Islam dan Sistem Perekonomiannya

Oleh: KH. MA. Sahal Mahfudh




Keadaan ekonomi kita pada tahun 1990-an perlu perhatian khusus kaitannya
dengan upaya mencapai era tinggal landas yang selama ini dicita-citakan.
Berbagai situasi perekonomian dunia begitu mewarnai -dalam beberapa hal-
bahkan menentukan arah perekonomian kita.






Sebagai negara berkembang, peran luar negeri memang dibutuhkan. Bantuan
berupa pinjaman utang diupayakan sebagai penopang situasi moneter yang
belum sepenuhuya stabil. Selama 25 tahun kita berada dalam kondisi seperti
ini. Hal ini bukanlah merupakan gambaran ketidakmapanan tatanan ekonomi,
akan tetapi bantuan pinjaman itu sendiri adalah rentetan proses menuju
terwujudnya neraca berimbang yang tidak fluktuatif dan mudah tergoyang oleh
gelombang pasang surut perekonomian dunia dalam skala global.






Teori ekonomi umum menyebutkan, hadirnya bantuan luar negeri akan
merangsang timbulnya ketergantungan struktural dari pihak penerima utang
kepada negara donor. Hal ini bukan tidak mungkin terjadi, apabila pihak
penerima utang menjadikan bantuan tidak hanya sebagai penopang, tetapi juga
sebagai tiang utama ekonomi. Ditambah lagi, bahwa pihak pengutang tersebut
dituntut membenahi sistem perekonomiannya sendiri, seperti peningkatan
partisipasi modal swasta dalam banyak lahan.






Kita tahu dalam tahun anggaran 1992-1993, pemerintah bertekad menghapus
ketergantungan bantuan luar negeri yang berlebihan. Dalam beberapa sektor
industri dan sektor lainnya kita berharap situasi perekonomian kita dapat
lebih mantap dan stabil. Dalam Pelita V pemerintah bermaksud menggalakkan
industrialisasi sumber-sumber ekonomi umat dan bangsa ini bersamaan dengan
makin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak dapat ditawar lagi.






***






Berpangkal dari keberadaan manusia sebagai subyek dan obyek ekonomi
-produsen dan juga konsumen- maka kecuali upaya pembenahan sistem ekonomi
seperti peningkatan partisipasi permodalan swasta, hal yang tak kalah
pentingnya adalah menggarap keterampilan dan daya kemampuan pelaku ekonomi
itu sendiri, yang berkaitan dengan usaha atau ikhtiar manusia.






Manusia sebagai subyek ekonomi, yang dalam kelompok besar disebut umat,
oleh Islam dibebani (mukallaf) untuk berikhtiar sesuai dengan kadar
potensinya. Taklif (pembebanan) ini berimplikasi pada banyak hal. Dalam
disiplin fiqih -meskipun ekonomi sendiri bukan merupakan komponen fiqih-
ikhtiar dalam arti yang luas disinggung karena erat kaitannya dengan usaha
ekonomi. Kita mengenal pasal-pasal mu'amalat sebagai modifikasi hukum yang
mengatur bentuk-bentuk transaksi perekonormian secara lengkap dan terinci.






Menyinggung perihal ikhtiar dalam perekonomian, kita ingat akan sebuah
hadis yang kurang lebih artinya, "Bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi
adalah wajib (fardlu) setelah kewajiban yang lain". Interpretasi hadits ini
akan melahirkan kelompok-kelompok manusia produktiif atau manusia
bersumberdaya tinggi yang sekaligus merupakan inti perekonomian. Berangkat
dari kenyataan bahwa Allah tidak; memberi rizki dalam bentuk jadi dan siap
digunakan, melainkan hanya dipersiapkan sebagai sarana dan sumber daya
alam, maka sudah barang tentu untuk mengolahnya, mengikhtiari dalam bentuk
industri dan Lain-lain, sangat dibutuhkan kehadiran manusia produktif.






Manusia produktif secara definitif adalah suatu kelompok entrepreneur yang
berciri antara lain, peka terhadap kebutuhan lingkungan sekelilingnya,
menguasai informasi dan memiliki dinamika serta kreativitas yang tinggi,
sehingga mampu menciptakan -bukan hanya mencari- lapangan kerja dan
menumbuhkan wawasan ekonomi yang luas. Manusia yang berpotensi seperti
inilah yang dikehendaki Islam lewat hadits Nabi yang kurang lebih berarti,
"Orang mukmin yang kuat (punya potensi) lebih baik ketimbang mukmin yang
lemah".






Dari hadits ini saja, kita bisa menemukan pandangan Islam yang proporsional
terhadap ekonomi. Sikap ikhtiar dapat menghindarkan manusia dari sikap
fatalistik (berserah pada nasib) yang secara tegas telah dilarang oleh
Allah dalam surat Yusuf ayat 87, "Janganlah kamu sekalian berputus asa atas
rahmat Allah. Tiada orang yang berputus asa kecuali orang-orang kafir".






Beberapa hadits Nabi secara tegas memerintahkan ikhtiar dan menempatkannya
sebelum tawakal. Tawakal sebagai suatu nilai iman yang sangat luhur tidak
bisa diartikan berlawanan dengan ikhtiar, bahkan harus saling berkaitan
antara keduanya. Hal ini diisyaratkan oleh Nabi ketika seorang Badui
berkata kepadanya, "Aku lepas ontaku (tanpa kendali) dan aku hanya
bertawakal.” Serta merta Rasul bersabda, "Ikatlah dulu ontamu dan kemudian
bertawakallah".






***






Memang membicarakan masalah ekonomi dari sudut pandang Islam, rasanya perlu
pembahasan kompleksitas masalah lebih terinci dan saling melengkapi. Nabi
sebagai uswatun hasanah dalam sejarah sewaktu hijrah ke Madinah telah
memerintahkan dibangunnya pasar setelah sempurnanya pembangunan masjid di
kota tersebut. Ini tentu saja bukan sekadar bangunan fisik sebagai pusat
sirkulasinya berbagai komoditas, namun merupakan simbol yang menggambarkan
betapa pentingnya “pemasaran'' dalam dunia perekonomian.






Lebih jauh lagi perintah Nabi tersebut oleh para ekonom Islam dijadikan
sebagai ilham dalam menetapkan pokok-pokok perekonomian secara umum yang
ternyata sampai abad ini masih dipakai dan dikenal. Dalam hal ini, Imam Abu
Muhammad al-Hubaisyi menggariskan ushul al-makasib (pokok sumber ekonomi)
dalam tiga hal, yaitu pertanian, perindustrian (termasuk juga kerajinan)
dan perdagangan.






Tiga komponen itu saling berkaitan secara komplementer dalam sirkulasi
ekonomi. Bahkan perdagangan (tijarah) mendominasi sirkulasi tersebut karena
konsumsi hidup manusia tentu tidak dapat hanya dipenuhi dengan hasil
pertanian dan industri semata, namun juga memerlukan pemasaran.






Kembali kepada masalah peningkatan peran modal dalam perekonomian, Islam
sama sekali tidak mengenal sistem kapitalis yang berinti pada bebasnya
kepemilikan setiap individu tanpa batas-batas tertentu, sehingga setiap
pemilik modal dapat berbuat sewenang-wenang, tanpa memperhatikan posisi
ekonomi kaum dlu’afa dan fakir miskin yang pada gilirannya akan menumbuhkan
watak indivialistik dan monopoli. Jadi yang penting soal distribusinya.
Berlakunya kapitalisme yang mengabaikan distribusi hanya akan membenarkan
statemen, yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin.






Islam membenarkan pemilikan perseorangan. Berbagai firman Allah dan hadist
Nabi tentang hal ini begitu banyak kita temukan. Akan tetapi secara tegas
dan jeas, esensi kapitalisme yakni monopoli dan eksploitasi, sangat
dihindari oleh Islam. Dalam hal ini Islam memiliki aturan-aturan pembatas
seperti zakat, warisan, wasiat dan larangan menimbun kekayaan, demi
pemerataan dan kelancaran peredaran ekonomi umat. Pada hakikatnya Allah
justru menyukai orang yang kaya akan tetapi dengan syarat, ia harus
bersikap taqiy (takwa). Artinya dengan kekayaan, seserang dituntut memiliki
solidaritas sosial yang tinggi.






Demikian juga halnya dengan sistem perekonomian sosialis yang bertumpu pada
sentralisasi kepemilikan negara, tanpa memberi kesempatan sama sekali
kepada pemilikan perorangan atau swasta untuk bekerja mengembangkan
ekonomi. Yang terjadi dalam sistem itu justru bentuk-bentuk pengekangan
kreativitas, penyumbatan potensi dan bahkan kemunduran-kemunduran yang
jelas bertentangan dengan konsep-konsep Islam.






Dari keseluruhan daftar normatif syari'at-syari'at Islam, nampak perlunya
pembenahan dan peningkatan terhadap usaha-usaha yang selama ini dilakukan
oleh pemerintah dalam menggalakkan pembangunan sektor ekonomi. Berbagai
distorsi sebagai akibat lajunya pertumbuhan ekonomi, seperti monopoli dan
sejenisnya, begitu dini terantisipasi oleh Islam.






Dengan demikian, perilaku ikhtiar haruslah seimbang dengan tawakal dalam
pesatnya perekonomian sekarang ini. Sikap ikhtiar jangan sampai beralih
menjadi sikap serakah yang selalu berorientasi pada perhitungan untung rugi
secara kebendaan. Dan sikap tawakal jangan sampai membuat orang fatalis.
Keduanya harus seimbang. Bila hal itu merosot, norma-norma religius akan
semakin tersisih dan budaya sekuler akan lebih berkembang secara leluasa.
Umat pun kian lupa, kehidupan akhirat lebih baik ketimbang kehidupan dunia.
[]






 *) Diambil dari KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004
(Yogyakarta: LKiS). Tulisan ini pernah dimuat Suara Merdeka, Jumat 14
Februari 1992.






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke