Kontroversi Film Jenderal Soedirman

Oleh: Asvi Warman Adam






Mulai 27 Agustus 2015, film Jenderal Soedirman diputar di bioskop di
Indonesia. Film yang diproduseri Sekar Ayu Asmara dari Padma Pictures dan
disutradarai Viva Westi ini dibintangi, antara lain, oleh Adipati Dolken
(Soedirman), Baim Wong (Sukarno), Nugie (Hatta), dan Mathias Muchus (Tan
Malaka). Yayasan Kartika Eka Paksi dan Persatuan Purnawirawan Angkatan
Darat merupakan pendukung pembuatan film ini.




Film itu dibuat dengan berlokasi di empat kota (Bandung, Magelang,
Yogyakarta, dan Wonosari) selama 43 hari. Di dalam konferensi pers, Letnan
Jenderal (purn) Kiky Syahnakri mengungkapkan biaya pembuatan film itu
berkisar antara Rp 10-15 miliar. Dalam film diceritakan terutama masa
gerilya Soedirman selama tujuh bulan setelah agresi militer Belanda ke
Yogyakarta, 19 Desember 1948.




Film itu mempunyai pesan bagi tentara dan bagi masyarakat Indonesia tentang
kesederhanaan hidup dan keteguhan memegang prinsip. Bukan hanya itu,
Soedirman mengorbankan hartanya, seperti perhiasan istrinya, untuk bekal
semasa bergerilya. Semua itu adalah nilai-luhur yang perlu diwariskan
kepada generasi penerus bangsa. Tentu saja secara manusiawi, Soedirman
memiliki kelemahan, seperti kecanduan merokok yang menyebabkan ia menderita
TBC dan akhirnya paru-parunya tinggal sebelah. Namun dalam kondisi
kesehatan yang memburuk itu, ia terus berjuang. Mantan guru sekolah
Muhammadiyah dengan pengalaman militer PETA yang lahir pada 1916 itu adalah
pemimpin yang meninggal dalam usia sangat muda, yakni 36 tahun. Ia terpaksa
menyerah terhadap penyakit yang menyerang tubuhnya.




Tentu saja sikap pantang menyerah kepada Belanda ini menjadi karakter
Soedirman yang utama. Namun, seyogianya penonjolan aspek ini dilakukan
dengan tidak melemahkan perjuangan tokoh bangsa yang lain. Ketika terjadi
agresi militer kedua Belanda pada 19 Desember 1948, memang sikap Republik
Indonesia terbelah. Soedirman memutuskan untuk bergerilya masuk hutan.
Sementara itu, sidang kabinet memutuskan agar Presiden, Wakil Presiden, dan
para anggota kabinet tetap tinggal di Yogyakarta.




Menurut Jenderal T.B. Simatupang, kalau Presiden dan Wakil Presiden masuk
hutan, dibutuhkan satu batalyon pasukan untuk mengawal, dan itu tidak
tersedia di Yogyakarta saat itu. Sebelumnya, Presiden Sukarno pernah
berpidato bahwa ia akan melawan Belanda dengan ikut bergerilya. Namun
keputusan terakhir adalah berdasarkan hasil sidang kabinet. Jadi menurut
saya, masalah itu sudah selesai, janganlah terus dipersoalkan bahwa Sukarno
ingkar janji, apalagi dikatakan berkhianat. Tentu saja kata berkhianat atau
pengkhianat itu terlalu kasar, kalau itu benar diucapkan terhadap Presiden
RI. Silakan mengangkat kepahlawanan Soedirman, tapi tanpa dibarengi wacana
yang melecehkan para politikus sipil seperti Sukarno.




Penggambaran Tan Malaka lebih rendah lagi. Seolah-olah Tan Malaka haus
kekuasaan, sementara itu Soedirman menolak melawan negara. Diceritakan
tentang tentara komunis yang tidak membayar makanan kepada pedagang
asongan. Seorang Tionghoa yang menjadi pemilik toko mengatakan bahwa
tentara komunis itu mempunyai presiden sendiri. Kemudian ditampilkan adegan
Tan Malaka berpidato bahwa testamen yang diperolehnya dari Sukarno-Hatta
menjadi legitimasi bagi dia untuk menjadi presiden. Tan Malaka berpidato
dengan latar belakang spanduk yang bergambar palu arit (kalau itu lambang
partai Murba, jelas lambang partai ini bukan palu arit). Kamera menyoroti
pula buklet yang bertulisan "Tan Malaka Presiden Kita". Adegan selanjutnya
mengenai Tan Malaka adalah ketika ia bersama beberapa orang lain diseret
dengan tangan terikat tali di dalam hutan. Dilaporkan bahwa Tan Malaka dan
pengikutnya ditangkap atas perintah Soengkono. Kemudian terdengar tembakan
dor-dor.




Tidak ada perintah penangkapan terhadap Tan Malaka, walaupun ia memilih
bergerilya di Jawa Timur. Semoga produser menarik kembali film itu dan
menghilangkan adegan-adegan yang melecehkan pahlawan nasional Tan Malaka.




Selain pelecehan terhadap politikus sipil tadi, pada film ini terdapat
kekeliruan. Ketika bertemu dengan Kepala Negara di Gedung Agung Yogyakarta,
Soedirman mengatakan menyerahkan "pemerintahan militer" kepada pemerintahan
Sukarno-Hatta. Saya menonton film ini dua kali, sehingga mudah-mudahan
tidak salah dengar. Pada teks bahasa Inggris tertulis military command,
jadi jabatan sebagai pemimpin militer yang diserahkan. Apakah pemeran
Soedirman yang salah ucap atau ini memang disengaja? []






TEMPO, 02 September 2015
Asvi Warman Adam | Sejarawan LIPI






-- 
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Reply via email to