Perlunya para penuntut ilmu dan umat muslim pada umumnya memahami tentang akhlak

Baiklah kita lanjutkan tulisan sebelumnya tentang kesombongan 
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/10/kesombongan.

Kalau kita amati, telah terjadi keanehan pada zaman modern ini, zaman  yang 
dikatakan penuh ulama-ulama pembaharu (mujaddid), dimana sebagian mereka merasa 
dirinya lebih baik dari orang lain. Mereka bahkan adalah orang yang berilmu 
agama yang tinggi, menguasai bahasa Arab yang baik, hafal sejumlah hadits dan 
bahkan hafal Al-Qur'an dengan baik

Dahulu kita kenal, bahwa semakin tinggi ilmu manusia maka dia semakin merunduk 
(sadar akan Allah yang Maha Mengetahui).
Ibarat Padi, semakin berisi semakin merunduk artinya semakin tinggi ilmunya 
semakin rendah hatinya, atau kalau sudah pandai jangan sombong, selalulah 
rendah hati.

Zaman modern ini, sebagian orang yang merasa ilmunya tinggi menjadikan mereka  
sombong, berdasarkan kajian atau ijtihad mereka atau kelompok mereka, akhirnya 
menurut mereka, mereka telah menemukan "kebenaran", bahkan memandang orang 
tuanya, keluarganya, lingkungannya, ulama-ulama terdahulu itu keliru dalam 
mengikuti/memahami  agama Islam.

Klo saya tanyakan , mengapa yang keliru itu begitu banyak?.

Mereka menjawab dengan rujukan hadist yang menjadi "pembenaran" bagi mereka 
yakni,
Rasulullah bersabda (yang artinya), "Sesungguhnya Islam pertama kali muncul 
dalam keadaaan asing dan nanti akan kembali asing sebagaimana semula. Maka 
berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba')."(hadits shahih riwayat 
Muslim)

"Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). Yaitu mereka yang 
mengadakan perbaikan (ishlah) ketika manusia rusak."(hadits shahih riwayat Abu 
Amr Ad Dani dan Al Ajurry)

Mereka memandang bahwa mereka hidup zaman sekarang ini ditengah banyak manusia 
yang rusak. Artinya mereka memandang dirinya lebih baik dibandingkan banyak 
orang lain.

Bahkan dengan pembenaran terhadap golongan mereka, menggunakan hadits berikut

"Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). (Mereka adalah) orang-orang 
shalih yang berada di tengah orang-orang yang berperangai buruk. Dan orang yang 
memusuhinya lebih banyak daripada yang mengikuti mereka." (hadits shahih 
riwayat Ahmad).

Menurut mereka, mereka bisa  paham kenapa banyak orang yang memusuhi mereka dan 
jumlah mereka yang memusuhi lebih banyak daripada yang mengikuti mereka. 
Padahal kami sesama muslim, InsyaAllah tidak akan memusuhi orang muslim lainnya 
karena sesungguhnya sesama muslim adalah bersaudara sebagaimana firman Allah 
yang artinya, "Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara" ( Qs. 
Al-Hujjarat :10). Mungkin mereka telah berprasangka buruk terhadap sesama 
muslim.

Juga ada sebagian dari mereka mendakwahkan jangan bertaqlid pada imam yang 
empat (imam madzhab) karena mereka tidak maksum.  Apakah mereka memahami oleh 
karena tidak maksum maka hasil upaya ijtihad imam yang empat menyalahi 
Al-Qur'an dan Hadits ? Ataukah mereka tidak paham membedakan antara yang 
dimaksud taqlid buta dengan taqlid itu sendiri yakni mengikuti, mentaati ulama 
mujtahid. Sebagaimana Allah telah firmankan yang artinya, "Wahai orang-orang 
beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rosul-Nya dan ulil amri di 
antara kamu " (QS An Nisa' : 59 ).

Begitu juga kalau saya berdiskusi dan mencoba mengingatkan mereka, pada suatu 
keadaan tertentu malah mereka "mengakhiri" diskusi dengan menggunakan firman 
Allah yang artinya
"Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat 
petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan Allah,  maka merekalah orang-orang 
yang merugi" (Al'A'raaf:178).

Disesatkan Allah berarti bahwa orang itu sesat berhubung keingkarannya dan 
tidak mau memahami petunjuk-petunjuk Allah.

Mereka belum paham bahwa orang yang disesatkan Allah adalah  bukan orang yang 
telah bersyahadat juga bukan orang yang beriman kepada Kitabullah. Dalam 
Al-Qur'an dapat diketahui siapa yang dimaksud oleh Allah dengan orang-orang 
dimurkai dan orang-orang disesatkan.

Jadi klo boleh saya simpulkan, bahwa mereka bukannya menegakkan/ mensiarkan 
kebenaran namun menegakkan pembenaran atau menggunakan kebenaran untuk 
kepentingan (hawa nafsu) mereka.

Sebagaimana ketika disampaikan kepada Saidina `Ali Ra, semboyan orang khawarij, 
   kemudian beliau menjawab:  "kalimatu haqin urida bihil batil" (perkataan 
yang benar dengan tujuan/keinginan/hasrat/kepentingan  yang salah)

Oleh karenanya zaman modern ini kita dapatkan sebagian dari ulama pembaharu, 
sesungguhnya adalah ulama pragmatis, ulama berdasarkan/bersandarkan kepentingan 
seperti kekuasaan atau kebutuhan/keperluan duniawi lainnya. Mereka bukan ulama 
yang idealis, yang semata-mata berpegang pada al-Qur'an dan Hadits.

Salah satu solusi agar orang-orang yang menuntut ilmu tidak menjadi sombong 
maka mereka harus dilengkapi dengan ilmu tentang akhlak, hati, tazkiyatun nafs, 
ma'rifatullah

Nasehat ulama sufi, syaikh Ibnu Athailllah

"Betapa hati manusia akan menyinarkan cahaya, bila cermin hati kita masih 
memantulkan beraneka macam gambaran tentang alam kemakhlukan? Betapa seorang 
hamba mampu menjumpai Allah, padahal ia terbelenggu ke dalam syahwat. Bagaimana 
mungkin seorang hamba dengan keinginan kerasnya untuk masuk kehadirat Allah, 
padahal ia belum bersih dari janabat kelalaiannya. Bagaimana mungkin seorang 
hamba mampu memahami berbagai rahasia yang halus halus, padahal ia belum juga 
bertobat dari kesalahannya. "

Jika kita ibaratkan hati sebuah cermin, bagaimana cermin itu akan memantulkan 
cahaya kebenaran, jika terhijabi oleh nafsu hijab, dosa hijab, hubbub al-dunya 
hijab, cara pandang terhadap fiqh yang terlalu formalistik juga hijab, 
terjebaknya orang dalam kenikmatan ladzatul `ibadah juga hijab,  sampai karomah 
juga hijab, dan hijab lainnya.

Selengkapnya saya telah uraikan dalam tulisan pada

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/07/pendidikan-akhlak/

dan

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/03/saya-bersaksi/

Sesungguhnya kita tidak mebutuhkan pembaharu (mujaddid) dalam agama Islam, yang 
kita butuhkan adalah kesungguhan dan ke-kafah-an dalam mengikuti dan 
mengimplementasi Al-Qur'an dan Hadits, bagaimanapun atau kapanpun zaman 
kehidupan atau  teknologi yang kita hadapi karena Al-Qur'an dan Hadits tidak 
akan pernah "usang".

Tak mengapa kita mengikuti / taqlid pada ulama-ulama mujtahid karena 
keterbatasan kemampuan kita untuk berijtihad.  Lagi pula harus terpenuhi 
syarat-syarat yang banyak untuk dapat melakukan ijtihad. Bahkan sebagian ulama 
menyatakan agak sulit mendapatkan imam mujtahid pada masa sekarang karena masa 
kehidupan kita sudah terlampau jauh dengan masa kehidupan Rasulullah dan masa 
kehidupan generasi Salafush Sholeh.

Imam mujtahid, merekapun tentu berpegang pada Al-Qur'an dan Hadits juga 
mengambil pelajaran dari kehidupan Salafush Sholeh (generasi terbaik dari umat 
Islam).

Namun umat Islam dalam mengikuti (taqlid) Imam mujtahid harus tetap merujuk 
kepada Al-Qur'an dan Hadits.  Selama kita selalu mengingat Allah maka 
insyaAllah,  Allah akan menganugerahkan pemahaman yang dalam (al-hikmah) 
sehingga kita dapat mengambil pelajaran / petunjuk dari Al-Qur'an dan Hadits.  
Sebagaimana firman Allah yang artinya,

"Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As 
Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi 
hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya 
orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman 
Allah)." (Al-Baqarah – 269).

Wassalam

Zon di Jonggol
http://mutiarazuhud.wordpress.com

Kirim email ke