tidak boleh dalam satu masjid ada 2 jamaah berbarengan..
soal jumlah bilangan rakaat..sudah usang untuk diperdebatkan..
11 rakaat atau 23 rakaat itu baik. yang nambah tambah pahala ndak nambah gak 
apa-apa..
yg kurang baik yg tidak solat..

--- On Thu, 8/19/10, qismee2001 <qismee2...@yahoo.com> wrote:


From: qismee2001 <qismee2...@yahoo.com>
Subject: [keluarga-sejahtera] Satu Masjid, Dua Jamaah
To: keluarga-sejahtera@yahoogroups.com
Date: Thursday, August 19, 2010, 10:20 AM


  




Satu Masjid, Dua Jamaah
By Nurlis Effendi 

Berbeda pandangan boleh saja, kerukunan adalah yang utama. Semangat seperti ini 
tercermin di Masjid Agung Surakarta, Solo, Jawa Tengah. Masjid yang berdiri 
bersamaan dengan Keraton Kasunanan Surakarta ini sangat menjunjung tinggi nilai 
pluralisme. Bisa dilihat dalam pelaksanaan shalat tarawih.

Dibawah atap masjid itu terdapat dua jamaah, masing-masing menjalankan shalat 
tarawih 11 rakaat dan 23 rakaat. Alhasil di dalam masjid itu ada dua imam untuk 
dua jamaah ini.

Keunikan ini bisa dilihat di setiap jamaah menunaikan salat tarawih di bulan 
ramadan. Sebetulnya saat salat isya, jamaah masih bersatu shalat di ruang utama 
masjid dipimpin oleh seorang imam. Mereka berbaris rapi di dalam shaf. Ada yang 
menggunakan celana panjang, dan ada pula yang sarungan. Di barisan paling 
belakang jamaah perempuan.

Usai salat empat rakaat, sebagian jamaah melaksanakan salat sunat ba'diyah 
isya. Namun, ada juga serombongan jamaah yang bersarung bergegas meninggalkan 
ruang utama masjid, mereka pindah ke sebelah utara ruang utama.

Setelah jumlah jamaah terlihat cukup, maka pintu penghubung antara ruang utama 
masjid, peninggalan Pakubuwono IV, ini dengan ruang sebelah pun ditutup rapat. 
Samar-samar terdengar suara imam yang hendak memulai shalat tarawihnya. Jamaah 
23 rakaat lebih dulu melakukan shalat tarawih.

Pemandangan berbeda terlihat di ruang utama masjid. Para jamaahnya sedang 
khusyuk mendengarkan tausiyah dari ustadz. Sebab, sebelum menunaikan salat 
tarawih terlebih dahulu diisi kultum. Setelah sekitar tujuh menit hingga 
sepuluh menit, tausiyah selesai. Dan selanjutnya dilakukan shalat tarawih.

"Mereka melaksanakan shalat isya secara berjamaah dengan satu imam. Namun, 
ketika shalat isya selesai, para jamaah mulai memisahkan diri untuk 
melaksanakan shalat tarawih dengan imam dan jamaahnya masing-masing," kata 
Ketua II Takmir Masjid Agung Surakarta Slamet Aby.

Untuk saling menghormati dan tidak mengganggu shalat tarawih masing-masing 
jamaah, pihak takmir masjid mengatur besar kecilnya suara pengeras kedua imam 
tersebut. Ini dilakukan agar suara pengeras suara itu tidak saling mengganggu 
antara yang jamaah satu dengan yang lainnya.

Sejak awal berdirinya masjid ini, setiap shalat tarawih pada bulan Ramadhan 
jumlah rakaatnya mencapai 23 rakaat. Namun, sekitar 1980-an, kebijakan 
memisahkan ruangan itu pun muncul. Sebab, setiap kali shalat tarawih pada 
hitungan 8 rakaat, sejumlah jamaah meninggalkan masjid dan melanjutkan dengan 
shalat witir di rumah.

Lantas, atas dasar pemikiran KH Muthohar Al Hafidz yang merupakan pengasuh 
Pondok Pesantren Ta'fid Wattaqlimil Qur'an yang satu komplek dengan Masjid 
Agung, pada 1983, jamaah shalat tarawih pun mulai dipisahkan antara yang 11 
rakaat dengan 23 rakaat.

Selanjutnya yang 11 rakaat menempati ruang utama masjid karena jumlah jamaahnya 
lebih banyak. Sedangkan yang jamaah shalat tarawih 23 rakaat menempati ruangan 
sebelah utara masjid yang dari segi ukuran ruangan lebih kecil

Pada saat musyarawarah untuk memisahkan ruangan ini, Aby mengungkapkan, tidak 
muncul pertentangan ataupun percekcokan dari salah satu kubu jamaah. Karena 
mereka semua menyadari bahwa dalam bulan suci Ramadan harus menjunjung 
persaudaraan dan kerukunan.

"Kondisi seperti ini malah menunjukkan kalau di masjid ini ada semacam 
kemajemukan yang menjunjung ukhuwah Islamiyah di kalangan umat muslim. Jadi, 
bagi kami tidak masalah, yang penting rukun," kata Aby.

Dan kerukunan ini kembali terlihat pada saat melaksanakan tadarus Alquran 
selepas salat tarawih. Semua jamaah dari `kedua aliran' kembali berkumpul 
menjadi satu di serambi masjid. Rasa persaudaraan terlihat ketika para jamaah 
11 rakaat menunggu dengan sabar rampungnya shalat tarawih di ruang seberang 
sebelum memulai tadarus.

Perbedaan ini juga tidak menjadi masalah bagi para imam di Masjid Agung yang 
telah berdiri sejak 1745 M ini. Seperti diakui salah satu imam, Muhtarom, 
perbedaan jumlah rakaat dalam melaksanakan shalat tarawih ini sudah terjadi 
sejak zaman sahabat Nabi Muhammad SAW.

Bahkan, ia beranggapan jika perbedaan jumlah rakaat shalat tarawih yang ada di 
Masjid Agung ini merupakan sebuah rahmat Allah yang patut disyukuri. Sebab, 
dari sinilah tercipta semangat pluralisme yang cukup indah.

"Meskipun saya sering menjadi imam salat tarawih 23 rakaat. Tapi, pekan depan 
saya juga mendapat jatah menjadi imam salat tarawih 11 rakaat. Saya sih tak 
masalah. Ini kan cuma masalah teknis salat sunat saja. Kalau yang berbeda itu 
jumlah rakaat pada shalat fardhu, itu jelas tak bisa diterima."

http://id.promotion.yahoo.com/ramadan/article?blogid=ramadan&postid=24&viewPost=1










[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke