NU, Demokrasi, dan Kepemimpinan Karismatis

Oleh: Fajar Kurnianto






DEMOKRASI tidak menafikan adanya perdebatan, pertentangan, hingga
ketegangan antarpihak yang berkepentingan di dalamnya. Di titik ini, tidak
ada persoalan. Yang justru jadi tantangan adalah bagaimana mengelola semua
itu sehingga tidak menimbulkan ekses negatif secara individual maupun
organisasional.






Di sinilah sikap lapang dada dan bijaksana menjadi penentu. Dalam beberapa
hal, keberadaan sosok yang punya karisma kepemimpinan ( charismatic
leadership) yang menjadi penengah juga ikut menentukan.






Richard Hull (1999) mengatakan, kepemimpinan adalah kemampuan memengaruhi
pendapat, sikap, dan perilaku orang lain. Ini berarti bahwa setiap orang
mampu mengatur dan memengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan bersama dan
dapat berfungsi sebagai pemimpin.






Kepemimpinan ( leadership) merupakan proses yang harus ada
danperludiadakandalamkehidupan manusia selaku makhluk sosial. Hidup
bermasyarakat memerlukan pemimpin dan kepemimpinan. Kepemimpinan dapat
menentukan arah atau tujuan yang dikehendaki dan dengan cara bagaimana arah
atau tujuan tersebut dapat dicapai.






Kegaduhan yang sempat terjadi di Muktamar Ke-33 Jam’iyah Nahdlatul Ulama
(NU), Jombang, Jawa Timur, beberapa waktu lalu bisa dicermati sebagai
sebuah kenyataan dan dinamika serta proses demokrasi dalam berorganisasi.
Dan, itu berhasil dilewati dengan baik setelah KH Mustofa Bisri kembali
terpilih sebagai rais am NU, meski kemudian menolaknya, yang dianggap salah
satu sosok karismatis di NU. Gus Mus, demikian dia biasa disapa, mengimbau
semua peserta muktamar untuk tenang, tertib, dan menyelesaikan persoalan
dengan kepala dingin. Imbauan ini berhasil, kondisi pun kembali normal.






Demokrasi memang perlu sosok pemimpin karismatis yang bisa membuat situasi
menjadi kondusif, tenang, dan berjalan lancar, meski tidak sama sekali
melenyapkan segala pertentangan di dalamnya (disensus). Pemimpin karismatis
menampilkan ciriciri: memiliki visi yang amat kuat atau kesadaran tujuan
yang jelas, mengomunikasikan visi itu secara efektif, mendemonstrasikan
konsistensi dan fokus, serta mengetahui kekuatan-kekuatan sendiri dan
memanfaatkannya.






Karismatis dalam bahasa Yunani berarti ’’karunia diinspirasi Ilahi’’.
Orang-orang yang karismatis memiliki daya tarik tersendiri bagi orang-orang
yang ada di sekitarnya sehingga membuat mereka secara tidak sadar mengikuti
sosok karismatis tersebut. Kepemimpinan karismatis membuat para anggota
yang dipimpinnya mengikuti inovasi-inovasi yang diajukan pemimpin ini. Ada
dua tipe pemimpin karismatis: karismatis visioner dan karismatis di masa
krisis (Ivancevich, 2007).






Pemimpin karismatis visioner mengaitkan kebutuhan dan target dari
pengikutnya dengan target atau tugas dari organisasi. Pemimpin karismatis
visioner juga memiliki kemampuan untuk melihat sebuah gambar besar dan
peluang yang ada pada gambar besar tersebut (Barbara Mackoff dan Wenet,
2001).






Tipe pemimpin karismatis di masa krisis akan menunjukkan pengaruhnya ketika
sistem harus menghadapi situasi di mana pengetahuan, informasi, dan
prosedur yang ada tidak mencukupi (Ian I. Mirtoff, 2004). Pemimpin jenis
ini mengomunikasikan dengan jelas tindakan apa yang harus dilakukan dan apa
konsekuensi yang dihadapi.






House (1977) menyatakan, karisma seorang pemimpin mampu memberikan sesuatu
yang sangat besar dan efek yang sangat luar biasa bagi bawahannya. Mereka
meyakini bahwa keyakinan seorang pemimpin itu adalah benar.


Mereka menerima pendapat pemimpin tanpa pernah mempertanyakan alasannya.
Mereka menyayangi pemimpin mereka dan terlibat secara emosi dalam misi

organisasi. Mereka menjadi sangat yakin bahwa mereka mampu memberikan
kontribusi yang lebih terhadap tujuan organisasi.






Kepemimpinan karismatis, menurut Max Weber, adalah salah satu dari tiga
bentuk kekuasaan. Pertama, kekuasaan tradisional atas dasar suatu
kepercayaan yang telah ada ( established) pada kesucian tradisi kuno.


Kedua, kekuasaan yang rasional atau berdasar hukum (legal) yang didasarkan
atas kepercayaan terhadap legalitas peraturan-peraturan dan hak bagi mereka
yang memegang kedudukan, yang berkuasa berdasar peraturan-peraturan untuk
mengeluarkan perintah. Ketiga, kekuasaan karismatis yang didapatkan atas
pengabdian diri atas kesucian, sifat kepahlawanan atau yang patut dicontoh
dari ketertiban atas kekuasaannya.






Jam’iyah NU kental sekali dengan sosok-sosok pemimpin karismatis. Secara
tradisional, mereka adalah para kiai yang memiliki sekaligus memimpin
pondok-pondok pesantren, terutama pondok-pondok pesantren tertua. Mereka
biasanya disebut dengan ’’kiai khos’’ atau ’’kiai sepuh’’.






Mendiang Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kerap kali menyebut mereka. Mereka ini
disebut-sebut ikut andil dalam menentukan kebijakan Gus Dur, baik saat
menjadi presiden, ketua Dewan Syura PKB, maupun ketua PB NU. Sebagai salah
satu tradisi santri, Gus Dur sangat menghormati dan memuliakan mereka.






Secara organisasional NU, para kiai karismatis itu ada dalam struktur
kepengurusan syuriah, ada juga yang tidak. Peran mereka begitu penting,
sehingga sejauh ini NU secara organisasi dapat berjalan di atas visi para
pendirinya. []






JAWA POS, 07 Agustus 2015



Fajar Kurnianto  ;   Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK)
Universitas Paramadina Jakarta






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Reply via email to