Orang Marah Yang Dicintai Allah





Suatu hari seorang kaya raya memanggil budaknya. Ia membutuhkan sesuatu.
Perutnya berbunyi. Alarm di mana tubuh si orang kaya ini membutuhkan
pasokan logistik. Mulutnya bau. Ia lapar. Karna lapar juga menyerang orang
kaya. Kekayaannya terikat (muqayyad). Tiada kekayaan absolut (mutlaq).
Artinya, orang kaya maupun orang miskin, pejabat maupun jelata, sama-sama
faqir.




Memahami perintah sang tuan, si budak membawakan makanan dalam sebuah
nampan lebar. Tanpa pikir panjang, ia jalani kewajiban sebagaimana
biasanya. Tetapi hari itu yang tanpa mendung apalagi hujan, mengubah
nasibnya.




Di tengah membawa nampan lebar itu, kakinya menabrak bibir permadani tebal.
Ia tersandung. Ia jatuh bersama nampan di tangannya. Sajian berupa aneka
makanan lezat di atas nampan, berhamburan. Dentuman nampan logam mulia,
berdebam datar di atas permadani mewah dan tebal.




Sementara wajah sang tuan merah. Geram. Ia jengkel bukan kepalang.
Mengetahui tuannya mendongkol, sang pelayan berdiri tegap setelah membenahi
hamburan isi nampan. Lalu terjadilah dialog sebagai berikut.




“Tuanku paduka yang mulia, dengan segenap hormat hamba harap paduka
berpegang pada firman Allah SWT,” kata sang budak sedikit gugup memulai
permohonan maaf.





Tuannya berkata dengan suara tinggi, “Apa yang pernah Allah firmankan?”




“Dia pernah berfirman...” lalu ia membaca pecahan ayat 134 Surat Ali Imron
yang menerangkan sifat orang yang bertakwa. “والكاظمين الغيظ ” artinya
(orang bertakwa ialah ... dan mereka yang menahan amarah).




“Baik, aku tahan marahku,” jawab sang tuan dengan warna wajah kembali
normal. Suara masih tinggi.




“Tuanku, Allah juga berfirman, (dan mereka yang memaafkan kesalahan orang
lain) والعافين عن الناس”.




“Oke, kumaafkan kesalahanmu,” tanggap sang tuan dengan suara dingin.




“Terima kasih paduka, (Allah mencinta mereka yang berbuat baik) والله يحب
المحسنين”, tutup sang budak masih gugup.




Semua firman yang dibacanya merupakan kepingan-kepingan ayat 134 pada surat
Ali Imron. Setelah itu, dengan wajah semringah sang tuan memerdekakan
budaknya. Ia pun membekali budaknya dengan uang sebanyak 1000 dinar.




Dengan menahan marah dan memaafkan kesalahan budaknya dalam bekerja, sang
majikan berhak meraih hangatnya cinta dari Allah SWT. Demikian uraian Syekh
Ahmad bin Syekh Hijazi dalam Al-Majalisus Saniyah perihal wasiat Rasulullah
SAW berkali-kali kepada seorang sahabat, “La taghdhob!” (jangan marah).
Wallahu A’lam. []






(Alhafiz K)






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke