Belajar dari Sandiaga Uno (Bagian 1) Kunci Sukses: Yakin, Syukur dan Ihlas Kamis siang kemarin saya berkesempatan duduk dan berdiskusi bersama Sandiaga S Uno, di wisma Antara Jakarta. Pertemuan ini difasilitasi sahabat saya, Dr Mukhlis Yusuf, Direktur Utama kantor berita Antara. Saya memang sejak awal berniat ingin belajar banyak dari Sandiaga Uno. Saya menyimak baik-baik kalimat demi kalimat yang disampaikan Sandi, saya catat di BlackBerry.
Apa yang saya pelajari dari pengusaha muda yang termasuk orang terkaya di republik ini, akan saya bagi kepada teman-teman melalui forum ini. Saya akan menuliskan dalam beberapa edisi. Semoga saya tidak salah menerjemahkan apa yang disampaikan oleh Sandiaga Uno yang kini menjadi kandidat Ketua KADIN paling favorit. Nama lengkapnya Sandiaga Sholahuddin Uno. Masih sangat muda, 40 tahun. Saya sebenarnya lebih banyak mengenal ibunya, Mien R Uno dan pamannya Profesor Arief Rachman. Keduanya adalah seorang pendidik, alias guru. Ketika masih bekerja sebagai wartawan televisi, sekitar tahun 1993-1996 saya sudah mengenal sosok Mien Uno. Bahkan kami pernah bersama-sama menjadi “pemandu” jamaah haji dari perusahaan travel haji ternama saat itu, Tiga Utama milik pengusaha Ande Latif. Hanya saja bedanya, saya “ikut” agar bisa berangkat haji gratisan dan bisa membuat naskah berita seputar ibadah haji yang disiarkan di televisi. Ibu Mien Uno adalah tokoh yag memang menjadi pemandu resmi bersama ustadz-ustadz ternama lainnya melayani jamaah haji. “Saya dilahirkan dari keluarga guru. Ibu saya, paman saya, kebanyakan keluarga saya adalah pengajar. Jadilah saya generasi pertama dari keluarga Uno yang menjadi pengusaha. Itupun karena terpaksa oleh keadaan ”, begitulah kalimat pertama yang dia sampaikan. Dari kalimat itu Sandiaga Uno seperti hendak mejelaskan, saat ini masih berkembang mitos di masyarakat, bahwa pengusaha hebat, adalah bakat dan lahir dari lingkungan pengusaha besar. Mito situ sudah terbukti tidak benar. Bahwa seseorang yang hidup di lingkungan keluarga pengusaha ,bisa belajar lebih cepat menjadi pengusaha, mungkin benar. Sebab, sehari-hari sudah terbiasa dengan habit pengusaha. Bekerja keras, fokus dan fokus. Soal fokus ini, senior saya pak Dahlan Iskan (Dirut PLN) sering mengatakan, “kalian jangan murtad”, alias merambah ke berbagai bidang usaha, sebelum memiliki fundamental yang kuat di bisnis utama. Sebelum memulai bisnis 12 tahun lalu, Sandiaga Uno adalah seorang professional muda, berpendidikan bagus dan bekerja di perusahaan besar dengan gaji dan fasilitas yang cukup baik. Ketika dia lulus kuliah di Amerika, Sandi bekerja di lembaga keuangan besar. “Saat itu saya sudah merencanakan keuangan pribadi. Tidak semua gaji dihabiskan, melainkan diinvestasikan. Krisis ekonomi tahun 1997 membuat semuanya berantakan. Perusahaan bangkrut, saya di PHK, dan semua investasi saya lenyap”, katanya. Memang, bukan hanya seorang Sandiaga Uno saja yang mengalami situasi seperti itu. Jutaan orang diseluruh dunia juga mengalami penderitaan akibat kebangkrutan ekonomi. Bedanya, kebanyakan orang hanya bisa mengeluh, dan tidak berdaya. Sedangkan Sandiaga Uno memilih langkah lain yang sangat berdaya, sebagai bentuk rasa syukurnya kepada Allah, Tuhan yang Maha Kuasa. Ada tiga kunci sukses yang disebutkan Sandiaga Uno dan dijalankan sampai hari ini. Pertama adalah Yakin bahwa Tuhan akan membuka jalan untuk pencapaian usahanya, kedua adalah bersyukur, dan ketiga adalah ikhlas. Dalam artikel pertama ini, saya akan khusus mengulas tentang bagaimana Sandiaga Uno belajar bersyukur, dan bagaimana caranya mewujudkan rasa syukur. Bukan sekedar berucap alhamdulilah tetapi dalam langkah sehari-hari menjadi manusia berdaya. Akibat kebangkrutan , Sandiaga Uno memboyong anak dan istrinya pulang ke Indonesia. Inilah saat pertama dia meminta bantuan kepada orang tuanya. Selama 12 tahun sekolah di Amerika dia tidak pernah minta bantuan keluarga. Sandiaga Uno sangat mandiri. “Saya harus minta ijin kepada ayah dan ibu untuk tinggal di rumah mereka. Saat itu saya tidak punya rumah”, katanya sambil menerawang. Menurut Sandi, dia bersama istrinya terus mewujudkan rasa syukurnya dengan cara memgoptimalkan fungsi-fungsi dari segala yang sudah dikaruniakan Tuhan. Pendidikan tinggi, pengetahuan tentang keuangan yang baik, jaringan internasional yang dimiliki, dan yang sangat penting adalah karakter serta integritasnya, menjadi modal utama sebelum modal finansial. Modal non finansial inilah yang dimaksimalkan, menjadi modal untuk berdaya, sebagai bentuk rasa syukur. Kebangkrutan telah membuat Sandiaga Uno mencari ide-ide besar. Ide-ide dan gagasan besar itu dipadukan dengan networking, dan trust. Dan lahirlah perusahaan yang bernama Saratoga. Di Indonesia Sandiaga Uno memulai membangun bisnis, membangun PT Saratoga, dengan empat orang karyawan. Dia menyewa sebuah ruang kecil yang lantainya berkarpet lusuh.“ Saat itu saya tidak pernah berani mengundang klien ke kantor. Semua pertemuan dilakukan di lobi hotel. “, kenangnya. Saat ini Group bisnis yang dimiliki Sandiaga Uno mempekerjakan lebih dari 20 ribu orang, tersebar di sector pertambangan, energy, telekomunikasi, property dan sector keuangan. (bersambung) http://ekonomi.kompasiana.com/2010/06/11/belajar-dari-sandiaga-uno-bagian-pertama/ Belajar Dari Sandiaga Uno (Bagian Kedua) Keyakinan adalah Energy Artikel pertama tentang Sandiaga Uno kemarin saya tulis dengan penuh semangat dan ketergesaan menjelang pergi shalat Jumat. Akibat ketergesaan itu saya lupa tidak menuliskan bahwa diskusi bersama Sandiaga Uno adalah salah satu acara bulanan teman-teman Ikatan Konsultan Indonesia (INKINDO) DKI Jakarta, yang dipimpin mas Erie Heryadi. Banyak hal didiskusikan dalam forum ini, termasuk bagaimana mengatasi krisis, serta soal kepemimpinan yang efektif. Mengenai kedua hal ini saya akan menuliskan di edisi berikutnya. Bahwa Sandiaga Uno saat ini menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia, mungkin semua orang sudah tahu. Apalagi posisinya di organisasi, pernah memimpin Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), dan saat ini menjabat Wakil Ketua Umum KADIN bidang usaha kecil menengah dan koperasi (UKM). Tetapi tahukah anda, bahwa seorang yang sukses seperti Sandiaga Uno juga kadang-kadang kehilangan semangat berjuang? Bagaimana caranya Sandi Uno kembali ke memulihkan semangatnya, dan fokus membangun perjuangan mewujudkan impian? Bagaimana caranya menghadapi kenyataan di lapangan yang sering tidak sesuai dengan keinginan dan bisa menggoyahkan keyakinan? Artikel ini adalah bagian terpenting dari penjelasan Sandiaga Uno mengenai salah satu kunci sukses, yaitu Yakin. Dalam artikel kemarin saya sudah menuliskan bagaimana Sandiaga Uno mewujudkan rasa syukur kepada Allah subhanahu wata’ala, Tuhan Yang Maha Berkuasa, sebagai salah satu kunci sukses lainnya. Dan besok giliran artikel mengenai ikhlas. Menurut Sandiaga Uno, keyakinan yang sangat kuat bahwa Tuhan pasti akan membukakan jalan bagi upaya pencapaian tujuan, pencapaian usahanya, adalah sesuatu yang mutlak harus dimiliki seseorang yang ingin sukses. Diawal-awal menjalankan bisnis, dia juga sering merasa hampir menyerah. Tetapi Istrinya Noor Aisyah, menjadi alarm yang sangat efektif dan selalu mengingatkan agar tetap yakin bisa. “Istri saya terus mengingatkan agar fokus dan tetap yakin. Keyakinan kuat inilah yang menjadi kekuatan perjuangan. Keyakinan kita sebagai pemimpin menjadi energy besar bagi organisasi dan tim”, katanya. PT Saratoga yang dibangun Sandiaga Uno pada awalnya hanya bergerak di bidang konsultan keuangan. Ketika itu banyak perusahaan mengalami kesulitan. Sandiaga Uno mencoba menawarkan jasa kepada banyak perusahaan untuk melakukan restrukturisasi keuangan dan negosiasi penjadwalan hutang kepada bank. Tentu banyak yang menolak dibandingkan yang mau menggunakan jasanya. Memang akhirnya ada juga perusahaan klien Saratoga yang mau memakai jasa Sandiaga Uno. Tetapi perusahaan-perusahaan itu tidak mampu membayar jasanya. Ada juga yang sebenarnya mampu membayar, tetapi tidak mau membayar dengan uang, melainkan dengan saham. “Karena saya yakin mampu membenahi perusahaan-perusahaan klien saya itu, saya terima saja tawaran mereka. Saya tidak dibayar, tetapi diberi saham. Jadi saya menjadi investor seperti sekarang ini terbawa oleh keadaan. Bukan mau saya.”, katanya sambil tertawa. Sandiaga mencontohkan, ketika dia menangani sebuah perusahaan tambang batubara, perusahaan tersebut memang sedang mengalami kesulitan. Harga batubara ketika itu hanya 15 dollar. Dia yakin bahwa dalam beberapa tahun hrga batubara akan melonjak tinggi akibat kenaikan harga minyak. “Dan keyakinan itu terbukti, dalam beberapa tahun saja, harga batubara sudah naik menjadi 80 dollar. Nilai saham saya di perusahaan batubara itu melonjak berlipat-lipat”,katanya. “Bayangkan, seandainya di masa perjuangan itu saya ngotot dan hanya menerima pekerjaan kalau dibayar dengan uang? Mungkin saya masih tetap sebagai konsultan keuangan saja. Keyakinan kuat , telah menuntun saya menjadi investor seperti sekarang ini. Intinya manusia itu ketika kepepet, muncul kreativitas dan kekuatannya akan berlipat”, tambahnya. Kata-kata yakin bisa, yakin sukses, yakin maju dan sebagainya memang akrab di telinga kita sebagai bentuk motivasi. Tetapi jika teman-teman mencermati, sejak artikel edisi pertama kemarin, Sandiaga Uno selalu mengatakan Yakin bahwa Tuhan akan membukakan jalan bagi pencapaian. Menurut saya, Sandiaga Uno sengaja seperti hendak menjelaskan bahwa , banyak diantara kita terjebak dengan sikap “mengandalkan diri sendiri” dan lupa bahwa Tuhan adalah Maha Kuat. Menurut saya, Pemahaman Sandiaga Uno tentang ke Tuhanan sangat mendalam. Sandiaga Uno sudah melibatkan Tuhan sejak awal, ketika niat perjuangan ditancapkan. Sandiaga Uno tidak menyerahkan atau tawakkal ketika di akhir usaha. Tampaknya sikap inilah yang menjadikan keyakinannya menjadi energy besar bagi lingkungannya. Hal lain yang saya catat secara khusus adalah, kalimat yang menyebutkan bahwa istrinya, Noor Aisyah, selalu mengingatkan, menjadi alarm yang baik, ketika Sandiaga Uno sedang di luar jalur menuju target pencapaian. Tidak banyak laki-laki sukses yang mengakui secara terbuka tentang peran istri. Bagaimana dengan anda? (bersambung) http://ekonomi.kompasiana.com/2010/06/12/belajar-dari-sandiaga-uno-bagian-kedua/ Belajar dari Sandiaga Uno (Bagian Ketiga) Tugas Kita Hanya Berjuang, Ikhlaskan Hasilnya Dua kunci sukses Sandiaga Uno, yaitu yakin dan syukur sudah saya tulis di artikel bagian pertama dan kedua. Kali ini saya akan menuliskan tentang kunci sukses yang ketiga, yaitu Ikhlas. Ini adalah hal yang tidak sederhana, karena menyangkut urusan qolbu. Ini adalah soal bagaimana Sandi Uno mengelola perasaan dan hati. Sebab, ikhlas adalah satu kata yang mudah diucapkan, tetapi sangat sulit dijalankan. Sejujurnya saya sangat terpana ketika mendengarkan Sandiaga Uno menyampaikan pemikirannya dalam diskusi di Wisma Antara, Kamis lalu. Kalimat-kalimatnya mengalir dengan bahasa yang sagat baik, bahkan ketika mengomentari persaingan antar kandidat Ketua KADIN, yang kini mulai terasa keras. Sandiaga Uno adalah salah satu kandidat Ketua KADIN yang sangat favorit bersaing dengan beberapa tokoh pengusaha senior. “Segalanya berawal dari nawaitu kita mas. Niat akan berpengaruh pada sikap”, katanya tenang. Saat menulis artikel ini saya mencoba mencari tahu apa yang menjadikan Sandiaga Uno seperti ini. Pikiran saya menerawang jauh , dan teringat wajah Profesor Arief Rachman dan Ibu Mien Uno. Keduanya sering menjadi narasumber saya ketika masih menjadi wartawan sekitar 15 tahun lalu. Saya berkesimpulan bahwa keluarga besar Uno telah membentuk karakter Sandi sedemikian rupa. Integritas, kejujuran dan menghormati orang lain, toleran dan peka terhadap lingkungannya. Tentu kita semua tahu bagaimana kredibilitas pak Arief Rachman dalam dunia pendidikan nasional. Sedangkan Ibu Mien Uno dikenal sebagai tokoh yang merintis lembaga pendidikan kepribadian. Kembali kepada ikhlas, kunci sukses yang ketiga. Karena sejak awal sudah melibatkan Tuhan dalam berjuang, dan bekerja dengan serius sebagai bentuk rasa syukur, maka seringkali Sandiaga Uno tidak terlalu memikirkan apakah upayanya berhasil atau belum. Dia terkesan sangat santai dalam menghadapi persaingan. Saya masih ingat ketika group bisnis Saratoga milik Sandiaga Uno bersaing dengan group pebisnis lain untuk membeli saham PT. Elnusa. Berikut ini petikan kalimat Sandiaga Uno kepada wartawan soal kekalahan Saratoga dalam persaingan itu: “Ya, ini kegagalan kita di awal tahun 2010, padahal sudah dipelototi 6 bulan loh. Kita sebenarnya sudah siapkan US$ 150 juta. Kita masih tertarik dengan sektor tersebut. Jasa migas itu, karena Indonesia mempunyai historis menjadi negara dengan cadangan migas terbesar di Asia Tenggara, tapi kita tidak punya perusahaan kelas dunia di bidang jasa migas. Istilahnya tukang ledengnya nggak ada, seperti PGN hanya sebagai penyedia infrastruktur, seharusnya kita punya perusahaan jasa migas yang kuat. Elnusa punya peluang itu, dengan adanya sumber dana yang kuat, visi misi dan dukungan manajemen. Tapi ya sudah lah sudah lewat dan kita pasrah, mudah-mudahan pembeli baru bisa mewujudkan Elnusa menjadi perusahaan kelas dunia”. Kalimat diatas menggambarkan dengan jelas bagaimana kemampuan Sandiaga Uno mengendalikan nafsu. Mengelola perasaan dan hati. Bahkan dia tetap mendoakan agar rivalnya dalam memperebutkan saham PT Elnusa bisa membawa perusahaan itu menjadi kelas dunia. Ini adalah karakter seorang pemimpin yang berjiwa besar. Menurut Sandiaga Uno, dalam persaingan, selalu ada pemenang dan ada yang kalah. Itulah dunia. “Tugas kita hanya berjuang dengan sebaik-baiknya. Kalaupun belum memenangkan persaingan, ya ikhlas saja. Biarkan semuanya mengalir. Inilah yang membuat Saratoga seperti sekarang”, tambahnya. Kalimat-kalimat bijak ini lazimnya diucapkan oleh para kyai yang mendalami ilmu tasawuf. Namun Sandiaga Uno telah menjalankan ini dengan baik dalam kehidupan sehar-hari, dan dalam menjalankan bisnis. Masih banyak lagi cara Sandiaga Uno menjelaskan pemahaman tentang kata ikhlas. Sayangnya saya harus buru-buru mengantar anak-anak saya ke took buku. Nanti malam saya akan sempatkan menilis lanjutannya di bagian keempat. Semoga bermanfaat. http://ekonomi.kompasiana.com/2010/06/13/belajar-dari-sandiaga-uno-bagian-ketiga/ Belajar dari Sandiaga Uno (Bagian Keempat) Ikhtiar Itu Lebih Utama dari Hasilnya Saya masih ingat ekspresi wajah Sandiaga Uno ketika mengatakan ” semua tergantung nawaitunya mas”. Kalimat pendek itu mengganggu pikiran saya pagi ini. “Gangguan” inilah yang membuat saya harus secepatnya menghidupkan komputer dan menulis artikel in. Tulisan ini sekaligus memenuhi janji saya kemarin untuk menyelesaikan artikel tentang ikhlas versi Sandiaga Uno. Gangguan ini juga telah membawa pikirian saya ke masa kecil saya di sebuah desa, di Madiun Jawa Timur. Ketika masih tinggal di desa, saya sering ikut mendengarkan ayah mengajar kitab tasawuf di pondok. Yang masih teringat dari peristiwa 40 tahun lalu itu, adalah soal yang berkaitan dengan ikhlas. Ketika itu saya sama sekali tidak paham maksudnya. Tetapi hafal di luar kepala, karena sering dijadikan nyanyian dengan bait-bait pendek oleh para santri. Salah satu santri yang sering menghafalkan bait itu adalah pak Dahlan Iskan (sekarang Dirut PLN). Kalau tidak salah, ini adalah cuplikan dari kitab tasawuf karya Syeikh Ibnu Atha’illah Assyakandary, ulama terkenal, gurunya para guru sufi. (kalau ada yang salah mohon diralat, maklum sudah lama tidak membuka kitab kuning hahahaha) Sabar itu lebih utama dari terhindar cobaan Ikhtiar itu lebih utama dari hasilnya Istiqomah/konsisten itu lebih utama dari karomah (kemuliaan) Apa hubungannya bait-bait diatas dengan Sandi Uno? Seperti rtikel edisi sebelumya, saya menganggap tokoh Sandiaga Uno berbeda dengan banyak pengusaha lain yang saya kenal. Dalam usianya yang masih sangat muda, dia memiliki kematangan jiwa. Salah satu kunci sukses Sandiaga Uno seperti yang saya tulis di edisi sebelumnya adalah ikhlas. Entah Sandiaga Uno tahu apa tidak, apakah pernah membaca kitab-kitab tasawuf apa tidak, yang saya pahami, dia telah menjalankan salah satu dari bait diatas. Ikhtiar Itu Lebih Utama dari Hasilnya. Prinsip inilah yang membuat dia bekerja tanpa beban.Sandi telah menjalankan prinsip keikhlasan. Apakah saya terlalu memuji Sandiaga Uno dalam artikel ini?. Saya akui, ya. Saya memuji. Sebab memang banyak sisi positif yang layak dipuji. Selain hal-hal yang pernah saya tulis di edisi sebelumnya, ada satu hal lagi yang sebaiknya diketahui oleh masyarakat, yaitu tetap bekerja keras meskipun sudah sukses. “Saya masih seperti masa perjuangan dulu. Saya tetap bekerja selayaknya masih sebagai professional yang digaji. Saya datang ke kantor sering lebih awal dari teman-teman lain. Etos kerja tetap tinggi. Saya juga tidak suka ganti-ganti mobil baru, meski saya mampu membeli kapan saja”, katanya serius. Menurut saya, ini adalah mentalitas. Betapa banyak kita sudah menyaksikan orang-orang yang gaya hidupnya berubah drastis, ketika bisnisnya mulai sedikit berkembang. Dan terlalu sering kita juga menyaksikan perusahaan kollaps hanya karena pemimpinnya tidak mampu mengendalikan diri, tidak mampu mengendalikan nafsunya. Semoga apa yang dapat saya serap dari diskusi dengan Sandiaga Uno ini bermanfaat untuk banyak orang. Tentu saja, manusia ya tetap manusia. Manusia, tempatnya salah dan lupa. http://ekonomi.kompasiana.com/2010/06/14/belajar-dari-sandiaga-uno-bagian-keempat/ [Non-text portions of this message have been removed]