Islam Nusantara dan Penguatan Demokrasi

Oleh: Arfianto Purbolaksono






Sebagai salah satu organisasi yang telah banyak memberikan sumbangan
terhadap bangsa ini, Nahdlatul Ulama (NU) lahir dengan tradisi pemahaman
ahlussunah waljamaah yang memiliki pandangan adanya sintesis antara
rasional dan tekstualitas. Juga, senantiasa menjunjung tinggi petunjuk
Alquran dan as-sunah sebagai rujukan utama umat Islam.




Karena itu, dapat dikatakan bahwa dasar tradisi NU merupakan keterbukaan
pemahamannya. Sedangkan, demokrasi merupakan sebuah sistem yang tidak
berhenti dalam satu titik idealitas bentuknya. Maka, demokrasi akan selalu
berkaitan dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, salah satunya
adalah nilai-nilai Islam.




Sebagai negara yang mayoritas beragama Islam, agama menjadi salah satu
modal sosial bagi perkembangan dalam masyarakatnya. Emile Durkheim dalam
bukunya, The Elementary Form of Religious Life, mengatakan, agama secara
langsung telah berevolusi dari agama kesukuan menjadi agama civil.




Dalam hal ini, Durkheim berpendapat bahwa semua masyarakat memerlukan suatu
gabungan yang terdiri dari sistem ajaran dan simbol, norma-norma, dan
nilai-nilai sebagai identitas nasional yang berperan sebagai agama civil
baru bagi masyarakat modern.




Agama tidak lagi dipandang sebagai sesuatu hal yang irasional, intoleran,
dan kaku. Agama sebagai fakta sosial yang tumbuh di masyarakat dapat
memengaruhi perkembangannya. Agama yang bersifat formalistik
bertransformasi menjadi civil religion yang lebih menghargai pluralitas,
egalitarian, dan liberal sebagaimana paradigma civil society yang menopang
proses demokratisasi dalam sistem politik.




Dalam kajian hubungan budaya politik dan demokrasi, diakui bahwa agama
memiliki peran yang positif terhadap keduanya. Alexis Tocqueville
mengungkapkan, agama (sebagai nilai dan asosiasi) secara positif
memengaruhi demokrasi di Amerika Serikat. Agama berperan menciptakan
kegairahan dan motivasi yang abadi karena ia merupakan sebuah sistem nilai.
Interaksi agama dan politik ini yang akhirnya memunculkan kegairahan,
motivasi, dan kepentingan manusia.




Melihat adanya hubungan yang saling bersinergi antara nilai agama dan
proses demokratisasi, NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia
memiliki peluang untuk menjadi penggerak utama dalam proses tersebut,
religious groups often support democracy (Kalyvas, 1998, 2000; Linz, 1978).

NU memiliki karakter khasnya sendiri.




Dengan pola yang bersifat kultural membuat karakter yang lebih plural dan
toleran. Hal ini menjadi modal dasar untuk membangun civil religion yang
mendukung penguatan demokrasi Indonesia. Penguatan demokrasi dilakukan
dengan pendidikan politik bagi masyarakat. Pendidikan demokrasi bagi
masyarakat inilah yang akan menentukan keberlanjutan demokrasi di Indonesia.




Namun, proses demokratisasi di Indonesia bukan tanpa halangan pada masa
depan. Salah satunya adalah masih adanya pemahaman sebagian kelompok Islam
yang memandang Islam dan demokrasi tidak sejalan. Kemudian, demokrasi saat
ini di Indonesia hanya ditinjau dari aspek prosedural. Hal ini memiliki
peluang pembusukan demokrasi dari kelompok yang memiliki pragmatisme
politik untuk kepentingan kekuasaan semata dan menanggalkan kesejahteraan
masyarakat. Pendidikan politik masyarakat dalam proses demokratisasi pun
mengalami hambatan.




Peran strategis dalam demokratisasi adalah dengan memanfaatkan pesantren
sebagai institusi pendidikan. Pendidikan demokrasi dapat berawal dari
membangun kesadaran berdemokrasi itu sendiri. Pemahaman yang terbuka dan
tetap menjaga tradisi kuat, pesantren menjadi institusi yang efektif secara
kultural. Dengan memberikan kesadaran demokrasi yang berlandasakan etika
moral agama, diharapkan institusi pesantren melahirkan santri-santri yang
dapat mendorong perubahan di masyarakat.




Menurut Wolin, "To become a democrat is to change one’s self, to learn how
to act collectively, as a demos. It requires that the individual go
‘public’ and thereby help to constitute a ‘public’ and a ‘open’ politics,
in principle accessible for all to take part in it, and visible so that all
might see or learn about the deliberation and decision making occuring in
public agencies and institusion." (Sheldon S Wolin, 2008: 289).




Santri akan menjadi agen demokrasi dalam model deliberatif dengan membawa
kepentingan umat atau publik di tingkat lokal harus berdasarkan fakta,
bukan berdasakan subjektivitas ideologi, berorientasi jauh ke depan bukan
demi kepentingan jangka pendek yang memunculkan kompromistis atau dagang
sapi, dan melibatkan pendapat semua pihak secara inklusif. Hal ini akan
membawa perubahan terhadap penyelenggaraan demokrasi.




Semoga dengan Muktamar NU yang ke-33 ini, NU dapat kembali menjadi garda
terdepan bagi penguatan demokrasi Indonesia ke depan. Selamat bermuktamar
dan umat menunggu peranannya. []






REPUBLIKA, 07 Agustus 2015


Arfianto Purbolaksono | Peneliti Bidang Politik di The Indonesian Institute
(TII)






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke