Metodologi Fikih Nusantara

Oleh: Zainul Mun’im Hasan




Muktamar ke-33 NU yang diselenggarakan di empat pesantren Jombang yang
menjadi cikal-bakal dan saksi atas lahirnya Nahdlatul Ulama, yakni
pesantren Tebuireng, Tambak Beras, dan Denanyar mengangkat sebuah tema
yang. NU sengaja memilih tema “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban
Indonesia dan Dunia” sebagai modal awal mengkampanyekan Keislaman ala
Nusantara yang sedang diupayakan akhir-akhir ini.




Terlepas dari diskusi dan perdebatan panjang tentang status epistemologis
dan ontologis Islam Nusantara tersebut secara umum, tulisan ini hendak
mendiskusikan tentang metodologi fikih-nya; fikih ala Nusantara. Penulis
beranggapan hal ini penting untuk didiskusikan karena metodologi fikih
(usulul fiqh) dan produk hukumnya (fiqh) merupakan manifestasi Islam yang
paling empiris dan dinamis sampai saat ini, khususnya dalam masalah
sosial-keagamaan. Hal ini dapat dipahami dari penjelasan para ulama seperti
Wahbah Zuhaili dalam al-Usul al-fiqh al-Islami, bahwa aspek aksiologis
(kegunaan) metodologi fikih (usulul fiqh) di antaranya adalah untuk
mengetahui hukum-hukum dan mengamalkannya di tengah realitas sosial yang
akan selalu berkembang di setiap wilayah. Oleh karena itu, ia niscaya
bersifat dinamis yang selalu menyesuaikan terhadap kemaslahatan umat di
berbagai daerah yang memiliki realitas sosial yang beragam. Keniscayaan
tersebut termanifestasikan dalam konsep ‘urf, kearifan lokal, atau
adat-istiadat yang menjadi salah satu teori dalam metodologi fikih yang
menjadikan adat-istiadat –selama tidak bertentangan dengan prinsip
syari’at- sebagai salah satu pertimbangan dalam menetapkan hukum.




Konsep dan pertimbangan inilah yang di kemudian hari melahirkan kaidah
fikih al-‘adatu muhakkamah (pertimbangan adat-istiadat dapat menjadi dasar
hukum atas suatu peristiwa) dan kaidah al-hukmu yataghayyar bi taghayyuril
azminah wal amkinah wal ahwal wal ‘adat (pertimbangan hukum berubah
mengikuti perubahan waktu, tempat, kondisi, dan adat-istiadat). Maka, tidak

berlebihan bila para pakar berpandangan bahwa yang menjadikan Islam tetap
relevan di sepanjang zaman (salihun likulli zaman wa makan) adalah
nilai-nilai dan norma-norma yang dihasilkan dari metodologi fikih yang
selalu menyesuaikan dengan kebutuhan zaman tersebut.




Dengan demikian, mendiskusikan tentang Islam tidak mungkin terselesaikan
bila kajian fikih dan metodologinya tidak diikutsertakan. Begitu juga dalam
tataran yang lebih spesifik; konsep Islam Nusantara terasa tidak akan
“sempurna” bila tidak mengikut-sertakan kajian tentang bagaimana metodologi
fikih ala Nusantara di dalamnya dikonstruksi. Sebut saja bagaimana Islam
Nusantara dengan metodologi fikihnya merespon dan menyikapi asas tunggal
Pancasila? Bagaimana Islam Nusantara menetapkan hukum suatu masalah yang
tidak ada dalil validnya dalam al-Qur’an dan Sunnah? Apakah Islam Nusantara
akomodatif terhadap kearifan lokal yang hidup di tengah realitas sosial
masyarakat Nusantara itu sendiri? Dan yang jarang dipertanyakan dan
didiskusikan oleh berbagai kalangan, yaitu bagaimana Islam Nusantara dengan
metodologi fikihnya menyikapi permasalahan lingkungan dan sumber daya alam
(SDA) di Indonesia yang semakin hari semakin dieksploitasi oleh pihak
kapitalis? Semua pertanyaan tersebut wajar untuk diajukan selama Islam
Nusantara belum memiliki atau minimal belum menjelaskan bagaimana
metodologi fikihnya diaplikasikan untuk kemudian diterapkan.




Penulis tidak berkeyakinan dengan melalui tulisan ini akan lahir metodologi
fikih yang telah mapan dan dapat diterapkan di Nusantara, akan tetapi
paling tidak, tulisan ini sedikit banyak dapat berperan dalam membentuk
metodologi fikih yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan
muslim Nusantara (Indonesia) dan tetap berkhaskan keislaman Nusantara.




Status Quo Fikih Syafi’iyyah




Cendekiawan Muslim Indonesia yang sekaligus Mantan Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Prof. Azyumardi Azra dalam tulisannya di Republika
pada tanggal 25 Juni lalu menjelaskan bahwa Islam Nusantara merupakan Islam
distingtif dengan Islam di daerah lainnya, yang dalam teologi bermazhab
Asy’ariyah, dalam tasawuf mengikuti tokoh al-Ghazali, dan dalam fikih
mengikuti mazhab Syafi’iyyah. Apa yang dijelaskan oleh Azyumardi tersebut
bukan tanpa bukti. Dalam tradisi pesantren yang dianggap sebagai basis
Islam Nusantara, kita dapat ‘merasakan’ bagaimana pendapat-pendapat hukum
(ulama) mazhab Syafi’iyyah menjadi rujukan utama dalam bahtsul masail atau
diskusi hukum sampai saat ini. Hal ini dapat dipahami dari metode yang
paling dominan digunakan ketika ditemukan dua pendapat hukum yang berbeda
dalam sebuah diskusi hukum, yakni metode tarjih (memilih satu pendapat
hukum dari berbagai pendapat hukum yang saling bertentangan dalam satu
masalah yang sama).




Ketika dihadapkan pada beragam pendapat hukum antar mazhahib
(mazhab-mazhab) yang saling bertentangan, para santri diharuskan memilih
pendapat hukum dari para ulama Syafi’iyyah. Ketika pertentangan pendapat
tersebut terdapat di antara ulama Syafi’iyyah, maka pendapat Imam Nawawi
dan Imam Rafi’i menjadi pendapat yang paling valid. Begitu juga seterusnya,
ketika pertentangan hukum tersebut terjadi di antara Imam Nawawi dan Imam
Rafi’i, maka pendapat Imam Nawawi yang diunggulkan. Pemilihan Imam Nawawi
bukan tanpa alasan, ia dipilih karena dianggap sebagai muharrir mazhab
Syafi’i. Di tangan ulama ini pikiran-pikiran Imam Syafi’i dan pakar-pakar
pengikutnya terseleksi. Bahkan, Zayn al-Iraqi berpendapat bahwa Imam Nawawi
merupakan orang pertama yang menerapkan kajian kritis terhadap sebuah
hadits dalam karya-karyanya. Hal ini merupakan salah satu kontribusi Imam
Nawawi yang dinilai penting melebih kontribusi Imam Rafi’i. Selain itu,
Imam Suyuti berpendapat bahwa salah satu karya al-Nawawi, Rawdah dan Minhaj
di kemudian hari dijadikan sebagai salah satu rujukan para ahli hukum
Syafi’iyyah dalam mengkaji doktrin hukum yang memiliki perbedaan dengan
mazhab lainnya.




Metode Tarjih (pengunggulan) ini menunjukkan bahwa dalam tradisi pesantren,
hierarki kevalidan sebuah pendapat hukum bergantung kepada tokoh yang
menyatakan pendapat tersebut (mujtahid). Metode tarjih ini juga menjadi
tradisi dalam bahtsul masail Nahdlatul Ulama. Meskipun NU mengakui
Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber hukum Islam yang utama, akan tetapi
dalam prakteknya penetapan hukum banyak berdasarkan pendapat hukum para
fuqaha’ (ahli hukum).




Hal ini dapat dilihat dari proses fatwa pada Muktamar pertama tahun 1926,
ulama NU sepakat menjawab pertanyaan “Apakah wajib bagi seorang Muslim
untuk mengikuti mazhab yang empat?” dengan jawaban: “Sekarang, wajib bagi
seorang Muslim untuk mengikuti salah satu dari Imam empat: Hanafi, Maliki,
Syafi’i, dan Hanbali.” Jawaban ini berdasarkan pada kitab al-Mizanusy
Sya’rani, al-Fatwa al-Kubra, dan Nihayatul Usul. Lebih lengkapnya, proses
fatwa bahtsul masail Nahdlatul Ulama dapat dilihat dalam buku Ahkamul
Fuqaha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas,
dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004).




Metode tersebut menyimpulkan bahwa mayoritas fikih di Nusantara lebih
bercorak ijtihad qauli, yakni upaya penemuan hukum dengan berdasarkan
langsung kepada pendapat-pendapat para ulama, khususnya dalam mazhab
Syafi’iyyah. Ijtihad ini semakin menunjukkan bahwa mazhab Syafi’iyyah
memiliki status quo dalam dunia fikih Nusantara. Pada akhirnya, bermazhab
Syafi’iyyah dalam fikih menjadi karakteristik baku Islam Nusantara.
Padahal, dalam perdebatan para ushuliyyin (para pakar metodologi fikih),
mazhab qauli ini tidak lepas dari berbagai permasalahan, khususnya dewasa
ini. Di antaranya adalah produk hukum yang dihasilkan dari ijtihad para
ulama terdahulu belum tentu sesuai untuk kemaslahatan saat ini.




Secara kultural, fikih klasik (khususnya mazhab Syafi’iyyah) yang cenderung
menjadi rujukan utama dalam dunia fikih Nusantara lahir dari kebutuhan
masyarakat abad pertengahan dalam wilayah dan konteks budaya tertentu
(Timur Tengah dan Asia Barat), sedangkan kita (Muslim Nusantara) hidup dan
tumbuh di wilayah dan konteks budaya lain yang bisa jadi berbeda. Maka
sangat niscaya bila sebagian dari produk-produk hukumnya merupakan cerminan
kepentingan dari wilayah dan masa tersebut, bukan untuk wilayah dan masa
saat ini.






Hal ini juga yang membuat Imam Syafi’i memiliki pendapat hukum yang berbeda
yang dikenal dengan istilah qaul qadim (pendapat lama) yakni pendapat Imam
Syafi’i ketika masih Baghdad, Irak, dan qaul jadid (pendapat baru) yakni
pendapat Imam Syafi’i ketika sudah pindah ke Mesir, meski sebagian para
ulama seperti Nahrawi Abdus Salam dalam kitabnya al-Imam al-Syafi’i fi
Madzabihi al-Qadim wa al-Jadid berpendapat bahwa qaul qadim merupakan
pendapat yang terpilih karena dihasilkan melalui pengembaraan panjang
selama 25 Tahun. Namun sebagian ulama lainnya, seperti yang dijelaskan oleh
Abu Zahrah dalam al-Syafi’i: Hayatuhu wa ‘Ashruhu wa Ara`uhu wa Fiqhuhu,
berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara pendapat Imam Syafi’i di Mesir
dengan pendapatnya ketika masih di Baghdad, Irak. Dengan demikian, Secara
sosiologis, tidak dapat dielakkan bahwa salah satu faktor perubahan
pandangan hukum Imam Syafi’i adalah faktor budaya.




Dewasa ini, telah terjadi transformasi metodologis fikih dalam dinamika
Islam Nusantara. Bahtsul Masail dan diskusi hukum tidak lagi selalu
berdasarkan kepada nash fuqaha (pendapat para ahli hukum) yang termaktub
dalam kitab-kitab otentik (kutubul mu’tabarah), akan tetapi para ulama
Nusantara lebih berani dengan berijtihad secara kolektif (ijtihad ijtima’i)
dengan menggunakan seperangkat metode-metode mazhab yang empat. Dengan kata
lain, meski masih minim, namun telah terjadi transformasi dari proses
mazhab qauli (bermazhab secara leterlek) menuju proses mazhab manhaji
(bermazhab secara metodologis).




Dari Mazhab Qauli menuju Mazhab Manhaji




Mazhab manhaji berarti bermazhab secara metodologis. Artinya produktif
berijtihad, akan tetapi tetap dalam garis-garis metodologis yang telah
ditetapkan dalam mazhab tersebut. Hakikatnya, gagasan untuk hijrah dari
mazhab qauli (bermazhab secara leterlek) menuju mazhab manhaji (bermazhab
secara metodologis) bukan merupakan ide baru dalam dunia fikih
internasional. Gagasan ini telah dipraktekkan oleh Imam Nawawi pada abad ke
7 Hijriyah atau bertepatan pada abad ke 13 Masehi, hanya saja pada saat itu
mazhab manhaji hanya digunakan sebagai solusi masalah perbedaan pendapat
hukum dari para ulama Syafi’iyyah. Pada saat itu, Imam Nawawi hendak
mendamaikan berbagai pandangan dan aliran metodologi dalam mazhab
Syafi’iyyah (aliran Khurasan dan aliran Irak). Dalam rangka untuk
melakukannya, ia mengkaji karya-karya setiap aliran/madrasah, lalu mengkaji
metodologi dan analisis hukumnya, lalu kemudian memberikan kesimpulan dan
pendapatnya sebagai representasi mazhab Syafi’iyyah. Adapun tokoh yang oleh
Imam Nawawi dianggap sebagai representasi dari kelompok Khurasan adalah
Imam Ghazali dan dari kelompok Irak adalah Imam Shirazi. Hal ini juga dapat
dilihat dari karya Imam Nawawi yang berjudul al-Majmu’ Sharh al-Muhadhdhab
dan Tashih al-Tanbih yang berisi komentar terhadap karya Imam Shirazi yang
berjudul al-Muhadhdhab dan al-Tanbih. Sedangkan karyanya yang berjudul
Rawda dan Minhaj berisi komentar terhadap dasar hukum tokoh-tokoh Khurasan.
Guna menganalisis metode penalaran antara aliran Irak dan Khurasan, Imam
Nawawi menggunakan ijtihad manhaji (bermazhab secara metodologis).
Pemahamannya yang mendalam atas metodologi fikih Imam Syafi’i menjadi dasar
menganalisis perbedaan kedua pendapat hukum aliran tersebut untuk kemudian
mencari solusi yang paling sesuai dengan metodologi fikih Imam Syafi’i,
bukan produk hukumnya.




Baru akhir-akhir ini ide untuk beralih pada ijtihad manhaji tidak hanya
sebagai metode tarjih, akan tetapi juga sebagai metodologi penetapan hukum
Islam atas berbagai permasalahan, muncul. Di Indonesia, diawali dengan
gagasan fikih sosial KH Sahal Mahfudz dengan buku Metodologi Fikih Sosial.
Dalam pidato pengukuhan gelar Doktor Honoris Causa di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, KH. Sahal Mahfudz menyampaikan bahwa fikih sosial
yang beliau gagas memiliki lima ciri pokok. Salah satunya adalah
transformasi dari bermazhab secara tekstual (madzhab qauli/ ijtihad qauli)
ke bermazhab secara metodologis (madzhab manhaji/ijtihad manhaji).




Penulis berpandangan bahwa berijtihad secara metodologis atau manhaji
merupakan upaya untuk membentuk fikih Nusantara, yakni fikih yang lebih
adaptif terhadap kearifan lokal Nusantara/Indonesia dan sesuai dengan
kemaslahatan Muslim Indonesia. Ada beberapa alasan untuk pandangan ini:
Pertama, untuk tujuan pengembangan fikih, para ulama klasik, khususnya
Mazhab yang empat (Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanbaliyyah)
telah menyediakan seperangkat metode-metode ijtihad yang kokoh dan
kaidah-kaidah ushuliyyah dan fiqhiyyah yang teruji. Metodologi fikih atau
ushul fikih yang ditawarkan oleh para ulama klasik terbukti mampu menjadi
solusi penetapan hukum berbagai persoalan baik yang terkait dengan
sosial-politik dan budaya, bahkan lingkungan hingga kini. Semisal mazhab
Hanafiyyah dengan metodologi istihsan, mazhab Malikiyyah dengan metodologi
istislah atau maslahah mursalah, Mazhab Syafi’iyyah dengan metodologi
qiyas, dan Mazhab Hanbaliyyah dengan metodologi istihsab-nya. Terlepas dari
perbedaan di antara keempat mazhab tersebut, sampai saat ini belum ada yang
mampu menyamai metodologi-metodologi tersebut dalam hal produktifitas hukum

yang mereka hasilkan.




Alasan kedua adalah adaptif terhadap kearifan lokal dan tradisi dalam
setiap proses ijtihadnya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa
ijtihad manhaji adalah ijtihad dengan berdasarkan kepada

metodologi-metodologi mazhab empat, oleh karena ia disebut juga dengan
mazhab manhaji, yakni bermazhab secara metodologis. Dengan demikian,
bermazhab atau berijtihad semacam ini meniscayakan sebuah ijtihad murni
terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di Nusantara dengan
mempertimbangkan kearifan lokal, tradisi, atau adat-istiadat. Hal ini
karena metodologi yang digunakan adalah metodologi fikih mazhab yang empat
(madzahibul arba’ah) yang secara sosiologis sangat adaptif terhadap
anasir-anasir budaya sebagai salah satu pertimbangan lokal sebuah hukum.
Semisal metode ‘urf yang dimiliki oleh semua mazhab empat, meski dengan
konsep yang berbeda. Dengan demikian, bermazhab secara metodologis atau
manhaji merupakan upaya untuk melahirkan produk hukum (fiqh) yang lebih
bermaslahat bagi Muslim Nusantara dan lebih bercorak Nusantara, bukan
bercorak Arab.




Alasan ketiga adalah metodologi yang dipakai tetap mencirikan keislaman
Muslim Nusantara, yakni salah satunya dalam fikih mengikuti mazhab
Syafi’iyyah atau lebih umumnya mengikuti mazhab yang empat (madzahibul
arba’ah). Pertimbangan ini penting, karena dengannya, upaya untuk
melahirkan fikih yang lebih sesuai dengan realitas Nusantara tidak lantas
harus menegasikan karakteristik keislaman Nusantara yang sudah dikenal di
dunia Internasional sebagai pengikut mazhab Syafi’iyyah.




Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas semua, transformasi dari pola
bermazhab dan berijtihad qauli (tekstual) menuju pola manhaji (metodologis)
merupakan upaya untuk mengkontekstualkan ajaran-ajaran Islam dalam kondisi
sosial di berbagai tempat dan zaman. Bermazhab secara metodologis di China,
maka akan melahirkan produk fikih yang bercorak China. Begitu juga di
Nusantara, maka akan melahirkan produk fikih yang penuh dengan nuansa
budaya Nusantara, tentunya dengan tetap melihat aspek kemaslahatannya.
Berbeda dengan bermazhab secara manhaji, bermazhab qauli atau secara
tekstual tidak adaptif dan hampa budaya, karena kita akan selalu
berdasarkan langsung kepada pendapat-pendapat para ahli hukum (fuqaha)

klasik yang sebagian dianggap sudah tidak relevan dengan budaya dan aspek
kemaslahatan yang kita tuntut saat ini, karena perbedaan letak geografis,
waktu, dan tentu budaya yang tumbuh di dalamnya. Dengan demikian, bermazhab
secara manhaji atau metodologis merupakan cara dan upaya paling kuat untuk
melahirkan fikih Nusantara, yakni fikih yang mempertimbangkan kemaslahatan
di Nusantara tanpa harus menegasikan karakteristiknya. Waallahu ‘alam
bisshawab... []




*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UIN Jakarta dan Anggota Komunitas
Islam Nusantara Indonesia






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke