Aset dan Tradisi NU
Oleh: Akhmad Saefudin Ss Me Sebelum Islam masuk ke Tanah Air, warga lokal telah memiliki tradisi dalam kehidupan sosialnya sebagai pintu masuk sekaligus media penyebar masa silam untuk memperkenalkan ajaran Islam. Dengan demikian, agama ini masuk ke Nusantara tidak memberangus tradisi local, tapi menghormati dan memodifikasi secara proporsional. Dalam kaitan ini, Nahdlatul Ulama (NU) merupakan institusi keagamaan yang terbuka dan toleran sekaligus akomodatif terhadap tradisi lokal yang berkembang di masyarakat. Yasinan, tahlilan, dan kenduren –sebagai contoh, telah menjadi tradisi khas keagamaan kaum nahdliyin (warga NU) dari dulu. Tradisi ini telah mengakar dan berkembang tidak saja di kalangan nahdliyin, namun juga sebagian besar muslim Nusantara. Islam tradisional Indonesia yang terorganisasi ke dalam NU sejak tahun 1926, mengutip Feillard (1994: 1), merupakan fenomena unik di dunia Islam. NU sendiri sesungguhnya merupakan perhimpunan “ulama fiqh” dan “tarekat”. Hal senada dinyatakan Bruinessen. NU adalah sebuah gejala unik bukan saja di Indonesia tapi juga di seluruh dunia. NU merupakan organisasi ulama tradisionalis yang memiliki pengikut besar. Dia sebagai organisasi nonpemerintah paling besar yang masih bertahan dan mengakar di kalangan bawah (Bruinessen, 1994: 3). Tak dapat dipungkiri, sulit untuk memilah, apalagi memisahkan NU dari tradisi yang berkembang di masyarakat. Ibarat mata uang, NU dan tradisi sebagai dua sisi mata uang tak terpisahkan. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Ini sejalan dengan kaidah yang dianut NU dalam konteks kehidupan sosial, termasuk ikut serta nguri-uri tradisi. Sehingga jika ada kelompok yang hendak mengobok-obok sebuah tradisi yang berlaku di kalangan masyarakat muslim Tanah Air, dapat dipastikan NU akan bereaksi keras. Akhir-akhir ini, kita kembali mendengar sekelompok orang atau golongan yang suka melontarkan tuduhan bidaah terhadap tradisi yang lazim dilakukan warga nahdliyin. Lebih dari itu, tuduhan tersebut sering kali disampaikan secara vulgar di forum terbuka. Hampir semua tradisi NU dianggap bidaah dan kaum nahdliyin dianggap taklid buta. Melihat kondisi ini, sudah saatnya NU merespons secara cerdas. Sebab, jika tuduhan ini dibiarkan dan tidak ada bantahan atau perlawanan, bisabisa warga nahdliyin,terutama dari kalangan awam, merasa jengah sehingga lambat laun meninggalkan tradisi yang selama ini dijalankan. Untuk menepis tuduhan taklid, warga NU tak perlu buang-buang energi. Cukuplah berpegang pada pernyataan Bruinessen (peneliti asal Belanda). Ini bisa menjadi argumentasi dan sekaligus pembelaan. Betapa tidak? Bruinessen menyatakan, telah menemukan kenyataan bahwa kaum modernis dan pembaru tak selalu merupakan pemikir muslim paling progresif di Indonesia. Banyak di antara kaum modernis yang tampaknya memegang teguh paradigma- paradigma Hasan al-Bana, Sayyid Qutb dan Abul-Ala Maududi, sebuah bentuk taklid yang bisa menjadi lebih kaku ketimbang sikap taklid kaum tradisionalis kepada empat imam mazhab. Lebih dari itu, Bruinessen menyatakan, sering bertemu orangorang muda berlatar belakang pesantren yang secara intelektual berpikiran lebih terbuka dan lebih besar rasa ingin tahunya ketimbang kebanyakan mordesnis (Bruinessen, 1994: 12). Menjaga Aset Sebagai ormas keagamaan, NU memiliki aset potensial berupa tradisi maupun material yang sangat strategis bagi pemberdayaan umat. Aset fisik NU antara lain ribuan masjid, mushala, lembaga pendidikan, dan pondok pesantren. Diakui atau tidak, aset ini belum terdata secara baik. Maka, aset tersebut rawan lepas dari tangan NU seiring dengan bergantinya pengelola. Seperti dilansir sebuah media (1/12/2013), ratusan masjid milik NU di Jawa Timur terancam diserobot kelompok Islam radikal. Disebutkan, modus pengambilalihan bermacam-macam. Pada mulanya menjadi makmum di saf terdepan, lalu menjadi tukang adzan, lama-kelamaan menyusup menjadi pengurus takmir. Selanjutnya mempengaruhi jamaah agar tak membaca qunut dan meninggalkan amaliyah NU lainnya. Jauh hari, hal serupa pernah terjadi. “Dianggap Sesat, Masjid-masjid NU Diambilalih,” demikian headline NU Online (25/05/2006). Terkait ini, NU harus waspada terhadap kemunculan kelompok Islam garis keras yang belakangan marah. Sedikitnya tiga masjid nahdliyin di Banyuwangi, Jawa Timur diambilalih kelompok lain. “Masjid-masjid NU yang diambilalih itu ada di Purwoharjo, Genteng dan Ketapang,” kata Muhdor Adib, Ketua Pengurus Cabang Lembaga Takmir Masjid Indonesia seperti dilansir NU Online (19/2/2007). Maka, sangatlah tepat Syuriyah PBNU KH Masdar Farid Mas’udi mengimbau, agar masjidmasjid yang dikelola nahdliyin segera diberi label atau atribut NU. Bisa juga dengan mengumandangkan kembali tradisi puji-pujian di masjid dan mushala. Pujian-pujian itu istilah khas NU (Fattah, 2006: 202). Pada dasarnya, puji-pujian adalah sanjungan untuk Allah Swt. Dalam praktiknya, puji-pujian bisa berupa kalimat, salawat, petuah dan ajaran (pesan moral) dalam bahasa Jawa. Sebagai tradisi lisan, pujian-pujian umum dilantunkan setelah azan, sebelum salat berjamaah. Hal tersebut dilakukan untuk memanfaatkan waktu sembari menunggu imam shalat datang. Dengan demikian, jamaah bisa terhindar dari pembicaraan hal-hal yang tidak perlu, seperti ngobrol dan perbincangan yang tak bermanfaat. Untuk itu, secara nasional PBNU perlu menyerukan pemberlakuan puji-pujian Asmaul Husna rutin setiap jelang salat subuh. Untuk memantapkan para takmir, PBNU perlu pula memfasilitasi pengurus cabang untuk mendapat sanad atau ijazah langsung dari KH Amjad Al-Hafidz (Semarang) selaku penyusun syair Asmaul Husna. Sebab, betata pun, ilmu sanad di kalangan nahdliyin penting dan menjadi salah satu faktor pembeda antara NU dan ormas keagamaan lainnya, tak diragukan lagi, puji-pujian Asmaul Husna merupakan ciri khas tradisi NU, sudah kian mendunia. Walhasil, menjaga tradisi sama juga menjaga aset NU. [] KORAN JAKARTA, 15 September 2015 Penulis generasi muda NU Purwokerto -- http://harian-oftheday.blogspot.com/ "...menyembah yang maha esa, menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama..."