Mantan Ketua DPRD Jatim Fathor Ngaku Diperas Jaksa Rp 1,5 M  setelah divonis 
hukuman 6 tahun


Mantan Ketua DPRD Jatim Fathorrasjid ”bernyanyi”, setelah divonis hukuman 6 
tahun (72 bulan) penjara dalam kasus korupsi dana Program Penanganan Sosial 
Ekonomi Masyarakat (P2SEM) Rp 5,8 miliar oleh majelis hakim Pengadilan Negeri 
(PN) Surabaya, Senin (29/3). Politisi PKNU ini mengaku diperas jaksa yang dinas 
di Kejaksaan Agung (Kejagung).

Kata Fathor, oknum jaksa ini berinisial Y. “Dia ini mengaku salah seorang 
direktur di Kejagung," ucap Fathoorasjid usai sidang vonis dirinya.

Lantas dia mengisahkan pertemuannya dengan Y terjadi pada 2009 saat dirinya 
masih berstatus sebagai saksi kasus P2SEM. Ketika itu, dirinya bertemu Y di 
Hotel Ambara, Jakarta. Awalnya memang tidak ada pembicaraan mengenai kasus yang 
tengah dihadapi Ketua Dewan Periode 2004-2009 itu. Namun setelah Fathor geser 
ke Rumah Makan Kapau, Y menelepon Fathor. "Dia menjamin saya 'tidak naik kelas' 
asal ada kompensasinya," tutur lelaki 57 tahun ini.

Fathor akhirnya meminta saweran kepada rekan-rekannya, sehingga totalnya 
terkumpul Rp 1,5 miliar. Uang tersebut kemudian ditransfer kepada Y. Tapi 
belakangan Fathor kecewa karena ternyata kasusnya jalan terus. Oleh penyidik 
Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dia ditetapkan sebagai tersangka, bahkan ditahan. 
"Sekarang saya malah divonis enam tahun," kata Fathor yang mengenakan kemeja 
batik dan berkopiah itu.

Fathor juga kecewa karena dalam perkara ini hanya dirinya yang diadili. 
Padahal, kata dia, hampir semua anggota DPRD Jawa Timur periode itu mendapat 
kucuran dana P2SEM. Fathor menyebut nama koleganya, Ahmad Rubai dari Fraksi PAN 
dan Suhartono Wijaya dari Fraksi Partai Demokrat yang juga menikmati dana 
tersebut. "Tapi mereka sekarang malah menjadi anggota DPR RI," beber Fathor.

Karena itulah, dirinya mengajukan banding atas putusan hakim yang diketuai I 
Gusti Ngurah Astawa tersebut. Fathor juga akan melaporkan pemerasan itu ke 
Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum, Komisi Kejaksaan dan Komisi 
Yudisial. "Saya merasa dikorbankan," tanas Fathor sambil masuk ke mobil tahanan.

Mengenai pengakuan Fathorrasjid, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Eddy Winarko
menyatakan, tidak tahu-menahu. "Itu urusan dia. Saya tidak tahu soal itu 
(pemerasan, red). Makanya, dalam sidang kemarin kami menuntut hukuman tinggi," 
ujar Eddy. Sebelumnya, Fathor dituntut hukuman 12 tahun penjara.

Dengarkan Vonis, Fathor Tegang

Selama mendengarkan pembacaan putusan yang dibacakan secara bergantian oleh 
majelis hakim, politisi PKB yang menyeberang ke PKNU ini terlihat tegang. 
Sesekali, tangannya mengusap keringat yang meleleh diwajah merahnya.

”Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama enam tahun,” tegas I Gusti 
Ngurah Astawa yang memimpin sidang, kemarin.

Selain itu, Fathor juga dibebani membayar denda sebesar Rp 100 juta subsider 
setahun penjara. Pria asal Situbondo itu juga diharuskan membayar uang ganti 
rugi sebesar Rp 5,8 miliar rupiah. Jika tidak bisa dibayar dalam waktu sebulan, 
harta dan benda terdakwa dilelang untuk menutupi kerugian tersebut dan bila 
tidak mencukupi diganti dengan hukuman selama 1,5 tahun.

Dalam amar putusannya, Astawa menyatakan terdakwa tidak terbukti melanggar 
pasal 2, namun dianggap terbukti melanggar pasal 3 UU No. 20 tahun 2001 
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan 
Tindak Pidana Korupsi.

”Berdasar fakta yang terungkap dalam sidang, baik bukti, dokumen, keterangan 
saksi, dan ahli terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara 
bersama-sama dan berkelanjutan,” terangnya.

Menurutnya, perbuatan terdakwa dimulai saat program P2SEM digulirkan pada 2008. 
Dalam proses pencairan, Fathorrasjid menunjuk koordinator untuk menjadi 
penghimpun proposal dari berbagai daerah. Bukan hanya itu, terdakwa juga 
menunjuk Pudjiarto yang tidak lain adalah staf pribadinya sendiri di 
secretariat dewan untuk menghimpun proposal yang dikumpulkan para koordinator.

Proposal yang dihimpun itu lantas dimasukkan ke Badan Pemberdayaan Masyarakat 
(Bapemas) Jatim untuk diproses. Setelah cair, uang itu tidak diterimakan utuh 
ke lembaga penerima hibah yang mengajukan proposal tersebut.

Fakta ini diperoleh berdasarkan keterangan saksi dari Syujak Hariyanto dan 
beberapa saksi lainnya yang dalam sidang mengatakan bahwa dana yang mereka 
terima telah dipotong. Besarannya bervariasi, dari 40 sampai 60 persen.

Uang hasil potongan itu lantas diserahkan ke Pudjiarto. Pria yang menjadi 
terdakwa dalam kasus yang sama itu lantas mentransfer ke rekening milik 
Fathorrasjid.
Dijelaskan hakim, dari proposal yang diajukan, cair dana Rp 29 miliar. Namun 
dana yang diterima lembaga penerima hibah hanya Rp 14 miliar yang diserahkan 
pada 171 lembaga penerima.

”Kerugian negara yang bisa dibuktikan oleh jaksa dengan ditemukannya 17 bukti 
transfer ke rekening atas nama terdakwa senilai Rp 3,5 miliar dan Rp 2,3 
miliar. Kerugian negara adalah Rp 5,8 miliar,” terang Astawa.

Sedangkan penghitungan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) 
disebutkan bahwa Fathor menggunakan dana Rp 8,9 miliar untuk kepentingan 
pribadinya, tidak terbukti. n


http://www.surabayapagi.com/index.php?p=detilberita&id=46038


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke