Fatayat NU dan Tantangan Kontemporer

Oleh: Anggia Ermarini




Di usianya yang ke-65 tahun, organisasi Fatayat NU dituntut untuk terus
berbenah. Kiprahnya dibutuhkan bukan sebatas menyangkut isu-isu kesetaraan
dan pemberdayaan perempuan, namun lebih dari itu, Fatayat NU juga harus
tampil lebih menarik dan hadir dalam isu-isu kontemporer yang lebih luas.




Dengan jumlah anggota mencapai enam juta orang yang mengakar di tingkat
grassroot, Fatayat NU adalah garda depan pergerakan perempuan yang sangat
potensial. Komitmen dan kerja nyatanya terkait upaya membangun kesadaran
kritis kaum perempuan, mewujudkan kesetaraan, mengadvokasi korban
perdagangan anak hingga buruh migran sudah cukup dibuktikan.




Berbagai masalah dan ketertinggalan perempuan NU terutama di desa-desa
jelas masih banyak dan menjadi pekerjaan rumah bersama. Namun, kerja keras
Fatayat NU terutama dalam dua dekade terakhir setidaknya telah berhasil
meng-upgrade banyak hal. Contoh sederhana, kalau dulu sebatas konco
wingking (teman di belakang), kini perempuan NU bahkan sudah tak asing
dengan, taruhlah, pilihan politik berbeda dalam keluarga.




Kesadaran politik ini, di level berikutnya seiring demokratisasi, berlanjut
pada perebutan ruang-ruang publik. Melalui kader- kadernya yang
terdistribusi di pemerintahan, di lembaga legislatif, dan lembaga tinggi
negara lainnya, keterlibatan Fatayat NU dalam memperjuangkan hak-hak
perempuan di pentas politik, juga sudah bisa dirasakan.




Saat ini lebih dari seratus kader Fatayat NU duduk sebagai anggota
legislatif baik di pusat maupun daerah di seluruh Indonesia. Namun, ini
belum apa-apa. Tantangan kontemporer sesungguhnya jauh lebih kompleks dari
semua itu. Saat ini tantangan besar Fatayat NU dalam menyelesaikan
masalahmasalah kemasyarakatan berhadapan langsung dengan liberalisasi atau
bahkan imperialisasi jenis baru di berbagai bidang.




Periode globalisasi ekonomi yang ditandai era perdagangan bebas ASEAN
(MEA), mau tidak mau menciptakan tantangan baru yang simultan. Mulai dari
tantangan ekonomi, tantangan hukum, tantangan politik, tantangan ilmu
pengetahuan, bahkan tantangan agama. Mengutip Fatima Mernissi (2008),
memperjuangkan kemakmuran bukan hanya urusan kaum laki-laki, melainkan pada
saat yang sama juga menjadi tugas kaum perempuan.




NU tentu tidak bisa sendirian menghadapi derasnya paham fundamentalisme dan
radikalisme agama, yang infiltrasinya melalui dunia maya kian masif
memengaruhi anak-anak muda kita. Demikian juga dengan liberalisasi agama di
sisi lainnya, yang kalau mau jujur, pahamnya justru banyak digandrungi oleh
kalangan muda.




Kalau dibiarkan, dua hal ini bukan saja bisa mengancam eksistensi NU secara
organisasi dan jamaah, tetapi juga bagi keutuhan Indonesia sebagai sebuah
negara dan bangsa. Bersyukur Muktamar Ke-33 NU di Jombang telah meneguhkan
Islam Nusantara sebagai instrumen besar untuk membangun peradaban Indonesia
dan dunia.




Secara paradigmatik, tema ini mampu mengenalkan ciri Islam yang damai dan
toleran, dengan lebih mudah ke khalayak luas. Bagaimana tema besar ini
makin membumi, Fatayat NU perlu ambil bagian langsung di ruang ini. Tugas
Fatayat NU sebagai neven terdepan NU ke depan adalah bagaimana berpikir dan
bertindak lebih progresif.




Bagaimana kader aktif Fatayat NU yang tersebar di 34 pengurus wilayah (PW),
di 423 pengurus cabang (PC/PCI), di 2.013 pengurus anak cabang (PAC), di
21.225 pengurus ranting (PR), dan di lebih 90 ribuan pengurus anak ranting
(PAR) menjadi kekuatan ideologis yang dapat memainkan peran menghadapi arus
kuat globalisasi.




Harus diakui, globalisasi adalah sebuah kecenderungan yang sulit dihindari.
Perkembangan teknologi membuat arus informasi dengan derasnya memasuki
semua sektor publik dan domestik. Ini, percaya atau tidak, telah mengubah
sebagian besar kebiasaan hidup kita, dari mekanik ke digital. ”Dunia maya”
yang beberapa waktu lalu sebatas anganangan, kini seolah menjadi ”realitas
sebenarnya”.




Di sinilah, Fatayat NU perlu menata, merancang, dan mengagregasi sebuah
gerakan, yang bisa menjadi acuan bagi setiap perempuan, bukan hanya di
Indonesia, tetapi juga dunia. Fatayat NU harus mampu menunjukkan pada dunia
sebagai entitas perempuan yang memiliki bekal kepemimpinan kuat,
berkeadaban tinggi, dan yang mengerti Islam secara luas.




Untuk mengarah pada output tersebut, beberapa hal sudah dilakukan Fatayat
NU. Sebagai fondasi misalnya Fatayat NU terus meningkatkan pelatihan-
pelatihan kepemimpinan dasar di tingkat PC.




Jika dulu target pelatihan lebih banyak menyiapkan kader Fatayat untuk
menata organisasi secara internal, sekarang dalam panduan yang baru,
pelatihan Fatayat NU juga serius menyiapkan calon-calon pemimpin perempuan
yang selain mampu memimpin di internal, juga siap memimpin organisasi
publik di level yang lebih luas dan plural.




Demikian juga dengan great pelatihan kepemimpinan di tingkat nasional
(lapimnas). Di luar peningkatan kaderisasi formal, Fatayat NU juga penting
mengoptimalkan SDM kader yang ada. Kalau diidentifikasi, resources kader
Fatayat NU sebenarnya luar biasa.




Saat ini ada puluhan kader Fatayat NU yang bergelar doktor dan ratusan
lainnya lulusan Strata 2. Mereka tentu mempunyai keahlian dan bidang
profesi beragam. Manajemen pengelolaan SDM ini juga penting untuk lebih
memanggungkan lagi Fatayat NU di pentas global.




Betapa cantiknya tatkala dari rahim Fatayat NU lahir perempuan- perempuan
pemimpin, intelektual, dan kalangan profesional, yang sanggup memberikan
pengaruh positif bagi pembangunan karakter bangsa, bagi teguhnya Islam
Nusantara, dan tentu saja bagi peradaban dunia. []






Koran SINDO, 18 September 2015


Anggia Ermarini | Sekretaris Umum PP Fatayat NU






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke