*Memperjalankan Logika dan Spiritualitas*

Oleh: Ahmad Saifuddin




Idul Adha merupakan salah satu hari raya umat Islam yang cukup istimewa.
Istimewa dari berbagai segi. Mulai dari histori hari raya tersebut sampai
pada pelaksanaan hari raya tersebut dengan berkurban. Dengan begitu, banyak
hal yang dapat dipelajari dari pelaksanaan hari raya Idul Adha dengan
berkurban tersebut.




Peristiwa Idul Adha tidak pernah terlepas dari sosok Nabi Ibrâhîm AS yang
karena ketaatan, keikhlasan, dan kegigihannya dalam menghadapi cobaan,
dianugerahi oleh Allah SWT dengan gelar Khalîlullâh (kekasih Allah SWT).
Nabi Ibrâhîm AS sendiri memiliki sejarah unik di setiap fase
perkembangannya. Nabi Ibrâhîm AS memulai perjalanan spiritualnya sendiri
dengan mengolah logikanya dalam mencari Tuhan.




Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al An’âm ayat 75 sampai 79, “Dan demikianlah
kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat)
di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang
yang yakin. Ketika malam Telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia
berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia
berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam." Kemudian tatkala dia
melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". tetapi setelah bulan
itu terbenam, dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi
petunjuk kepadaku, Pastilah Aku termasuk orang yang sesat." Kemudian
tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, Ini yang
lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: "Hai kaumku,
Sesungguhnya Aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.
Sesungguhnya Aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit
dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan Aku bukanlah
termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”




Nabi Ibrâhîm AS benar-benar memperjalankan logikanya untuk lebih mengenal
Allah SWT. Sehingga, agama yang dianutnya sama sekali bukan karena
keturunan, namun jauh lebih dari itu, karena faktor perjalanan logika yang
unik. Perjalanan logika yang unik tersebut lantas memberikan pemahaman
bahwa logika selayaknya digunakan untuk memahami Tuhan dan tanda-tandanya
serta setiap sesuatu yang diciptakannya. Perjalanan logika yang unik
tersebut pada akhirnya akan membuahkan hasil perjalanan spiritualitas yang
penuh makna. Dengan demikian, bukan logika untuk membentuk realitas Tuhan,
namun logika untuk mencari dan memahami realitas Tuhan.




Perjalanan spiritualitasnya pun berlanjut ketika Nabi Ibrâhîm AS mulai
berdakwah kepada kaumnya. Seperti yang difirmankan oleh Allah SWT dalam
Q.S. Al Anbiyâ’ ayat 50 sampai 70, bahwa Nabi Ibrâhîm AS tidak hanya sangat
berani dalam berdakwah, namun juga cerdas mematahkan pemikiran lawan dan
mampu membuktikan bahwa Allah SWT Maha Benar. Sampai-sampai beliau harus
dibakar (Q.S. Al ‘Ankabût ayat 24), namun karena pertolongan Allah SWT, api
menjadi dingin dan beliau pun tidak terbakar sedikit pun.




Perjalanan spiritualnya tidak berhenti sampai di situ. Beliau masih harus
diuji oleh Allah SWT dengan tidak memiliki keturunan dalam jangka waktu
yang lama. Sampai akhirnya, karena kesabaran dan keikhlasannya, beliau
dianugerahi seorang putra yang shâlih, Nabi Ismâ’îl AS. Setelah dianugerahi
Nabi Ismâ’îl AS, Nabi Ibrâhîm AS pun masih tetap diuji dan diperintahkan
oleh Allah SWT untuk menyembelih Nabi Ismâ’îl AS ketika Nabi Ismâ’îl AS
masih anak-anak.




Dengan keimanan yang mantap tanpa ragu, Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismâ’îl AS
pun melaksanakan perintah Allah SWT sehingga Nabi Ismâ’îl AS digantikan
oleh Allah SWT dengan seekor domba. Berdasarkan kejadian sakral tersebut,
ritual qurban pun menjadi sebuah salah satu ibadah yang tidak hanya
bersifat vertikal—transenden, tetapi juga bersifat horisontal—sosial.




Ada hal yang menarik dari pola komunikasi kedua Nabi tersebut ketika akan
melaksanakan perintah Allah SWT. Dalam Q.S. Ash Shâffaât ayat 102
difirmankan Allah SWT, maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup)
berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya
Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa
pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan
kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang
sabar".




Ketika melihat pola dialog yang digunakan oleh Nabi Ibrâhîm AS dan Nabi
Ismâ’îl AS tersebut, maka akan dapat dipahami mengenai pola komunikasi
antara bapak dan anak yang sangat berkualitas. Pola komunikasi dalam
keluarga tersebut berlangsung dengan sangat demokratis dan interaktif,
bukan otoriter satu arah. Kondisi itu mengajarkan pada manusia bahwa dalam
mendidik anak, seharusnya menggunakan pola komunikasi yang sehat. Dengan
pola komunikasi yang sehat, seorang anak akan merasa dihargai, orang tua
akan memahami pendapat anak, rasa saling percaya akan tumbuh, dan keputusan
akan dapat dicapai dan diimplementasikan bersama dengan rasa ikhlas.




Pelajaran lain yang dapat dipetik dari peristiwa qurban atau Idul Adha.
Bahwa peristiwa Idul Adha (qurban)  tidak hanya mengajarkan untuk
berkorban, tetapi juga mengajarkan untuk bersikap peka dan ikhlas. Qurban
dimaknai sebagai bukan hanya sebagai ibadah dalam memenuhi penghambaan
kepada Allah SWT, bukan juga dimaknai hanya sebagai penolong bagi orang
yang berqurban ketika di akhirat kelak. Tetapi, qurban juga dimaknai
sebagai sarana berbagi rizqi yang dianugerahkan kepada Allah SWT. Sehingga,
sebenarnya penghambaan yang mengarah kepada transendental (Tuhan) akan
tetap berakhir kepada sosial (pemberdayaan dan bersikap baik kepada sesama).




Satu hal penting yang harus dipahami juga bahwa Nabi Ibrâhîm AS memiliki
keturunan yang banyak menjadi Nabi sehingga beliau pun digelari “Bapaknya
para nabi”. Hal ini karena beliau memperjalankan logika dan
spiritualitasnya kepada Allah SWT, sehingga beliau menjadi kekasih Allah
SWT. Selain itu, beliau pun menjadi role model dengan memiliki kepribadian
yang bersifat mulia, seperti difirmankan Allah SWT dalam Q.S. Hûd ayat 75,
“Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang Penyantun lagi penghiba
dan suka kembali kepada Allah.”




Sebagai gantinya, Allah SWT memberikan anugerah berupa keturunan yang
shâlih. Selain itu, beliau juga senantiasa bersyukur, berdoa agar diberikan
keturunan yang menjauhi kekafiran, senantiasa mendirikan shalat, serta
mendoakan ampun untuk orang tuanya dan kaum mu’mîn, seperti difirmankan
Allah SWT dalam Q.S. Ibrâhîm ayat 35 sampai ayat 41.




Perjalanan logika dan spiritualitas Nabi Ibrâhîm AS serta totalitas dalam
penghambaan keapda Tuhan yang kemudian secara prinsip juga dipraktekkan
oleh kaum sufi di jaman mendatang, akan mampu menciptakan kepribadian
(personality) dengan keimanan dan kepekaan sosial yang tinggi. Pada
akhirnya, kepribadian tersebut akan menjadi modalitas penting dala
melaksanakan pemberdayaan (empowering), pencerahan (enlightment), dan
pembebasan (liberation). Wallâhu a’lam bish shawâb. []






Wakil Sekretaris PW IPNU Jawa Tengah






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke