatan lil 'alamin' ini terdapat
dalam surah al-Anbiya' ayat 107, wa ma arsalnaka illa rahmatan lil alamin
(Aku tidak utus engkau Muhammad kecuali untuk mengasihi alam semesta). Ibn
Abbas menegaskan bahwa subyek dari misi 'mengasihi alam semesta' adalah
Nabi Muhammad saw. Sedangkan obyeknya adalah seluruh umat manusia
(at-Thabari: 919M). Maka rangkaian kata 'Islam rahmatan lil 'Alamin' pun
memunculkan kekacauan arti yang disebabkan oleh kesalahan merangkai kata.




Kedua rangkaian kata di atas sudah cukup populer di tengah masyarakat.
Kedua fakta tersebut tentu problem besar mengingat keduanya (shiratal
mustaqim dan rahmatan lil 'alamin) adalah bagian dari nash al-Qur'an.
Padahal telah menjadi kesepakatan ulama bahwa hanya orang-orang dengan
kriteria tertentu saja yang punya otoritas untuk memaknai al-Qur'an.




Terma 'Islam Nusantara' juga tidak tepat dianalisa dengan pendekatan ilmu
linguistik Arab teori nisbat. Sebab kata 'Nusantara' dalam rangkaian 'Islam
Nusantara'—dalam berbagai tulisan para pemikir NU—itu bukan untuk
kategorisasi. Kata 'Nusantara' dalam konteks linguistic hanya menerangkan
teritori dimana penghuninya memeluk agama Islam.




Begitu memahami 'Islam Nusantara' dengan pisau analisa pendapat
Koentjaraningrat. Sudah sepatutnya Koentjaraningrat berpendapat bahwa agama
itu titah Tuhan dan sebaiknya tidak berusaha mengembangkan suatu agama
Islam khas Indonesia. Pernyataan Koentjaraningrat tersebut berkesesuaian
dengan prinsip Islam sebagai ajaran yang mapan tanpa distorsi (shirathal
mustaqim). Hanya saja terma 'Islam Nusantara' bukanlah bentuk pengembangan
agama Islam.




Lalu bagaimana dengan terma 'Islam Nusantara'? Dua rangkaian kata ini
sebenarnya membutuhkan penjelasan sederhana. 'Islam' dan 'Nusantara' adalah
dua kata yang masing-masing mempunyai makna, dan kedua kata tersebut
digabungkan untuk membentuk frasa. Maka jadilah rangkaian 'Islam Nusantara'
yang memperlihatkan hubungan erat antara bagian yang
diterangkan-menerangkan (Ramlan, 1985) meski tanpa menimbulkan makna baru.




Dalam ilmu bahasa Indonesia jenis penggabungan kata ini disebut 'aneksi'.
Karena masuk dalam kategori 'aneksi' maka terma 'Islam Nusantara' sama saja
dengan terma 'Islam di Nusantara'.




'Islam Nusantara' dengan makna yang sama dapat dipahami dari perspektif
gramatika Arab bahwa rangkaian dua kata 'Islam Nusantara' bukan susunan
shifat-maushuf (sifat-yang disifati), melainkan susunan idlâfah (aneksi).
Karena itu di antara kedua kata tersebut terkandung kata imbuhan, bisa
berimbuhan min (dari) atau fî (di). Contoh, khâtamu hadîdin, artinya cincin
'dari' besi; qiyâmul lail, artinya salat 'di' malam hari. Maka rangkaian
'Islam Nusantara' itu bukan bermakna 'Islam' disifati 'Nusantara', tapi
'Islam hidup di Nusantara'. Kata 'Nusantara' bukan sifat dari Islam, tetapi
sebagai idlâfah (KH. Subhan Ma'mun, 2015).




Sedangkan dari sisi substansi, terma 'Islam Nusantara' itu paham dan
praktik keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks
syariat dengan realita dan budaya setempat. Spirit 'Islam Nusantara' adalah
praktik berislam yang didahului dialektika antara nash syariah dengan

realitas dan budaya tempat umat Islam tinggal (Afifuddin Muhajir, 2015).




Perspektif ushul fiqh, proses dialektika antara nash syariah dengan
realitas dan budaya tempat umat Islam tinggal itu sesuatu yang lumrah
terjadi bahkan pasti terjadi mengingat Islam itu ajaran yang universal. Dan
'Islam Nusantara'  adalah wujud Islam sebagai agama universal mengingat ia
telah dipeluk oleh ratusan juta penduduk Nusantara dan telah melahirkan
ratusan ribu produk hukum dan khazanah keislaman lainnya. Bertolak dari
pemahaman di atas, tak perlu takut Islam terdistorsi gara-gara muncul terma
'Islam Nusantara', atau bahkan nanti menyusul muncul terma 'Islam Amerika',
'Islam Eropa', 'Islam Australia', 'Islam Afrika, dan lainnya.




Terlepas dari kajian sisi linguistiknya, terma 'Islam Nusantara' dan 'Islam
Rahmatan lil 'Alamin' mempunyai spirit sama mengingat keduanya lahir dari
rahim Nahdlatul Ulama. Hanya dari sisi konsekuensinya, 'Islam Nusantara'
tidak problematik mengingat ia tidak menimbulkan kekacauan arti.




Dialektika Nash Syariah dan Budaya Lokal




Masyarakat muslim pesisir pantai pada musim tertentu melakukan ritual
'sedekah laut'. Terdapat kajian menunjukkan bahwa 'sedekah laut' tersebut
adalah bentuk konversi kepercayaan non Islam ke agama Islam. Padahal
'sedekah laut' tersebut bukan wujud konversi melainkan wujud dari hasil
dialektika antara nash syariah dengan budaya setempat. Artinya, 'sedekah
laut' yang masih bertahan di tengah masyarakat tidak pertentangan dengan
Islam. Jika proses sedekah di laut itu sebatas konversi tentu tak ada
gunanya Islam mereka anut. Begitu juga dengan kepercayaan terhadap Nyi Loro
Kidul yang dianut oleh sebagian muslim di pesisir pantai bukanlah bentuk
konversi namun hasil dialektika nash syariah dengan budaya.




Budaya yang telah mendapatkan legitimasi nash syariah menjelma menjadi
ritual ibadah. Proses ini sesuatu yang lumrah terjadi di lingkungan para
kiai di Nusantara. Sehingga keislaman masyarakat Nusantara mempunyai corak
yang sama karena referensi (masyrab wal ma'khadz) dan konsep pemikirannya
yang tunggal (ittifaqul ara'). KH Hasyim Asyari dalam kitabnya, Risalatu
Ahlissunnah wal Jamaah mencatat masyarakat Islam negeri Jawa baru mengalami
pertentangan dan gesekan saat memasuki tahun 1912M. Problem sosial
keagamaan ini disebabkan kemunculan kelompok penentang (mutadafi'ah) dan
kelompok-kelompok yang mengusung aliran-aliran baru (mutanawwi'ah).




Maksud mutadafi'ah saat itu adalah kemunculan kelompok kecil pendatang yang
pendapat dan perilaku keislamannya menimbulkan pertentangan di tengah
masyarakat Islam. Sedangkan maksud mutanawwi'ah saat itu adalah
kelompok-kelompok kecil pendatang yang masing-masing di antara mereka
berbeda pemikiran dan perilakunya sehingga tampak 'aneh-aneh'. Maka
menghadapi kelompok mutadafi'ah dan mutanawwi'ah yang ekspresif ini perlu
gerakan sistematis. Caranya dengan mendorong Nahdlatul Ulama untuk
memberikan perlindungan (jam'iyyatu aman) dan memperjuangkan keadilan
(jam'iyyatu 'adl) untuk masyarakat luas (KH Hasyim Asyari, 1928).




Memberikan perlindungan (jam'iyyatu aman) dalam konteks kemunculan kelompok
mutadafi'ah dan mutanawwi'ah adalah mendampingi masyarakat muslim untuk
melaksanakan ibadahnya, baik yang bersifat mahdhah (pure) maupun ghairu
mahdhah (social and culture). Resources masyarakat tentu terbatas dibanding
resources kelompok mutadafi'ah yang kecil dan solid. Karena itu para kiai
dan perangkat organiknya selalu berupaya hadir di tengah masyarakat sebagai
bentuk menjaga ketertiban sosial.




Sedangkan memperjuangkan keadilan (jam'iyyatu 'adl) dalam konteks
kemunculan kelompok mutadafi'ah dan mutanawwi'ah adalah menempatkan para
kiai sebagai intelektual organik yang berpikir obyektif. Masyarakat muslim
yang mengalami tekanan dari kelompok mutadafi'ah dan mutanawwi'ah
diadvokasi untuk mendapatkan kembali hak ritualnya.




Para kiai tidak hanya sekedar menjelaskan ritual dari sisi basis
teoritisnya namun juga proses dialektika nash syariah dengan kebudayaan
setempat. Bahasa kebudayaan untuk mengekspresikan empati dan rasa yang
tidak bisa diekspresikan oleh masyarakat sendiri (Leszek Kolakowski, 1978)
sekaligus basis teoritik yang menjadi titik lemah masyarakat.




Meneruskan Tradisi Pemikiran




Di antara kekuatan Nahdlatul Ulama adalah melakukan diaspora pemikiran yang
tak pernah putus sepanjang eksistensinya sejak 1926. Para kiai dan kelompok
intelektual NU selalu melahirkan pemikiran dan ide baru yang mampu
menggugah umat Islam Indonesia untuk larut dalam arus gagasannya. Contoh,
gagasan besar NU yang dicetuskan pada saat Muktamar di Surabaya tahun 1927
yang menyerukan 'perang kebudayaan' melawan penetrasi budaya Barat yang
disimbolkan oleh kolonial Belanda. Waktu itu asesoris dasi dilawan dengan
kopyah, jas dilawan dengan baju koko, celana dilawan dengan sarung, sepatu
dilawan dengan bakiak (doc. PBNU).




Tradisi berpikir dan membangun gagasan besar hingga menjadi kebudayaan
telah menjadi bagian penting kehidupan NU. Mestinya jika bangsa ini ingin
besar tradisi ini tidak hanya tumbuh subur di kalangan NU namun di
sepanjang sejarah sebagian besar orang-orang Indonesia. Namun cukup kecil
para intelektual yang berminat di bidang ini.




Bagi kelompok tertentu, terma 'Islam Nusantara' itu diyakini gagasan yang
tidak masuk akal sehingga patut diremehkan. 'Islam Nusantara' dianggap
sebagai sisi gelap agama Islam. Belajar dari logika Antoni Giddens, padahal
jika ingin benar-benar memahami tradisi perlu tidak menganggap 'Islam
Nusantara' sebagai ketololan. Para intelektual muslim perlu mendekati
gagasan 'Islam Nusantara' secara hati-hati.




Terma 'Islam Nusantara' juga bagian dari ide kreatif para kiai sebagai
bagian dari ekspresi kesetiaan terhadap ilmu keislaman yang bercirikan
tradisional. Terma 'Islam Nusantara' yang dijadikan tema Muktamar NU Ke-33
di Jombang pada tanggal 1—5 Agustus 2015 sebenarnya tidak berdiri sendiri.
Terma ini mempunyai mata rantai dengan hasil riset KH Hasyim Asyari yang
kemudian mencetuskan terma 'muslimul aqtharil Jawiyyah' (masyarakat Islam
Jawa dan sekitarnya) pada 1912M.




Memilih terma 'Islam Nusantara' agar masyarakat muslim Indonesia lebih
nyaman dan mudah memahami dibanding menyebut 'Islam Negeri Jawa'. Meskipun
di era lampau penyebutan kata 'jawa' itu bermaksud menunjuk teritori Asia
Tenggara di era kini namun faktanya hanya segelintir orang yang mengetahui
hal tersebut. Thomas Rawlison pada awal abad ke-18 pernah melakukan hal
yang sama saat ia merancang mode pakaian baru menggantikan yang lama supaya
lebih nyaman dan mudah bagi para pekerja (Giddens, 1999).




Kalimat 'muslimul aqtharil jawiyyah' yang dipopulerkan KH Hasyim Asyari
seratus tahun lalu adalah gambaran mayoritas muslim dalam berpikir dan
bertindak (manhajan wa ibadatan). Jika kebanyakan sesuatu yang dianggap
tradisional itu mampu menembus batas waktu tak lebih dari dua abad
(Giddens, 1999) justru terma 'muslimul aqtharil jawiyyah' menembus 14 abad.
Sebab kalimat 'muslimul aqtharil jawiyyah' itu implementasi dari nash
syariah, 'sawadul a'dham' (corak muslim mayoritas).




Menurut KH Hasyim Asyari, 'sawadul a'dham' itu masyarakat yang mengikuti
khittah 'ulama mayoritas'. Sedangkan 'ulama mayoritas' (sawadhul a'dham)
dalam konteks kekinian adalah yang sesuai dengan ulama Mekkah, Madinah &
al-Azhar. Maka term 'Islam Nusantara' itu maksudnya kesatuan pikir &
tindakan ulama Jawa-Makkah-Madinah & al-Azhar yang diikuti oleh masyarakat
Islam sedunia. Maksud 'ulama al-Azhar' itu para ulama di al-Azhar as-Syarif
Kairo Mesir yg selama ini kukuh dlm kebenaran. Sedangkan maksud 'ulama
Makkah dan Madinah' adalah ulama-ulama ahlussunnah wal jamaah di dua kota
suci tersebut yang masih bertahan di tengah kekuasaan rezim Wahabi. Inilah
mata rantai 'Islam Nusantara' dalam sejarah panjang bangunan peradaban yang
digagas Nahdlatul Ulama.




Terma 'sawadul a'dham' diperkenalkan Rasulullah saw. Begitu juga terma
'muslimul aqtharil jawiyyah' sebagai implementasi atas nash suci tersebut,
dikreasi oleh KH Hasyim Asyari 14 abad setelah terma sawadul a'dham pertama
kali di-nash-kan. Sedangkan NU memperkenalkan 'Islam Nusantara' seratus
tahun setelah KH Hasyim Asyari memperkenalkan terma 'muslimul aqtharil
jawiyyah'. Semua itu dirancang, dikreasikan, diwujudkan, diciptakan dan
bukan tumbuh secara spontan.




Nahdlatul Ulama mampu bertahan hingga kini salah satu faktornya adalah
memposisikan dirinya sebagai agen perubahan, bukan institusi yang bertahan
dari arus perubahan. Sebagai institusi di barisan tradisionalis, NU terus
menciptakan tradisi-tradisi yang berbasis keislaman dan kelangsungannya
dijaga orang-orang bijak, pemimpin agama, guru (Giddens, 1999) dan tentu
saja para kiai. []






DETIK, 29 Jul 2015


Muhammad Sulton Fatoni | Wakil Sekjend PBNU; Dosen Sosiologi Universitas
Nahdlatul Ulama Indonesia, Jakarta






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."
  • [keluarga-islam] Isl... Ananto pratikno.ana...@gmail.com [keluarga-islam]

Kirim email ke