*Masa Iddah Perempuan yang Cerai Apakah Hanya untuk Memastikan Isi Rahim?*





Pertanyaan:






Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Pak ustad, saya mau bertanya
mengenai soal iddah perempuan yang ditalak atau diinggal mati suami.
Perempuan yang cerai atau ditinggal mati sebagaimana yang saya ketahui
harus menjalani masa iddah. Tujuannya adalah untuk mengetahui bersihnya
rahim dari janin. Tetapi saat ini dengan bantuan alat kesehatan ternyata
sudah dapat diketahui apakah rahimnya bersih atau ada kandungannya. Nah
dari sini saya ingin bertanya, apakah si perempuan yang cerai tersebut
masih harus menjalani masa iddah, padahal ia sudah dapat dipastikan menurut
dokter bahwa rahimnya bersih. Atas penjelasannya kami ucapkan terimakasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh []






Ina – Bandung




Jawaban:




Assalamu’alaikum wr. wb. Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati
Allah swt. Bahwa perempuan yang cerai memang harus menjalani masa iddah
atau masa tunggu sampai pada batas waktu tertentu yang telah ditetapkan.
Sehingga ketika ia sudah melewatinya ia boleh menikah lagi dengan orang
lain.




Memang benar jika dikatakan bahwa salah satu tujuan iddah itu untuk
mengetahui bersihnya rahim. Namun bukan hanya untuk itu saja, dalam iddah
juga mengandung unsur ta’abbudi. Dengan kata lain, iddah mengandung dua
hal, yaitu yang bersifat ta’aqquli dan ta’abbudi.




Yang dimaksud dengan ta’aqquli adalah hal-hal yang bersifat rasional atau
dapat dinalar. Dalam konteks iddah maka unsur ta’aqquli-nya antara lain
adalah untuk mengetahui bersihnya rahim, di mana hal ini jelas-jelas bisa
dinalar. Dengan kata lain, sesuatu itu bersifat ta’aqquli apabila diketahui
kemaslahatannya melalui nalar sehat.




Sedang yang dimaksud ta’abbudi ini adalah hal yang tidak bisa dinalar.
Dalam konteks iddah adalah menjalani masa iddah sampai selesai sesuai
ketentuan yang telah ditetapkan, meskipun sudah dapat dipastikan bahwa
rahimnya bersih.




Karena itu maka para ulama mendefiniskan iddah sebagai masa tunggu bagi
seorang perempuan untuk mengetahui bersihnya rahmi atau rahim dari
kehamilan atau untuk tujuan ta’abbudi.






وَهِيَ أَيِ الْعِدَّةُ شَرْعًا مُدَّةٌ تَتَرَبَّصُ فِيْهَا الْمَرْأَةُ
لِمَعْرِفَةِ بَرَاءَةِ رَحِمِهَا مِنَ الْحَمْلِ أَوْ لِلتَّعَبُّدِ وَهُوَ
اِصْطِلاَحًا مَا لاَ يُعْقَلُ مَعْنَاهُ عِبَادَةً كَانَ أَوْ غَيْرَهَا أَوْ
لِتَفَجُّعِهَا عَلَى زَوْجٍ وَشُرِعَتْ اَصَالَةً صَوْنًا لِلنَّسَبِ عَلَى
اْلاِخْتِلاَطِ






“Iddah secara syar’i adalah masa penungguan oleh perempuan untuk mengetahui
bersihnya rahim atau untuk tujuan ta’abbudi yang secara istilahi merupakan
sesuatu yang  pengartiannya tidak bisa dirasionalisasikan, baik bersifat
ibadah murni ataupun lainnya, atau untuk berbelasungkawa atas kematian
suaminya. Dan iddah pada dasarnya disyaraitakan untuk melindungi keturunan
dari ketercampuran (dengan bibit dari lelaki lain)”




Nah, dari penjelasan singkat ini sebenarnya dapat dipahami bahwa perempuan
yang cerai harus menjalani masa iddah, meskipun bersihnya rahim sudah dapat
diketahui sebelum selesai masa iddahnya.




Alasan yang dapat dikemukakan dalam konteks ini adalah bahwa iddah bukan
semata-mata hal yang bersifat ta’aqquli seperti mengetahui bersihnya rahmi,
tetapi juga bersifat ta’abbudi atau bernilai ibadah sehingga iddah harus
dijalani sampai selesai pada waktu yang telah ditentukan.




Sesuatu yang masuk dalam kategori yang bersifat bersifat ta’abbudi itu
tidak bisa dikutak-katik. Karena pada dasarnya dalam soal ibadah kita hanya
mengikuti petunjuk yang sudah ditetapkan, tanpa harus mempertanyakannya.




Jadi, dua hal ini yaitu ta’aqquli dan ta’abbudi menjadi sesuatu yang
melekat pada diri iddah sendiri. Dan keduanya tidak perlu dipertentangkan.
Dua  model pendekatan inilah yang kemudian digunakan oleh para ulama untuk
menjelasakan persoalan kenapa perempuan yang cerai meski sudah sudah
diketahui rahimnya bersih sebelum masa iddahnya selesai masih harus
menyelesaikan masa iddah sampai batas waktu yang telah ditentukan.




Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan, semoga penjelasan singkat ini
bisa memadai sebagai jawaban atas pertanyaan di atas.




Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,


Wassalamu’alaikum wr. Wb




Mahbub Ma’afi Ramdlan


Tim Bahtsul Masail NU






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke