Kepahlawanan KH Anwar Musaddad





[image: Kepahlawanan KH Anwar Musaddad]






Kehidupan KH Anwar Musaddad, sejak lahir tahun 1910, hingga wafat tahun
2000, terbagi dalam beberapa episode yang menjadikan dirinya sebagai
patriot, pendidik, juru dakwah, penulis, dan ulama panutan umat.




Sejak berusia 4 tahun, menjadi yatim. Sehingga bersama adik-adiknya,
dibesarkan oleh ibunya, Siti Marfu’ah, seorang wiraswasta pengusaha batik
Garutan dan dodol Garut “Kuraesin”. Rajin mengaji khusus hafalan Al Quran

(tahfidz) dan fiqh. Usia sekolah, masuk HIS Kristen, karena sebagai pribumi
bukan anak pegawai negeri (ambtenar) dan bukan dari kalangan bangsawan
(menak) tidak dapat masuk HIS Negeri.




Setamat HIS Kristen, melanjutkan ke MULO Kristen di Sukabumi, sambil
belajar mengaji dan memperdalam ajaran Islam kepada Ustadz Sakhroni.
Setamat MULO Kristen Sukabumi (1925), Musaddad melanjutkan ke AMS Kristen,
Jakarta. Tapi hanya dua tahun duduk di bangku AMS Kristen Jakarta, Musaddad
pulang ke Garut. Masuk pesantren Cipari, Wanaraja asuhan Kiyai Harmaen,
salah seorang ulama yang terkenal “lébér wawanén” (sangat berani) menentang
pemerintah kolonial Belanda, dan memperjuangkan kemerdekaan nasional, dan
aktip di “Syarikat Islam” pimpinan HOS Cokroaminoto.




Dari Cipari, Musaddad berangkat ke Jakarta, untuk memperdalam bahasa Arab
di Madrasah Al Ikhlas Jakarta.Menumpang di rumah HOS Cokroaminto, yang
merupakan sahabat Kyai Harmaen. Sehingga mulai memahami politik dan dunia
tulis menulis. Musaddad membantu SK Fajar Asia, yang dipimpin Cokroaminoto,
dengan menerjemahkan berita-berita dari bahasa Belanda, untuk media
perjuangan tersebut.


Itulah episode awal pembentukan jiwa intelektual Anwar Musaddad, yang
kemudian matang di dunia politik dan piawai menuangkan gagasan dalam bentuk
tulisan. Episode selanjutnya, masa belajar di Mekkah, 1930-1941. Ia
memuntut ilmu kepada para ulama terkenal Mekkah masa itu. Antara lain
Sayyid Alwi al Maliki, Syekh Umar Hamdan, Sayyid Amin Qubti, Syekh Janan
Toyyib (Mufgi Tanah Haram asal Minang), Syekh Abdul Muqoddasi (Mufti Tanah
Haram asal Solo).




Tahun 1939, pecah Perang Dunia II. Musaddad aktif dalam pembentukan Komite
Kesengsaraan Mukimin Indonesia (Kokesin), yang mengusahakan pertolongan
kepada para mukimin dan membantu pemulangan mereka ke tanah air. Setelah
tiba di tanah air, tahun 1941, Musaddad aktip menjadi juru dakwah dan
mengajar agama pada beberapa sekolah yang ada di Garut.Antara lain, Sekolah
Normal Guru Islam, yang didirikan Syarikat Islam.




Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), menjadi Kepala Kantor Urusan Agama
Priangan, dan menjadi Ketua Masyumi daerah Priangan. Setelah proklamasi
kemerdekaan, diangkat menjadi Kepala Kantor Urusan Agama Priangan. Pada
masa revolusi kemerdekaan (1945-1949), bersama KH Yusuf Taujiri dan KH
Mustofa Kamil, memimpin pasukan Hizbullah, melawan agresi Belanda yang
ingin kembali menjajah RI. Sempat ditangkap Belanda (1948) dan mendekam di
penjara.Baru dibebaskan setelah pengakuan kedaulatan (1950).




Selanjutnya, mendapat tugas dari Menteri Agama KH Fakih Usman untuk
mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN) di Yogyakarta, yang menjadi
cikal-bakal Institut Agama Islam Negeri (IAIN), kemudian menjadi
Universitas Islam Negeri (UIN) di seluruh Indonesia. Di bidang politik,
Anwar Musaddad menjadi anggota parlemen (DPR) dari Partai Nahdlatul Ulama
(NU) hasil pemilihan umum tahun 1955. Menjadi anggota DPR-GR 1960-1971, dan
menjadi Wakil Rais ‘Am PBNU pada Muktamar NU di Semarang (1980)*1).




Dari paparan di atas, tampak jelas, Anwar Musaddad memiliki andil besar
dalam percaturan nasional,sejak sebelum dan sesudah kemerdekaan . Sebagai
ulama yang faham betul prinsip “hubbul wathon minal iman” (Cinta tanah air
bagian dari iman), Anwar Musaddad terlibat langsung dalam mewujudkan dan
membela kemerdekaan tanah air. Keterlibatannya dalam membela kehidupan para

mukimin Indoenesia di Saudi Arabia, agar tidak terdampak hal-hal negatif
dari Perang Dunia II (1939-1945), sejajar dengan keterlibatannya dalam
memimpin Hizbullah selama perang kemerdekaan menegakkan proklamasi,
merupakan wujud patriotisme yang luar biasa. Pesantren Cipari, tempat Anwar
Musaddad menutut ilmu sebelum berangkat ke Mekkah, adalah sebuah pesantren
multifungsi.Selain mendidik para santri menyelami ilmu-ilmu agama Islam,
untuk mencapai taraf”tafaquh fiddin” (ahli agama), juga menggembleng para
santri untuk mencintai tanah air dan siap melawan penjajah.




Pasukan kolonial Belanda, pada masa perang kemerdekaan, sering ketakutan
menghadapi semangat juang para santri dan ajengan pesantren Cipari, yang
menjadi basis pertahanan para pejuang kemerdekaan di kawasan timur
Kabupaten Garut. Sosok dan peran Anwar Musaddad tidak dapat dipisahkan dari
gerak anti kolonialisme Pesantren Cipari *2).




Di bidang pendidikan, untuk mengggembleng sumberdaya manusia yang lengkap
sempurna, selain mendirikan PTAIN/IAIN, ketika menjadi Rektor IAIN Sunan
Gunung Jati, Bandung (1968-1975) Anwar Musaddad juga mendirikan Sekolah
Persiapan IAIN (SP IAIN) di Garut, Cipasung Tasikmalaya, Cilendek Bogor,
Ciparay Bandung, Majalengka, dll.Tujuannya, agar jumlah mahasiswa IAIN
meningkat. Tujuan lainnya, sebagai perwujudan obsesi Anwar Musaddad
“mengulamakan intelektual” dan “mengintelktualkan ulama”.




Karena kenyataan di lapangan waktu itu, banyak ulama yang tidak “intelek”.
Hanya memahami ilmu-ilmu agama, tanpa mengenal ilmu-ilmu umum. Begitu pula,
banyak intelektual hanya menguasai ilmu-ilmu umum, tapi tak mengenal ilmu
agama. Banyak jalan ditempuh Anwar Musaaddad dalam mewujudkan obsesinya itu.




Selain melalui jalur formal (pembentukan IAIN, SP IAIN, dll), juga jalur
non-formal. Seperti “kursus politk" yang diselenggarakan th. 1964-1965,
kepada para santri dan kiyai, dalam rangka pencegahan penyebaran faham
komunisme dan penetrasi Partai Komunis Indonesia(PKI) di daerah-daerah,
khususnya Garut*3). Lahan dan sasaran dakwah Anwar Musaddad, tidak hanya
terbatas di lingkungan perkotaan, kampus atau lingkungan akademik
saja.Melainkan juga kampung-kampung dan pedesaan terpencil yang belum dapat
dimasuki kendaraan. Jangankan roda empat, roda dua pun masih sulit. Maka
terpaksa menempuh jalan kaki. Materi dakwah yang disampaikan juga, beragam.
Untuk lingkungan kota dan akademik, mungkin yang muluk-muluk tinggi serba
ilmiah. Sedangkan untuk di kampung-kampung, sangat sederhana namun amat
penting untuk diketahui dan difahami masyarakat keseluruhan.Terutama dalam
pengetahuan ilmu fiqh dan penerapannya.*4)




Walaupun Anwar Musaddad seorang Nahdliyin, bahkan menduduki posisi puncak
di kepengurusan NU tingkat pusat, namun tidak fanatik mazhab atau pendapat
yang bersifat “furuiyah” (ranting masalah) yang kerap menimbulkan perbedaan
faham. Anwar Musaddad selalu mengambil jalan tengah. “Khoirul umur
awsatuha”. Sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah*5) Selain
materi-materi praktis yang dibutuhkan dalam praktek peribadatan
sehari-sehari, seperti bersuci, pada lingkungan pendengar (mustami)
tertentu, kadang-kadang Anwar Musaddad menyampaikan materi mengandung unsur
“sufistik” (supranatural), baik berdasarkan pengalaman sendiri, maupun
mengutip referensi kitab-kitab klasik**6).




Pengajian khusus yang diselenggarakan Anwar Musaddad, seperti “kursus
politik” seperti disinggung di atas, adalah pembacaan kitab “Hikam” sebulan
sekali. Diikuti para kiyai dari berbagai pesantren seluruh Garut, bahkan
Bandung,Tasikmalaya dan Sumedang. Keluasan pengetahuan Anwar Musaddad yang
sangat holistik, dan komprehensif integral,membuat para pendengar terpana

mendengar pembahasan isi kitab klasik yang sulit difahami itu.*7).




Akhirul Kalam Menyaksikan dan merasakan jejak langkah KH Anwar Musaddad,
sebagian besar orang sudah menganggap Anwar Musaddad sebagai “pahlawan”.
Minimal pahlawan bagi lingkungan keluarga, warga Nahdliyin dan civitas
akademika IAIN serta pesantren-pesantren yang para kiyainya berguru kepada
Anwar Musaddad. Sebuah pengakuan yang cukup kuat, untuk menjadikan Anwar
Musaddad pahlawan legal formal, seperti umumnya para pahlawan nasional yang
diakui pemerintah. []






Catatan:




1.Riwayat hidup Anwar Musaddad, dapat dilihat antara lain dalam buku
“Ensiklopedi Sunda, Alam, Manusia dan Budaya, Termasuk Budaya Cirebon dan
Betawi” (Pustaka Jaya,2000) hal. 56.




2.Pesantren Cipari, merupakan salah satu pesantren tertua dan terkenal di
Kab.Garut,di samping Keresek (Cibatu), Kudang(Limbangan), Al Hikmah
(Tarogong). Sebuah “ceritera rakyat” (folklore) yang dihimpun Panitia Tahun
Buku Internasional Indonesia 1972, UNESCO, mengisahkan patriotisme para
santri dan kiyai Cipari. Disebutkan, th.1948, pasukan Belanda dari Cibatu,
akan menyerang Cipari. Karena berita mendadak, dan hari Jum’at pula,
penduduk dan para pejuang tidak sempat menghindar.Mereka terkepung oleh
pasukan bersenjata lengkap. KH Anwar Musaddad dan KH Yusuf Taujiri,
menyuruh laki-laki masuk masjid untuk bersiap melaksanakan salat Jum’at.
Sebelum tiba waktu adzan, KH Anwar Musaddad memimpin pembacaan do’a “Hizib
Bahri”. Setelah adzan, KH Yusuf Taujiri berkhotbah. Selama khotbah tidak
ada seorangpun jamaah yang tertidur seperti biasanya. Usai salat Jum’at,
seorang penduduk melaporkan, tentara Belanda yang mengepung pesantren semua
tertidur lelap. Bergelimpangan di pematang, jalan setapak, kebun, dsb.
Mereka baru terbangun setelah hari menjelang senja. Pesantren Cipari telah
sepi ditinggalkan penghuninya mengungsi ke tempat aman. Kisah serupa dapat
ditemukan dalam buku “Berangkat dari Pesantren” karya KH Saifuddin Zuhri
(1986) hal.271. Terjadi di Ambarawa.Tentara Inggris dan NICA (Belanda),
yang sedang mengepung markas pejuang, tiba-tiba mengundurkan diri sebelum
subuh tiba. Pada waktu, para pejuang yang dipimpin KH Syaifuddin Zuhri, KH
Dahlar, dll., semalaman membaca wirid “Hizbun Nashr “. Tampaknya pembacaan
wirid atau hizib ini sudah menjadi tradisi di kalangan para ulama NU.




3). “Kursus Politik” yaitu pelajaran politik, ilmu dan praktek, dari
seorang atau beberapa orang politikus kepada anggota partainya.KH Musaddad
menyelenggarakan “kursus politik” kepada para ajengan pesantren yang
berafiliasi kepada NU, anggota ormas NU (GP Ansor,PMII, IPNU).Tujuannya
adalah, agar warga NU waspada menghadapi gerakan PKI yang mulai masuk ke
desa-desa di Kab.Garut sejak th.1960. Para peserta kursus diharapkan mampu
menggugah kesadaran masyarakat,warga NU khususnya, umat Islam umumnya,

karena PKI menggunakan sayap organisasi “Ikhwanul Muslimin” untuk
mengelabui umat Islam agar mau masuk PKI. “IM” PKI diketuai oleh KH Anwar
Sanusi. Anak KH Anwar, yaitu Amir, pada waktu itu menjadi salah seorang
anggota CC (pimpinan pusat) PKI yang diketuai DN Aidit. “Kursus Politik” di
Garut, sebenarnya bukan hal baru.Tahun 1930-an, Syarikat Islam sering
menyelenggarakan “kursus politik” di desa dan kecamatan. Dinamakan
“verhadering” (diucapkan oleh masyarakat menjadi “pahadreng”. Perdebatan.
Tokoh-tokoh SI pusat,seperti HOS Cokroaminoto, Agus Salim, Abikusno, sering
terjun ke Garut. Pada waktu bersamaan dengan “kursus politik” Islam Anwar
Musaddad, di Garut terselenggara pula “kursus politik” untuk kaum
nasionalis (PNI) di rumah Burhan Mustapa, Jl.Bank 14. BM terkenal sebagai
tokoh PNI.Tapi salah seorang putranya., Awan Karmawan, aktip di Golongan
Karya (Golkar). Sejak 1971 menjadi anggota DPR RI dari Golkar dan
bertahun-tahun menjabat Ketua DPP Golkar hingga masa reformasi th.1998.
4).Hal-hal “ringan” tapi “berat” menurut ukuran dosa (kabair) sering
dibahas dalam dakwah Anwar Musaddad. Misalnya, menganggap remeh air
kencing. Sehingga sehabis kencing tidak bersuci. Padahal air kencing
termasuk najis.




5). Masalah “furuiyah” yang kerap menjadi sumbner keributan di masyarakat
awam, antara lain melalukan qunut pada salat subuh, mengucapkan niat
(talafudz binniyat) sebelum salat dll.Jawaban Anwar Musaddad atas masalah
ini, yaitu “jangan dipermasalahkan qunut atau mengucapkan niatnya.
Permasalahkan saja orang yang tidak salatnya.




6). Pada pengajian khusus dan terbatas, Anwar Musaddad sering membahas
kegunaan (kaifiat) ayat-ayat Quran, yang dikaitkan dengan permasalahan
manusia sehari-hari. Seperti pemenuhan kebutuhan hidup, utang piutang
dll.Dalam literatur Islam memang banyak kitab yang khusus membahas hal itu,
walaupun timbul pro-kontra.Misalnya, kitab “Syamsul Ma’ariful Kubro” dan
“Khozinatul Asror” karya Syekh Ali Al Buni (622 Hijrah) . Isi kitab
tersebut banyak diamalkan khasiatnya, berupa do’a, wirid, hizib, isim dll,
yang menggunakan ayat-ayat Quran. Ulama “moderen” seperti Syekh Abdullah
bin Baz (Saudi Arabia), menganggap isi kitab semacam karya Al Buni,
mengandung kesesatan. Mungkin jika dibaca dan diamalkan begitu saja oleh
orang awam. Namun tidak bagi ulama sekelas Anwar Musaddad. Pada suatu
kesempatan (1989), Anwar Musaddad membahas kaifiat S.Al Balad (surah
No.90). Bahwa jika surat itu, dibaca tiga kali setelah salat sunat fajar
(subuh), sebelum melaksanakan salat subuh, akan mendatangkan rejeki bagi
pembacanya. Ketika itu, ada seorang pendengar hendak bertanya mengenai
kesahihan dalilnya. Tapi tiba-tiba datang tamu. Menyerahkan uang Rp 25 juta
untuk pribadi, keluarga atau pesantren Musadad. Calon penanya bungkam
menyaksikan hal itu dan Anwar Musaddad menyatakan inilah bukti keampuhan
S.Al Balad untuk urusan rejeki, yang dibacanya sebelum salat subuh tadi.




7) Kitab "Hikam" karya Ibnu Atha'illah as Syukandari. Walaupun bukan kitab
standard pokok seperti kitab-kitab fiqh, “Hikam” amat digemari para
ajengan. Menjadi rujukan utama dalam merambah ilmu tasawuf, selain "Ihya
Ulumuddin" karya Imam Gazhali. Sehingga jarang atau belum boleh dikaji oleh
para santri. Sekalipun santri itu sudah senior. Sudah khatam ilmu "lugah".
Yaitu kesempurnan ilmu bahasa Arab, mencakup tatabahasa (sharaf-nahwu), dan
keindahan bahasa (balaghah, mencakup bayan, mani, badi, arudl, qawafi).
Apalagi santri yang belum beres "dhoraba zaidun amron"nya alias belum tamat
kitab "Alifyah". Kitab tatabahasa Arab dalam bentuk puisi (syair) seribu
bait, yang harus hafal di luar kepala, mulai dari awal hingga akhir,
kemudian mundur dari akhir hingga awal. Konsumen kitab "Hikam" harus sudah
benar-benar seseorang yang telah berada pada "maqam" tinggi. Yang telah
mampu memurnikan hati dari segala hal yang rendah, kasar, dan hina
(at-takhalli minar radza-il), menghiasi hati dengan segala ucapan dan
tindakan terpuji (ar-tahalli bil fadla-ili) dan membersihkan hati dari
segala apa selain Allah SWT (at tabarri amma siwallahi). Karena itu,
mengaji kitab "Hikam" jarang sendirian. Harus ada seorang "mursyid" yang
memberi bimbingan. Selain karena bahasa yang digunakan Syekh Ibnu
Atha'illah tergolong sukar, sangat "nyastra", juga banyak ungkapan-ungkapan
yang perlu diulas dan dirinci oleh orang yang betul-betul telah memahaminya
dengan bantuan referensi kitab-kitab lain. Termasuk kitab-kitab "syarah"
(komentar) atas kitab "Hikam" sendiri, yang merupakan "matan" (bahasan
pokok terbatas pada suatu masalah, menggunakan ungkapan ringkas, padat).
Dalam mengaji "Hikam" para "mursyid" jarang menggunakan "matan". Melainkan
kitab-kitab syarah, yang dalam khazanah sastra Arab , tercatat 24 kitab
syarah "Hikam". Tapi kitab syarah "Hikam" paling terkenal dan paling banyak
digunakan, adalah "Iqadzul Himam fi Syarhil Hikam" karya Al A'rif Billahi
Ahmad bin Muhammad Ajibah al Hasaniy. Kitab-kitab syarah "Hikam" lain,
seperti karya Ibnu Abbad ar Rondi, Abdullah bin Hijaziy as Syarqawi, Syekh
Zarruk, dll., jarang dibacakan. Kecuali untuk referensi pribadi para
"mursyid". Pengajian kitab "Hikam" juga rata-rata berlangsung terbatas.
Sekedar "bilbarkah" (mencari berkah). Biasanya diikuti oleh para alumni
satu pesantren di pesantren bekasnya belajar, kepada kiyai yang dulu
menjadi gurunya di situ. Atau kepada sanak keturunannya, yang sudah menjadi
kiyai pula. Mencari dan menyegarkan ilmu, sekaligus menjalin hubungan
silaturahmi antara murid dengan guru, itulah "bilbarkah". Ukuran kitab
"Hikam" sendiri, tergolong kecil dan tipis. Terdiri dari 294 kata-kata
mutiara (hikmah) berbentuk aforisma-aforisma pendek, dan ditutup 42
munajat, yang juga berbentuk aforisma-aforisma puitik. Salah satu contoh
aforisma kitab "Hikam" sebagai berikut : "Min alamati i'timadi alal 'amali
nuqshanur raja-i inda wujudij jalali". Salah satu tanda bersandar pada
amal, adalah berkurangnya harapan (raja) pada saat berbuat kesalahan.
Pembahasan aforisma tentang watak manusa memuja-muja hasil kerja diri
sendiri, dengan melupakan faktor pertolongan Allah SWT, akan sangat panjang
lebar. Menghabiskan belasan halaman, karena menyangkut uraian tentang
rahmat karunia Allah SWT kepada mahluqNya, takdir, amal soleh, dlsb., yang
akan terkorelasi dengan uraian-uraian lain yang saling menunjang dan
memperluas wawasan. Penulis kitab "Hikam", Syekh Athaillah as Syukandari,
lahir di kota Iskandariah (Aleksandria) Mesir, th.658 H (1260 M). Sejak
remaja menjadi murid seorang sufi asal Murcia, Andalusia (Spanyol), Syekh
Abul Abbas al Mursi. Seorang "mursyid" tarekat Sadziliyah. Setelah Syekh
Abbas wafat, Ibnu Athaillah melanjutkan tugasnya sebagai mursyid. Dari
bahan-bahannya mengajar para murid itulah, terhimpun mozaik-mozaik kearifan
yang menjadi cikal-bakal kitab "Hikam". Kemashuran kitab "Hikam" melampaui
batas negara dan mazhab-mazhab tarekat. Orientalis Spanyol, Miguel Asin
Palcios telah menerjamahkan "Hikam" ke bahasa Spanyol. Menurut Palacios,
seorang mistikus Kristen Spanyol, Saint Jean de la Croix, sangat
terpengaruh oleh "Hikam". Sehingga pendapatnya banyak yang mirip dengan
aforisma "Hikam". KH Anwar Musaddad menyelenggarakan pengajian khusus kitab
“Hikam” th.1984-1987 di rumahnya, Jl.Ciledug, Garut. Usai pengajian, para
jamaah disuguhi makan siang, yang dimasak sendiri oleh KH Anwar Musaddad
sejak pagi hari.








Usep Romli HM, seniman budayawan. Mendapat penghargaan Sastra Sunda dari
Yayasan Kebudayaan Rancage 2010 untuk bukunya “Sanggeus Umur Tunggang
Gunung”, dan hadiah Rancage 2011 untuk jasa terhadap bahasa Sunda.Mendapat
“Garut Award” dari Pemkab Garut (2010), Anugrah Budaya Gubernur Jabar
(2012), dan “Asrul Sani Award” dan Lesmbumi/PBNU (2014) bidang “kesetiaan
menulis”.






--
http://harian-oftheday.blogspot.com/


"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."

Kirim email ke