Empat Agenda Islam yang Membebaskan

Oleh: Luthfi Assyaukanie






Islam dengan wajahnya yang keras, penuh pemaksaan, dan intoleransi
tampaknya tak lagi bisa dipertahankan bagi kehidupan kita sekarang ini yang
semakin menuntut keterbukaan, toleransi, dan persamaan hak. Begitu juga,
wajah Islam yang lusuh, terbelakang, dan ahistoris sudah tak lagi memiliki
tempat dalam kehidupan modern yang semakin menuntut adanya rasionalisasi
dan pragmatisme dalam setiap bidang kehidupan.






Islam yang diperlukan untuk kehidupan kita sekarang dan di masa-masa
mendatang adalah Islam yang mampu memberikan jawaban terhadap berbagai
persoalan umatnya, baik pada tingkat individu, masyarakat, maupun negara.
Persoalan-persoalan yang dihadapi kaum muslim dewasa ini, sudah barang
tentu, berbeda dengan persoalan-persoalan yang dihadapi kaum muslim sepuluh
tahun, seratus tahun, atau apalagi seribu empat ratus tahun yang lalu.






Kita diharuskan untuk selalu memiliki perspektif baru dalam melihat
berbagai persoalan yang kita hadapi. Sebagaimana kaum muslim masa silam
melihat segala persoalan dari perspektif mereka, kita juga dituntut untuk
melihat persoalan yang kita hadapi dengan perspektif kita sendiri.
Penyelesaian persoalan-persoalan masa kini dengan solusi-solusi masa silam
hanya akan membuat kita teralienasi dari dunia di mana kita hidup. Inilah
sumber dari banyak kontradiksi yang akhir-akhir ini sering kita lihat.






Sejak era kebangkitan Islam yang dimulai lebih dari seabad silam, berbagai
persoalan menyangkut kehidupan kaum muslim telah didiskusikan. Saya
melihat, paling tidak, ada empat agenda utama yang menjadi payung bagi
persoalan-persoalan yang dibahas oleh para pembaru dan intelektual muslim
selama ini.






Yakni, agenda politik, agenda toleransi agama, agenda emansipasi wanita,
dan agenda kebebasan berekspresi (bandingkan dengan Charles Kurzman, 1998).
Kaum muslim dituntut melihat keempat agenda ini dari perspektif mereka
sendiri, dan bukan dari perspektif masa silam yang lebih banyak memunculkan
kontradiksi ketimbang penyelesaian yang baik.






Agenda pertama adalah agenda politik. Yang dimaksud dengan agenda ini
adalah sikap politik kaum muslim dalam melihat sistem pemerintahan yang
berlaku. Secara teologis, persoalan ini boleh dibilang sudah selesai,
khususnya setelah para intelektual muslim, semacam Ali Abd al-Raziq, Ahmad
Khalafallah (Mesir), Mahmud Taleqani (Iran), dan Nurcholish Majid
(Indonesia), menganggap persoalan tersebut sebagai persoalan ijtihadi yang
diserahkan sepenuhnya kepada kaum muslim.






Pilihan terhadap bentuk negara –apakah republik, kerajaan, semi-kerajaan,
parlementer, atau apapun namanya—adalah pilihan manusiawi, dan bukan
pilihan ilahi. Umat Islam lebih mengetahui urusan dunia mereka, persis
seperti yang dikatakan oleh Nabi Muhammad: “antum a’lamu bi umuri dunyakum”
(kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian).






Dan karena urusan politik adalah urusan dunia, maka menjadi hak kaum muslim
untuk mengaturnya sendiri. Tak ada satu ayatpun di dalam Alquran yang
mewajibkan mereka menentukan satu bentuk atau sistem politik tertentu.
Allah hanya mengisyaratkan perlunya memiliki tatanan yang jujur dan adil.
Dan dalam hal politik, bisa apa saja, termasuk sistem demokrasi yang kini
dianggap sebagai alternatif terbaik dari sistem politik yang pernah ada.






Agenda kedua adalah agenda yang menyangkut kehidupan antar-agama kaum
muslim. Dengan semakin majemuknya kehidupan bermasyarakat di negara-negara
muslim, pencarian teologi pluralisme tampaknya menjadi sesuatu yang tak
bisa ditawar-tawar.






Pengalaman awal-awal masyarakat Madinah yang dipimpin Nabi, kerap dijadikan
model percontohan adanya toleransi kehidupan antar-agama dalam Islam.
Dengan model ini, Islam dianggap sebagai agama yang menghormati keberadaan
agama-agama lain, inklusif, dan toleran.






Namun, asas teologi Islam yang lebih penting menyangkut kehidupan
antar-agama tak terbatas hanya pada pengalaman Madinah. Alquran, sebagai
kitab suci yang menjadi rujukan teologis kaum muslim, memiliki banyak
sekali ayat yang memerintahkan umat Islam untuk, bukan saja menghormati
keberadaan agama-agama lain, tapi mengajak mereka mencari kesamaan-kesamaan
(kalimatun sawa) (Q.S. 3: 64).






Dalam beberapa ayat Alquran, Allah menjamin para penganut agama-agama lain
(seperti Yahudi, Kristen, Sabean) akan mendapatkan pahala sesuai dengan
perbuatan baik mereka dan dijamin berada dalam lindungan Allah (Q.S. 2: 62
dan Q.S. 5: 69).






Ayat-ayat seperti ini memperkuat ayat-ayat lainnya yang menyatakan bahwa
semua agama, selama mengakui ketertundukannya kepada Allah (yang merupakan
makna dari kata “Islam”), pada dasarnya adalah sama. Jangan heran kalau
Nabi Muhammad pernah menyatakan bahwa agama yang paling dicintai Allah
adalah “alhanafiyah al-samhah” (semangat kebenaran yang toleran).






Agenda ketiga adalah agenda emansipasi wanita. Agenda ini mengajak kaum
muslim untuk memikirkan kembali beberapa doktrin agama yang cenderung
merugikan dan mendiskreditkan kaum perempuan. Hal ini karena
doktrin-doktrin tersebut –dari manapun sumbernya—bertentangan dengan
semangat dasar Islam yang mengakui persamaan dan menghormati hak-hak semua
jenis kelamin (lihat misalnya Q.S. 33:35, Q.S. 49: 13, Q.S. 4: 1).






Sudah saatnya kaum muslim bersikap kritis dalam melihat dan membaca warisan

keagamaan mereka, karena bagaimanapun, sebagian dari pesan-pesan yang
terkandung dalam warisan-warisan keagamaan itu dibentuk dalam kondisi
sosial-budaya tertentu. Dan karenanya, perlu penafsiran dan pemahaman ulang.






Agenda keempat tentang kebebasan berpendapat. Agenda ini menjadi penting
dalam kehidupan kaum muslim modern, khususnya ketika persoalan ini
berkaitan erat dengan masalah hak-hak asasi manusia (HAM). Islam sudah
pasti sangat menghormati hak-hak asasi manusia, dan dengan demikian, juga
menghormati kebebasan berpendapat.






Sejak dibukanya kembali “pintu ijtihad” lebih dari satu abad silam, tidak
ada alasan bagi seorang muslim untuk takut memiliki pendapat pribadi.
Pendapat (ijtihad) adalah sesuatu yang sangat dihargai dan dihormati dalam
Islam. Begitu dihormatinya sebuah pendapat, sebuah kaedah fikih menegaskan
bahwa seseorang akan diberikan dua pahala jika benar dalam berijtihad, dan
diberikan satu pahala jika salah.






Atas dasar itu, Islam menghargai pendapat atau karya seseorang. Tak ada hak
bagi siapapun untuk melarang seseorang memiliki kebebasan berpendapatnya.
Namun demikian, Islam mengakui adanya batasan-batasan dalam berekspresi.
Ekspresi adalah persoalan cara –dan bukan kepemilikan—yang berimplikasi
pada masalah hukum yang menjadi urusan negara. Seseorang yang melanggar
cara-cara berekspresi, akan berhadapan dengan undang-undang yang telah
diatur oleh negara.






Dengan demikian, kasus-kasus kebebasan berekspresi yang selama ini menimpa
kaum muslim, menjadi wewenang negara untuk menyelesaikannya, dan bukan
wewenang para ulama atau tokoh agama apapun. Para ulama tidak memiliki hak
untuk menilai dan apalagi menghukum seseorang berkaitan dengan kebebasan
berpendapatnya. []






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke