Shirat al-Mustaqim, Neraka, dan Pogrom

Oleh: Ulil Abshar-Abdalla






Suatu pagi, seorang panitia pembangunan masjid di kompleks perumahan datang
meminta sumbangan. Ini kali ketiga dia datang untuk tujuan serupa. Setelah
saya menyerahkan sumbangan ala kadarnya, dia memanjatkan sederet “litani”
doa-doa indah: semoga panjang umur, murah rejeki, dan diberi keselamatan.






Ada satu lagi doa yang membuat saya agak terkejut: semoga saya, sekeluarga,
bisa selamat melewati shirat al-mustaqim.






Tak hanya itu. Dia merasa perlu untuk menerangkan panjang lebar, dengan
nada yang sarat ketakutan, apa itu shirat al-mustaqim: Yaitu jembatan yang
dibentangkan di atas neraka untuk menguji keimanan seseorang sebelum lulus
masuk surga.






Jembatan itu begitu tipisnya sehingga menyerupai “rambut dibelah tujuh”,
dan begitu tajamnya sehingga menyerupai sembilu. Orang dengan iman yang
kokoh dan amal yang baik, akan melewati jembatan itu secepat kilat; orang
dengan iman yang lemah, akan terseok-seok melewatinya, dan kemungkinan
besar akan terjerembab jatuh ke neraka!






Meski secara fisik, kini “jauh” dari pesantren, saya masih menggumuli
kitab-kitab kuning. Di rumah, terpampang koleksi kitab yang lumayan banyak.
Ada tiga kitab yang paling saya sukai; semuanya risalah-risalah pendek yang
enak dibaca: pertama, kitab Ushfuriyyah, kedua, kitab Syu’abul Iman, dan
ketiga, kitab Daqa’iqul Akhbar.






Saya ingin mengulas kitab yang terakhir. Kitab Daqa’iqul Akhbar
(Detil-Detil Berita) ialah semacam ulasan kehidupan “metafisik,” tapi
dengan pendekatan yang amat “fisikal”.






Kitab itu berisi uraian tentang apa persisnya kehidupan di akhirat nanti;
apa sih yang akan dihadapi manusia ketika berada di Padang Mahsyar, semacam
“ruang tunggu raksasa” sebelum menghadap Tuhan untuk “dihisab”
amal-amalnya; apa yang terjadi saat melewati shirat al-mustaqim; soal
penderitaan neraka; kenikmatan di surga; dan lain-lain.






Kitab ini pernah ditulis ulang dalam bahasa Jawa, dan ditambahi sana-sini,
oleh Mundzir Nadzir, seorang pengarang Jawa populer, dalam sebuah risalah
pendek yang sangat disukai kalangan awam Jawa di pedusunan. Judul
risalahnya, Fa Firruu ila Allah (Bergegaslah Kembali ke Allah).






Dua kitab itu telah membentuk fantasi kecil saya mengenai surga dan neraka,
hari kiamat, kehidupan metafisik, keadilan Tuhan, kehidupan manusia di
dunia, kematian, baik dan buruk, dan seterusnya. Dua kitab itu ditulis

dengan pendekatan yang sangat khas, bertolak dari the ethics of fear, etika
ketakutan; seorang beriman harus dibuat takut begitu rupa, sehingga
terpaksa menaati ajaran agama.


Saya masih ingat, betapa takutnya saya setelah membaca dua kitab itu.
Gambaran yang paling menakutkan pada waktu saya kecil adalah kehidupan
abadi di neraka. Neraka digambarkan secara fisik sebagai sejenis “gulag
raksasa,” di mana segala jenis modus penyiksaan yang canggih dan bengis
diterapkan.






Neraka mirip dengan kamp Auschwitz. Neraka adalah sejenis pogrom, hanya
bedanya, ini adalah pogrom abadi. Saya tidak tahu, dari mana asal-usul
fantasi populer semacam ini.






“Ethics of fear” lebih menonjol dalam sosialisasi keagamaan sewaktu saya
kecil. “Ethics of hope”, etika harapan, sama sekali kurang ditekankan.
Sewaktu panitia pembangunan masjid itu menceritakan kembali kisah tentang
shirat al- mustaqim, gambaran masa lampau yang “gelap” itu membayang
kembali. Saya dihantui kembali oleh semacam horor.






Agaknya gambaran populer tentang dunia metafisik semacam itu hanya bisa
lahir dari kehidupan yang mengenal “misteri” dan “pesona”, dari masyarakat
yang masih hidup dalam kosmos yang “mysterium, tremendum, fascinan“.






Dunia itu sudah hilang. Kita hidup dalam dunia yang hampir seluruh
segi-seginya sudah dapat kita kenali, bisa kita perkirakan. Misteri sudah
berubah menjadi sekadar hiburan —atau bahkan olok-olok— dalam acara
“Kismis” yang —anehnya, konon—ratingnya tinggi.




Kisah panitia masjid itu seperti memutar ulang secara artifisial sebuah
dunia yang telah “hilang”. []






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke