Indonesia, Australia; Islam-Kristianitas (2)

Oleh: Azyumardi Azra




Can Christianity and Islam Co-Exist? Pertanyaan ini kembali muncul dalam
masa satu setengah dasawarsa terakhir, dan lebih khusus lagi sejak IS
(Islamic State) dengan kekerasan dan brutalitas menyentakkan dunia, baik di
Dunia Islam maupun Barat. Gelombang migrasi dari Syria dan wilayah Timur
Tengah lain meningkatkan tensi dan antipati tersembunyi di kalangan umat
Kristianitas dunia.




Misalnya saja dalam dialog publik di Port Macquarie (5/9/15), dua penganut
Kristianitas tanpa sungkan menyatakan, para teroris semacam IS tak lain
hanya menjalankan perintah Islam dan contoh yang diberikan Nabi. Keduanya
meminta penulis Resonansi yang tampil dalam dialog publik bersama Reverend
Profesor Ian James Haire untuk mengutuk IS—hal yang memang patut dan sudah
dilakukan penulis Resonansi ini sejak IS melakukan berbagai bentuk
kebrutalan.




Kedua orang yang mengklaim banyak membaca tentang Alquran dan Nabi Muhammad
di dunia maya, menggeneralisasi Islam dan para pengikutnya sebagai senang
dengan kekerasan. Karena itu, bagi keduanya Kristianitasini, sulit bagi
Kristianitas untuk hidup berdampingan secara damai dengan Islam.




Pernyataan ekstrim dan ngebyah uyah ini jelas bukan representasi penganut
Kristianitas di Australia—apalagi di seluruh dunia. Bahwa ada suara seperti
itu di kalangan penganut Kristianitas tidak mengagetkan. Selalu ada di
dalam agama manapun orang atau kelompok yang memegang pendapat dan

melakukan tindakan ekstrim.




Seperti dikemukakan Profesor Ross Chambers, presenter dialog publik, jika
ada penganut Kristianitas semacam Hitler misalnya yang melakukan genosida
terhadap orang Yahudi, jelas ini tidak mewakili Kristianitas dan
parapenganutnya.Jelas mayoritas terbesar umat Kristiani mengutuk tindakan
genosida.


Tetapi pertanyaaan yang selalu mengganggu adalah; kenapa selalu ada orang
atau kelompok agama yang ekstrim? Pandangan dan aksi ekstrim-radikal bisa
muncul karena mereka mengambil ayat atau potongan ayat tertentu dalam kitab
suci dan kemudian menafsirkannya secara literal dan ad hoc tanpa melihat
latarbelakang historis maupun konteksnya baik di masa lalu maupun sekarang.




Profesor James Haire mempunyai penjelasan lain yang tak terbayangkan bagi
banyak orang, khususnya para penganut Kristianitas. Menurut tokoh dan
teolog terkemuka gereja Australia ini, banyak penganut Kristianitas
mengidap semacam angst (bahasa Jerman), yaitu kegelisahan dan kemarahan
yang bercampur aduk dengan frustrasi dan kejengkelan karena absennya
Kristianitas dalam ruang publik (public space) selama berabad-abad sejak
pemisahan gereja dengan negara pasca-reformasi Protestan abad 17.




Dalam perkembangannya, agama mengalami marjinalisasi menjadi hal privat,
tidak ada kaitannya dengan publik.Ketikakalangan penganut Kristianitas
berusaha menampilkan agama di ranah publik, mereka mendapat tantangan dan
hambatan dari pemerintahan yang menganut ideologi sekularisme.




“Selanjutnya, negara-negara mayoritas Kristianitas meneri makian banyak
pemeluk Islam yang menampilkan berbagai simbol Islam dalam ranah publik
sejak dari penampilan fisik, cara berpakaian, ketentuan makanan halal dan
ketaatan kepada syariah. Keadaan kontras ini menimbulkan masalah tak
terpecahkan di kalangan umat Kristianitas, yang menjadi akar pandangan dan
sikap ekstrim-radikal”, tegas James Haire.




Menjelaskan posisi Islam dalam hal tersebut, penulis Resonansi ini
menegaskan tentang tidak adanya pemisahan dalam Islam di
antarahalprivatdenganpublik.Mementingkan individual-personal, pada saat
yang sama Islam meninggikan jama’ah atauumat yang bersifat komunal. Karena
itu Islam selalu ditampilkan para penganutnya dalam ranah publik, yang
dapat menimbulkan reaksi dari masyarakat keagamaan mayoritas di mana mereka
menetap.




Di antara isyu yang sering terutama dipersoalkan kalangan penganut
Kristianitas Australia misalnya tentang syariah dan makanan halal. Bagi
mereka syariah hanya mengancam equilibrium dan keutuhan negara-bangsa
Australia.




Menjawab kecemasanitu Reverend James Hairemenjelaskan, syariah memiliki
cakupan sangat luas dibandingkan dengan ‘hukum’ dalam masyarakat Barat.
Syariah selain menyangkut ketentuan tentang keimanan dan ibadah, juga
mencakup ajaran yang di Barat disebut moral dan etik.




Menyambung penjelasan tersebut, penulis Resonansi ini menjelaskan, bagian
paling kontroversial dari syariah terkait hukum hudud, potong tangan bagi
pencuri dan rajam sampai mati bagi pezina. Dalam kenyataannya, hampir
seluruh negara Islam atau berpenduduk mayoritas Muslim—kecuali hanya Arab
Saudi—tidak memberlakukan hudud. Sebaliknya mereka menerapkan penafsiran
‘ulamamoderen yang mengganti hudud dengan hukuman penjara.




Sedangkan dalam hal makanan halal, sesuai ketentuan syariahkaum Muslim
selalu wajib mengusahakannya meski juga ada kelonggaran pada batas
tertentu, misalnya memakan kosher, makanan halal penganut agama Yahudi.
Semestinya masalah makanan halal tidak dibesar-besarkan masyarakat
Australia.




MenurutpenulisResonansiini, Australia bakal rugi secara ekonomi; tidak
hanya terkait dengan hewan atau daging yang diekspor ke negara Muslim
seperti Indonesia, tetapi juga dengan meningkatkan produk halal lain
seperti ‘shari’a tourism’ yang kini sedang dipopulerkan di Jepang untuk
menarik kian banyak pelancong dari Indonesia misalnya. Karena itu,
kehidupan halal-friendly justru penting dan bermanfaat bagi Australia dan
negara-negara lain. []






REPUBLIKA, 17 September 2015
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bidang sejarah
dan anggota Council on Faith, World Economic Forum Davos






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke