Suber dari yahoogroups sebelah: Taufiq M sigl...@yahoo.com

Apakah Kita Benar-Benar Aman?
Thursday, 23 July 2009

HANYA beberapa jam sebelum bom meledak, saya masih menikmati makan malam
bersama ahli hukum terkenal Mas Ahmad Santosa di Kafe Airlangga Hotel
Ritz Carlton.

Kafe Airlangga menjadi terkenal karena banyak korban yang meninggal
dunia akibat bom bunuh diri beberapa saat kemudian. Saya juga sempat
memberikan seminar tentang cara menghadapi krisis ekonomi di ballroom
hotel tersebut yang dihadiri nasabahnasabah penting HSBC.

Saya yakin tak seorang pun di antara tamutamu penting di hotel mewah itu
mempunyai firasat bahwa sesuatu yang luar biasa akan terjadi di sana.
Keramahan para pelayan restoran, pelayanan yang baik, interior hotel
yang cozy, serta ketatnya pengamanan di pintupintu masuk membuat kita
semua merasa aman dan nyaman.Namun begitu bom meledak,persepsi kita
terhadap rasa aman pun berubah.

"Hukuman" Ringan Membutakan

Tidak seperti di masa-masa lalu, "hukuman" yang diberikan para pelaku
usaha dan pelancong terhadap perekonomian Indonesia kali ini tampaknya
relatif ringan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hanya terkejut
sejenak, tingkat hunian hotel dan nilai transaksi belanja hanya turun
beberapa hari, demikian pula dengan indikator-indikator ekonomi lain.

Kenyataan ini berbeda dengan fakta-fakta di masa lalu saat Jakarta atau
Bali diganggu teroris. Semua indeks segera melorot tajam. Di satu pihak
kita merasa lega, tetapi di lain pihak, hal ini bisa membutakan mata
kita terhadap tuntutan keamanan. Padahal, di luar sana, pelakupelaku
kejahatan terus meningkatkan keahliannya dengan cara-cara baru dalam
merampas nyawa dan mempermalukan lawan-lawannya. Bila sebelumnya bom
bunuh diri diledakkan dari mobil, mungkin sekarang dilakukan dengan
merakit di dalam atau "menanam" orang di dalam.

Demikian pula dengan teknologi, pembentukan jaringan, penggalangan dana,
pemilihan sasaran,dan sebagainya. Semakin dibatasi ruang lingkupnya,
semakin sulit bergerak, penjahat- penjahat yang cerdik juga akan menjadi
lebih pintar. "Hukuman ringan" yang dirasakan perekonomian yang juga
begitu singkat ini tentu ada bahayanya bagi kita semua. Apalagi bila
Andamengetahui alertnessmasyarakat kita terhadap bahaya sangat rendah.
Kita membangun banyak gedung tinggi, tetapi sedikit sekali menyediakan
peralatan pemadam kebakaran yang dapat menjangkau gedung-gedung tinggi
itu.

Penempatan fasilitas-fasilitas keamanan pun sangat jauh dari titik
sasaran sehingga petugas-petugas yang dibutuhkan selalu datang
terlambat. Misalnya, tak seorang pun mempermasalahkan mengapa kita tidak
berhasil menyelamatkan nyawa Timothy McKay, CEO Holcim Indonesia? Kita
saksikan di televisi, Tim yang terluka parah diangkat sejumlah orang ke
tepi jalan, lalu ditaruh begitu saja di trotoar. Di mana ambulans dan
P3K?

Mengapa Ia terlalu lama untuk segera diselamatkan dan dibawa ke rumah
sakit? Tim meninggal karena penanganan keselamatan yang lamban. Kita
perlu tahu berapa lama sejak bom meledak, polisi dan ambulans mampu tiba
di tempat? Mengapa kita tidak pernah memikirkan pentingnya penyelamatan
dengan menaruh aparat-aparat petugas pelayan masyarakat itu sedekat
mungkin dengan masyarakat?

Kita juga sering berpurapura tidak mengetahui bahwa Jakarta telah
menjadi lebih padat dan lebih macet sehingga perlu upayaupaya khusus
untuk menangani bencana dan menembus kemacetan. Belum lagi perilaku para
pengemudi yang senang menonton kecelakaan di jalan sehingga melambatkan
arus lalu lintas saat terjadi kecelakaan dan tidak adanya respek
pengemudi terhadap mobil bersirene. Kalau Anda pernah mengunjungi kota
industri dan perdagangan terkenal di Shanghai, China, barangkali Anda
akan merasa kesal dengan perilaku masyarakatnya yang
selfish,kompetitif, agresif,dan padat sekali.

Di mana-mana padat, berebutan, saling menyikut dan sungguh tidak
menghargai orang lain.Tidak ada service excellence. Namun ada satu hal
yang membuat pelancong dan pembeli tidak pernah kapok untuk datang dan
datang lagi, untuk memborong barang-barang buatan China yang relatif
murah itu. Benar! Itulah keamanan. Setiap kali keributan, dalam
sekejap,banyak polisi yang tiba di tempat dan mengambil tindakan.

Di negara-negara yang memberi perhatian pada keamanan, petugas tidak
pernah datang terlambat. Mereka datang lebih cepat sebelum maut
menjemput, memadamkan api sebelum ia menghanguskan gedung. Namun hal
sebaliknya terjadi di negaranegara yang perhatiannya terhadap
keamanannya rendah.Rasa aman atau tidak segera tercium begitu seseorang
menginjakkan kakinya di bandara suatu kota.

"Alertness" Rendah

Gubernur DKI mengatakan Jakarta tetap aman dengan tingkat yang kurang
lebih sama seperti London dan New York.Keduanya adalah kota besar yang
sering menerima ancaman bom dan tentu saja tingkat kriminalitasnya
tinggi. Kalau Anda tiba di New York, Anda harus waspada dan harus tahu
persis Anda berada di mana.

Kantong-kantong bahaya ada di sejumlah titik.Namun yang membedakan New
York, London, dan kita adalah lemahnya kesadaran menjaga keamanan di
sini. Saya masih ingat betul beberapa kali gunting logam yang saya bawa
lolos dari amatan petugas pemeriksa bandara internasional
Soekarno-Hatta, tetapi tidak lolos di negara transit. Sudah jelas
gunting adalah benda tajam yang tidak boleh dibawa ke dalam kabin
pesawat. Namun karena terburuburu, orang di rumah--atau saya
sendiri--sering terlupa dan salah memasukkannya.

Saya pun tidak ingat lagi dan kadang merasa yakin tas kabin bawaan saya
telah aman dari barang terlarang. Kejadian itu bukan hanya sekali,
tetapi ada dua-tiga kali.Sekali gunting kuku kecil Swiss Army disita
petugas di Bandara Changi, sekali gunting besar ditemukan petugas
bandara di Sidney, dan sekali lagi di Bandara Dubai. Saya tentu
menyesali sekali gunting yang saya perlukan itu disita petugas,tetapi
saya lebih malu lagi karena datang dari sebuah negara yang tidak peduli
terhadap keamanan. Bayangkan, betapa mudahnya mengecoh keamanan di
Indonesia?

Apakah artinya teknologi tinggi kalau manusia-manusia yang bekerja
menjaganya kurang peduli, masa bodoh, dan menganggap enteng hal-hal
berbahaya seperti ini? Tidak tahukah mereka kesadaran yang lemah ini
membuat hidup kita fragile (rentan) terhadap bahaya dan perbuatan-
perbuatan teror? Seorang teman pernah kehilangan hand phone-nya di muka
ruang sebuah seminar di sebuah hotel berbintang di Surabaya. Kejadiannya
begitu singkat sehingga ia segera melapor.

Di luar dugaan, petugas berpura-pura bodoh. Bahkan saat diminta membuka
rekaman CCTV yang kameranya tak jauh dari TKP, ia dipersulit
habis-habisan. Perlu izin khususlah, di sini amanlah, tidak ada dalam
rekaman,pura- pura tidak penting, dan sebagainya. Baru setelah beberapa
jam kemudian, setelah acara bubar dan manajemen hotel kami tekan dengan
nada tinggi, rekaman baru boleh dibuka. Tampak jelas seseorang telah
mengambil hand phone itu, tetapi petugas keamanan berkali-kali
mengatakan sudah membuka dan tak menemukan apa-apa.

Semua fakta tak berguna lagi karena ruangan telah kosong,acara sudah
bubar, dan CCTV tidak bisa merekam dari jarak dekat sehingga wajah
pencuri menjadi kabur. Hal yang sama juga saya lihat dalam rekaman yang
disajikan televisi saat orang yang diduga sebagai teroris memasuki lobi
hotel. Terlihat jelas tas tamu diperiksa seadanya. Bahkan saat seseorang
memakai topi pet dan memakai ransel berjalan tergopoh-gopoh mendekati
restoran, ia bisa lolos begitu saja menuju restoran. Kita semua tahu,
itu adalah ancaman dan berpotensi bahaya.

Namun apakah kita cukup terlatih untuk bertindak dan mencegahnya? Terus
terang saya meragukannya. Kecuali bapak-bapak polisi turun tangan,
melatih warga negara dan petugas-petugas keamanannya dengan penuh
kesungguhan. Kita perlu lebih rewel, lebih galak, lebih serius, dan rela
turun ke bawah membenahi kembali tata nilai, yaitu nilai-nilai
kesungguhan dalam bekerja.

Nilainilai tanggung jawab dan peduli terhadap nyawa orang lain.Tanpa
itu, teknologi tak ada gunanya dan nyawa terlalu murah harganya di
negeri ini. Saya menyesali dan berduka, tapi rasa duka tak cukup
memecahkan masalah bila kita mendiamkannya. (*)

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke