Pendidikan untuk Merdeka

Oleh: Ignas Kleden






Menjelang tiap 17 Agustus, kita teringat lagi akan metafor Bung Karno
tentang kemerdekaan, yang diibaratkannya sebagai sebuah jembatan, bahkan
jembatan emas. Indonesia harus menyeberangi jembatan itu, barulah di
seberangnya dapat diselesaikan berbagai masalah lain yang akan dihadapi
sebagai suatu bangsa.






Setelah 70 tahun merdeka, makin terlihat di antara berbagai masalah
menyangkut ekonomi, politik, sosial-budaya, dan hubungan internasional, ada
masalah lain, yaitu seberapa jauh kemerdekaan politik yang diproklamasikan
pada 17 Agustus 1945 sudah berhasil mengubah perilaku sebuah bangsa
terjajah jadi bangsa yang merdeka dalam sikap, perilaku, dan alam
pikirannya. Apakah kemerdekaan politik menghasilkan sikap merdeka dalam
kebudayaan? Apakah terlepasnya Indonesia dari penjajahan asing menghasilkan
kebebasan yang lebih leluasa dalam jiwa dan pikiran yang lebih terbuka
dalam berhadapan dengan kesulitan sehari-hari?







Bung Hatta sudah mengatakan bahwa kemerdekaan perlu disertai pendidikan

yang bertujuan memberi pengertian, keinsafan dan keyakinan. Orang-orang
yang punya pengertian dan keyakinan sudah merdeka dalam semangatnya, meski
negerinya masih diperintah oleh kekuasaan asing. Pernyataan itu dapat
mengandung implikasi: orang-orang yang tidak punya pengertian dan keyakinan
tetap jadi orang yang tidak merdeka dalam semangatnya, sekalipun bangsanya
sudah terlepas dari kungkungan suatu pemerintahan asing.






"Pemindahan kekuasaan" yang dinyatakan dalam proklamasi hendak diselesaikan
"dalam tempo sesingkat-singkatnya", tetapi kemudian kita berurusan dengan
"pemindahan budaya" yang mungkin belum selesai juga setelah lewat 70 tahun.
Penjajahan asing sudah lama berakhir, tetapi akibat-akibat penjajahan dapat
lebih lama mengendap dalam perilaku orang- orang di suatu bekas koloni.






Nalar dan kepribadian






Akibat-akibat penjajahan itu tak selalu merupakan peninggalan yang buruk.
Tradisi menghormati hukum negara yang diwariskan oleh Inggris di berbagai
bekas jajahannya bertahan hingga sekarang. Kehidupan dalam negara bukanlah
kehidupan liar yang didasarkan pada improvisasi dari waktu ke waktu, tetapi
suatu kehidupan berdasarkan aturan hukum, sehingga perilaku orang dapat
diramalkan karena mengikuti pola yang mengikuti peraturan yang berlaku.






Dalam satu konferensi internasional di Penang, Malaysia, saya datang
terlambat sehari. Turun dari pesawat saya segera naik taksi menuju tempat
konferensi. Setelah duduk dalam taksi beberapa saat lamanya, sopirnya tidak
menghidupkan mesin sehingga saya menegurnya untuk segera berangkat karena
saya sudah terlambat. Dengan sopan dalam sikap formal dia menjawab, "Please
fasten your seat belt, Sir, according to Malaysian law" (Silakan ikat sabuk
pengaman Tuan, menurut hukum Malaysia). Saya agak kaget karena
diperingatkan oleh seorang sopir taksi untuk taat pada hukum negaranya.






Penjajahan Belanda dengan segala penindasan yang dilakukannya meninggalkan
satu hal baik yang patut dicatat, yakni pendidikan modern yang diberikannya
di Hindia Belanda sebagai implementasi Politik Etis pada awal abad ke-20.
Sekalipun tujuan akhir pendidikan itu untuk mendapatkan tenaga-tenaga
berpengetahuan dan bisa menjadi pegawai yang diandalkan untuk melestarikan
penjajahannya atas Hindia Belanda, pendidikan yang diberikan ternyata
bermutu tinggi. Hasil pendidikannya sudah kita ketahui, yaitu generasi
pendiri republik ini, yang memiliki pengetahuan dan kecakapan yang dapat
dibandingkan dengan lulusan sekolah mana pun di negara maju lainnya, baik
sekolah menengah maupun universitas.






Standar pendidikan di HBS Batavia atau Surabaya pada masa itu dipastikan
sama kualitasnya dengan HBS di Amsterdam. Inilah suatu bukti bahwa
pendidikan yang mengembangkan nalar dengan benar, dan membentuk kepribadian
yang etis, pada akhirnya tidak bisa membenarkan tujuan yang tidak benar,
yang hendak dilayani oleh pendidikan itu. Tidak semua lulusan mau bekerja
sebagai pegawai di perusahaan, kantor, atau birokrasi Belanda. Banyak yang
memilih menjadi manusia bebas yang memimpin bangsanya melepaskan diri dari
penjajahan.






Makna pendidikan ini diungkapkan Sukarno dalam epigram sebuah artikelnya.
Dia menulis "men kan niet onderwijzen wat men wil, men kan niet onderwijzen
wat men weet, men kan alleen onderwijzen wat men is" (orang tidak dapat
mengajar apa yang dia mau, orang tidak dapat mengajar apa yang dia tahu,
orang hanya dapat mengajarkan apa yang ada dalam dirinya).






Konon, Mussolini-pemimpin fasisme Italia dalam Perang Dunia II-pernah
berkata bahwa demokrasi sudah passé, sudah tamat riwayatnya, karena orang
sudah letih dengan kebebasan. Mengomentari pernyataan ini, John
Dewey-filosof dan penganjur serta pembela demokrasi yang gigih dalam
pendidikan di AS-mengatakan mungkin ada benarnya apa yang dikatakan
Mussolini. Kebebasan dan kemerdekaan politik bukanlah suatu keadaan kosong,
tapi mengandung tugas dan tanggung jawab yang harus dipenuhi. Keadaan tak
bebas membuat kehidupan ditentukan pihak lain, dan kita hanya perlu
melaksanakannya tanpa perlu berpikir mengenai alasan dan konsekuensinya.
Suatu ketergantungan seperti itu diubah oleh kemerdekaan menjadi kehidupan
yang ditentukan sendiri oleh seseorang yang harus berdiri tegak di atas
kakinya dan memutuskan setiap saat apa yang harus dilakukan, sebaiknya
dilakukan, atau tidak boleh dilakukan, agar tidak meniadakan hormatnya pada
kebebasan sebagai martabat dirinya sebagai orang merdeka.






Ada relasi ganda dalam tiap kebebasan, yaitu hubungan keluar, khususnya
dengan pembatasan-pembatasan eksternal, dan hubungan ke dalam antara tiap
orang dengan dirinya sendiri. Dalam kasus pertama, para ahli psikologi dan
filsafat menamakannya keadaan "bebas dari" atau freedom from, sedangkan
dalam kasus kedua ditunjuk keadaan "bebas untuk" atau freedom for. Situasi
"bebas dari" merujuk ke halangan atau pembatasan-pembatasan yang ditetapkan
dari luar untuk seseorang. Kalau hambatan-hambatan itu hilang dan
pembatasan-pembatasan disingkirkan, seorang menjadi "bebas dari". Dalam
kasus kedua, kebebasan ibarat modal yang harus diputar seseorang untuk
menghasilkan keuntungan dan kemajuan yang berguna bagi dirinya dan orang
lain. Ada kewajiban dan tuntutan yang harus dipenuhi dalam kebebasan.
Psikolog Erich Fromm mengingatkan dalam bukunya Escape From Freedom (Lari
dari Kebebasan): kebebasan mengandung tanggung jawab dalam melakukan
pilihan-pilihan yang tersedia. Orang yang enggan memanfaatkan kebebasan
sebagai fasilitas dan tugasnya, atau orang yang memilih tidak melakukan
pilihan apa pun, cenderung jatuh kembali pada jebakan sikap tidak merdeka,
khususnya jebakan otoritarianisme.






Filosof Inggris, Francis Bacon, menamakan sikap tidak merdeka ini sebagai
insting menyembah beberapa jenis berhala atau idols. Orang yang tidak
membuka dirinya untuk mengonfrontasikan prasangka dan
kepentingan-kepentingan diri dengan pemikiran orang lain seakan mengubah
dirinya jadi sebuah gua tempat dia menyembunyikan diri dan merasa aman di
dalamnya. Dia menyembah idol of the cave. Pun demikian orang yang
terkungkung dalam kelompok suku atau kelompok etnik dan memandang orang
dari kelompok lain sebagai ancaman dan bahaya, mencari perlindungan dalam
idol of the tribe. Sebaliknya, orang yang tak berani mempertahankan
pendirian dan pikirannya, dalam berhadapan dengan keyakinan umum dalam
suatu lingkungan, dan percaya saja kepada segala apa yang dikatakan oleh
orang-orang sekitarnya, seakan menemukan dalam komunitasnya idol of the
market-place yang mendiktekan bagaimana dia harus berlaku dan bertindak.
Ibaratnya di tengah pasar dia hanya bisa membeli apa yang ditawarkan.
Sementara itu, mereka yang percaya secara mutlak kepada apa yang
diterimanya dalam tradisi, tanpa keberanian untuk memikirkannya kembali,
memperlakukan ajaran dan nilai-nilai yang diterimanya sebagai idol of the
theatre. Mereka bertindak sebagai para aktor yang harus menghafal naskah
dialog dan kemudian mementaskannya dalam pertunjukan teater untuk ditonton.






Lepaskan dari ketergantungan






Kemerdekaan suatu bangsa berarti dia menyatakan bebas dari ketergantungan
kepada suatu kekuasaan dari luar. Dia di- anggap sanggup mengatur diri
sendiri dan menentukan nasibnya sendiri. Kemerdekaan yang dirayakan pada
tiap 17 Agustus adalah suatu konsep kolektif. Pernyataan diri untuk bebas
dari ketergantungan asing adalah pernyataan diri berbagai kelompok orang
yang kemudian menyatakan bersatu dalam suatu kesatuan bangsa.






Namun demikian, kemerdekaan kolektif ini selanjutnya direalisasikan secara
individual pada diri tiap orang yang jadi anggota bangsa tersebut.
Terlepasnya suatu bangsa dari ketergantungan pada suatu kekuatan dan
penguasaan asing menjadi prasyarat bahwa tiap individu anggota bangsa itu
juga dapat membebaskan dirinya dari ketergantungan pada kekuatan- kekuatan
domestik yang dapat menghambat perkembangan dan kemajuan dirinya.






Perjuangan kemerdekaan suatu bangsa untuk melepaskan diri dari
ketergantungan pada kekuasaan asing kini diganti perjuangan dalam
pendidikan guna membantu tiap individu melepaskan diri dari
kekuatan-kekuatan yang ada dalam negeri sendiri, yang dapat menghambat
perkembangan seseorang menjadi individu yang berdiri sendiri, tidak
bergantung, dan tidak mengandalkan pihak-pihak di luar dirinya untuk bisa
berkembang dan mencapai kematangan dan kemandirian untuk maju. Ini artinya,
keberhasilan pendidikan diukur berdasarkan berhasil atau gagalnya
pendidikan itu membuat peserta didik menjadi orang yang tidak hidup dari
ketergantungan, tetapi dapat berdiri di atas kaki sendiri untuk membangun
nasibnya berkat kemajuan yang dicapai melalui usaha yang dijalankannya
dengan memanfaatkan kesempatan yang ada.






Pada usia kemerdekaan nasional ke-70, kita sepatutnya bertanya: apakah
pendidikan nasional kita membuat peserta didiknya semakin bebas dan mandiri
sebagai seorang pribadi yang merdeka, atau makin menjebak mereka dalam
ketergantungan kepada kekuatan-kekuatan yang ada di luar diri mereka? Kita
mencatat bahwa pendidikan selama Orde Baru telah memperluas kesempatan
pendidikan secara ekstensif, menambah jumlah sekolah, memberi beasiswa
untuk sekolah menengah dan pendidikan tinggi; dan dalam masa Reformasi
sekarang, menambah anggaran pendidikan hingga 20%. Semua ini merupakan
kemudahan untuk pendidikan, tetapi baru menyangkut fasilitas secara fisik.
Kita tahu pendidikan selama Orde Baru amat berhasil mendidik ketaatan
kepada kekuasaan dan kontrol, tetapi relatif menciptakan banyak pembatasan
untuk kebebasan dan kreativitas. Sistem ujian pilihan ganda cenderung
membuat orang tidak sanggup berpikir out of the box karena pertanyaan dan
jawaban sudah dibatasi dalam suatu kerangka yang tidak boleh diterobos.
Peserta didik tidak mencari jawaban menurut nalar mereka, tetapi hanya
memilih di antara kemungkinan jawaban yang sudah disediakan.






Tiap kekuasaan amat berkepentingan dengan pendidikan, apakah kekuasaan
kolonial atau kekuasaan nasional. Reformasi 1998 melakukan pembaruan dalam
banyak sektor, tetapi tak sanggup menerobos perangkap pendidikan untuk
ketaatan pada kekuasaan, dan menggantinya dengan pendidikan untuk ketaatan
kepada nalar yang bebas dan hati nurani yang etis.






Kini kita menanggung akibatnya. Korupsi yang semakin meluas, permainan
hukum untuk kepentingan pragmatis dan bukan untuk keadilan, sikap
mementingkan diri dan bukan mengutamakan institusi dalam berorganisasi,
ketergantungan berlebihan kepada modal asing dan bukannya memperkuat
potensi ekonomi nasional, hilangnya rasa salah dan rasa malu melakukan
kecurangan dalam ujian nasional, hilangnya semangat bertarung dalam
olahraga, sikap yang demikian lemah menghadapi godaan uang, hingga
merosotnya hormat kepada manusia hanya berdasarkan jabatan dan kekayaan dan
bukan berdasarkan martabatnya. Semua ini dicoba dipahami dengan berbagai
alasan teknis, tetapi jarang membawa kita kepada refleksi tentang
pendidikan yang tidak membuat orang merdeka, tetapi membuat mereka semakin
tergantung.






Kita bisa diingatkan oleh ucapan filosof Friedrich Nietzsche: manusia
adalah makhluk yang harus mengatasi dirinya sendiri. Dalam hal Indonesia,
manusia adalah makhluk yang harus mengatasi ketergantungan dan kesukaan
untuk terus-menerus tergantung. []






KOMPAS, 20 Agustus 2015
Ignas Kleden  ;   Sosiolog; Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID)






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Reply via email to