NU-Muhammadiyah sebagai Jangkar Etika

Oleh: Yudi Latif






Muktamar Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah berlangsung di tengah kemarau
etika-spiritual yang melanda kehidupan bernegara. Kebebasan demokratis
selama 15 tahun terakhir mempercanggih politik sebagai teknik, tetapi
memundurkan politik sebagai etik. Politik dan etika terpisah seperti
terpisahnya air dengan minyak. Akibatnya, kebajikan dasar kehidupan bangsa,
seperti keadaban, responsibilitas, keadilan, dan integritas, runtuh.






Semua mata menunggu dengan harap-harap cemas bagaimana muktamar kedua ormas
keagamaan terbesar itu berjalan. Masih adakah sumur keteladanan yang
tersisa di tengah dahaga jutaan rakyat yang menanti tetes-tetes air harapan?






Tidak berlebihan jika kita berharap banyak dari NU-Muhammadiyah. Keduanya
dapat dikatakan sebagai reservoir etika republik. Keduanya berinvestasi
banyak dalam menyemai benih kehidupan etis sebelum republik berdiri.
Keduanya juga menempatkan wakilnya dalam perumusan dasar negara dan
konstitusi negara pertama.






Wakil dari kedua ormas dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dengan gigih
memperjuangkan prinsip ketuhanan sebagai salah satu sila yang harus
diutamakan dalam dasar negara. Tentu jadi pertanyaan, mengapa untuk urusan
negara modern, prinsip ketuhanan yang bersifat meta-rasional perlu
dilibatkan dalam urusan publik yang semestinya bersifat rasional?






Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita bisa menoleh ke buku A Study of
History karya sejarawan Inggris, Arnold Toynbee. Lewat buku ini, ia melacak
faktor kebangkitan dan kejatuhan sekitar 20 peradaban. Pada setiap kasus,
Toynbee mengaitkan disintegrasi peradaban dengan proses melemahnya visi
spiritual peradaban tersebut. Singkat kata, bangunan negara (dan peradaban)
tanpa landasan etika-spiritual ibarat bangunan istana pasir.






Studi Toynbee itu mengisyaratkan ada hubungan erat nilai-nilai spiritual
keagamaan dengan kemajuan bangsa dan peradaban. Samuel Huntington dalam Who
Are We? menunjukkan hal menarik mengenai keberlangsungan Amerika Serikat
(AS) sebagai negara adikuasa dibandingkan Uni Soviet. Di AS, urainya,
”Agama telah dan masih menjadi sesuatu yang sentral dan barangkali
identitas yang paling sentral bagi bangsa Amerika” (Huntington, 2004:20).
Huntington juga menunjukkan (2006), geografi peradaban yang mampu bertahan
adalah yang berbasis keyakinan/ketuhanan. Dalam kaitan antara corak
keagamaan dan politik, Alexis de Tocqueville (1835/1998) dan Robert Putnam
(2006) mewakili ahli yang menunjukkan peran nilai-nilai keagamaan dalam
memengaruhi demokrasi.






Ada faktor budaya yang dipengaruhi agama yang jadi rintangan bagi kemajuan.
Namun, beberapa penelitian juga menunjukkan, faktor keyakinan memberi
kontribusi penting dalam proses demokrasi. Banyak faktor yang ikut
memengaruhi sehingga dalam konteks mana agama menjadi rintangan dan dalam
konteks mana menjadi pendorong kemajuan jadi hal yang harus dipertimbangkan.






Dalam kaitan itu, hendaklah disadari bahwa agama sebagai pedoman hidup yang
berkaitan dengan yang suci (sacred) sedari awal memang mengandung kekuatan
yang ambivalen: menakjubkan dan menghancurkan. Kata sacred (Latin, sacer)
itu bisa berarti karunia atau kutukan, suci atau cercaan.






Modus beragama yang berhenti sebagai pemujaan eksterioritas formalisme
peribadatan, tanpa kesanggupan menggali interioritas nilai spiritualitas
dan moralitas, hanyalah berselancar di permukaan gelombang bahaya. Tanpa
menyelam di kedalaman pengalaman spiritual dan moralitas, keberagamaan jadi
mandul, kering, dan keras; tak memiliki sensitivitas-kontemplatif. Tanpa
penghayatan etika-spiritual yang dalam, orang akan kehilangan apa yang
disebut penyair John Keats sebagai negative capability, yakni kesanggupan
untuk berdamai dengan ketidakpastian, misteri, dan keraguan dalam hidup.
Tanpa menghikmati misteri, manusia memaksakan absolutisme sebagai respons
ketakutan atas kompleksitas kehidupan dunia yang menimbulkan penghancuran
ke dalam dan ancaman ke luar.






Pemulihan krisis kehilangan basis kepercayaan saat agama yang seharusnya
membantu manusia untuk menyuburkan rasa kesucian, keluhuran budi pekerti,
kasih sayang, dan perawatan justru sering kali memantulkan rasa
keputusasaan, keserakahan, dan kekerasan zaman dalam bentuk terorisme,
pragmatisme, permusuhan, dan intoleransi.






Pada titik ini, Muktamar NU-Muhammadiyah merupakan pertaruhan besar tentang
jangkar kehidupan etis di negara ini. Kebanggaan tentang wajah Islam
Nusantara yang ramah, etis, dan estetis harus dibuktikan agar tidak
berhenti sebagai pepesan kosong dan agar bangsa ini masih bisa menanti
datangnya hujan di tengah krisis kemarau etika yang berkepanjangan.






Untuk keluar dari krisis, suatu bangsa tidak hanya memerlukan transformasi
institusional, tetapi juga transformasi etika-spiritual. Dalam proses
transformasi ini, seperti ditekankan Karen Amstrong dalam The Great
Transformation (2006), persoalan agama tidak berhenti pada apa yang kita
percaya, tetapi pada apa yang kita perbuat. Untuk itu, agama tidak perlu
meninggalkan kepercayaan dan ritualnya, tetapi perlu lebih menekankan
pentingnya komitmen etis dengan menempatkan moralitas dan spiritualitas
dalam kehidupan agama dan publik. []






KOMPAS, 4 Agustus 2015


Yudi Latif | Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia; Pendapat Pribadi






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke