Tragedi Haji dan Sunah Tuhan

Oleh: Abdul Waid






KETIKA mesin derek (crane) di Masjidil Haram ambruk, kemudian selang
beberapa hari terjadi insiden saling desak di Mina, muncul banyak
pertanyaan. Mengapa orang-orang yang semata-mata hendak beribadah haji di
tanah yang paling disucikan Tuhan, masih ditimpa musibah mengerikan?






Mana kasih sayang Tuhan yang (katanya) diberikan kepada orang-orang
beriman? Apakah Tuhan tidak ada di Makkah? Bukankah Makkah adalah tempat
yang paling dekat dengan Tuhan?






Pertanyaan-pertanyaan itu memang layak dilontarkan mengingat kedua insiden
itu menelan korban jiwa yang tidak sedikit. Tentu saja,
pertanyaan-pertanyaan itu tidak perlu dimaknai sebagai ungkapan skeptis
terhadap eksistensi dan kasih sayang Tuhan bagi para jemaah haji yang
menjadi korban tragedi itu. Pertanyaan-pertanyaan itu harus dimaknai
sebagai rasa keingintahuan tentang bagaimana sebenarnya pola eksistensi dan
kasih sayang Tuhan dalam setiap musibah serta korelasinya dengan hukum
alam. Dua tragedi di tengah ibadah haji itu tidak cukup hanya dijawab
dengan menyitir ayat yang berbunyi; ”…barangsiapa keluar dari rumahnya
dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian
menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap
pahalanya di sisi Allah.






Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS: An-Nisa: 100).
Islam sebenarnya tidak semata mengajarkan ketakwaan, keimanan, dan
kepasrahan. Islam juga mengajarkan pola pikir rasional. Mislanya Quran
dalam surah 17:77, 33:62, 35:43, 48:23 menegaskan ada sunah Tuhan di dunia
yang selamanya tidak akan pernah berubah. Sunah Tuhan yang dimaksud adalah
rasionalisme hukum alam. Dalam hukum alam, ada normanorma yang tidak pernah
berubah seperti siang dan malam, panas-dingin, atas-bawah, dan lain
sebagainya. Karena Tuhan telah menegaskan bahwa sunah- Nya (hukum alam)
tidak akan pernah berubah, maka siapa pun orangnya jika ingin selamat harus
patuh pada hukum alam. Tidak Berubah Misalnya, siapa pun kalau jatuh pasti
ke bawah. Jika dibakar, pasti panas. Atau, jika sebuah muatan melebihi
daya, pasti akan celaka. Hal ini menegaskan bahwa eksistensi Tuhan dalam
hukum alam secara universal berlaku tanpa kecuali.






Ada sebuah anekdot yang perlu kita cermati. Yaitu, ada dua bangunan berbeda
dan bersebelahan. Pertama, sebuah masjid dibangun dengan konsep arsitektur
lemah berbahan dasar material yang sudah tidak layak pakai dan tanpa
penangkal petir. Kedua, kasino yang dirancang dengan arsitektur modern,
berbahan dasar material kuat, serta dilengkapi penangkal petir.
Pertanyaannya, jika terjadi badai diiringi sambaran petir, bangunan mana
yang selamat? Pertanyaan itu memang terdengar ”tidak sopan” sehingga tidak
perlu dijawab. Tetapi, jika melihat konsep sunnah Tuhan, maka hukum alam
tidak akan pernah berubah terhadap apa pun, termasuk terhadap masjid. Dari
sanalah kita bisa membaca mengapa musibah tragis menimpa para jemaah haji
di Makkah. Tragedi Mina dan runtuhnya mesin derek (crane) di Masjidil Haram
yang menelan banyak korban jiwa sebenarnya adalah pelanggaran umat manusia
terhadap hukum alam (sunah Tuhan). Kekuasaan Tuhan dalam hukum alam,
sekalipun di Makkah, harus tetap dipatuhi dan diimani. Pada saat melakukan
ritual haji, para jemaah tetap harus memperhatikan daya muat, jumlah
jemaah, kekuatan, dan kemampuan pribadi.






Para pengelola haji harus memperhatikan kondisi alam yang mengitarinya.
Sebab, di sanalah sunah Tuhan berlaku absolut. Peran Tuhan dalam hukum alam
menunjukkan bahwa pola keber(agama)an umat manusia harus melibatkan unsur
sains modern. Pengelolaan dan pelaksanaan haji, misalnya, harus dikelola
dengan manajemen profesional, berdasarkan teknologi canggih, dan melibatkan
para ahli sains modern. Mendekatkan diri kepada Tuhan tidak cukup hanya
didasarkan pada kepasrahan dan keyakinan. Nabi Muhammad pun mengajarkan
umat-Nya untuk beragama dan berjihad dengan dasar pikiran rasional dan
melibatkan sains modern. Misalnya, pada saat perang Khandaq, Nabi SAW
menyuruh teknokrat muslim bernama Salman al-Farisi untuk membuat parit
sebagai strategi dan benteng pertahanan dalam perang. Artinya, jihad
(ibadah) tidak cukup hanya dijalankan dengan keberanian, kepasrahan,

keyakinan, dan doa. []






SUARA MERDEKA, 9 Oktober 2015


Abdul Waid, Dosen Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama (IAINU) Kebumen






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke