To: liemsiok...@yahoo.com
Subject: Kecurangan Pemilu Sistemik - MK Tidak Peduli
From: fafaj...@gmail.com
 
KECURANGAN PEMILU SISTEMIK
Wawancara Eksklusif dengan Justiani
Oleh: Arif Wijaya, Komandan ION (Ikatan Orang Netral)


AW: Anda bikin heboh saja di MK. Apa yang sebenarnya ingin anda sampaikan 
sebagai saksi ahli bidang sistem IT?


JS: Tugas saya adalah memberi contoh sistem IT pemilu dari negara tetangga yang 
sudah terbukti sukses dan itu bukan perkara sulit. Lalu, membandingkan dengan 
rancangan amburadul sistem IT KPU yang menyebabkan mulai dari DPT bermasalah, 
titik rawan manipulasi hingga penghitungan suara yang tidak bisa dijamin 
kebenarannya. 


AW: Titik-titik rawan seperti apa?


JS: Sistem IT harusnya terintegrasi dari awal hingga akhir. Mulai dari SENSUS 
PEMILIH harus berbasis IT sampai dengan pra pelaksanaan (persiapan logistik), 
pelaksanaan, pemantauan dan penghitungan langsung dari TPS harus realtime. Ini 
semua KPU tidak melakukannya, padahal anggarannya trilyunan. Akibatnya:


Tidak aneh kalau ada 25 juta rakyat tidak masuk DPT, ganda, tidak dikenal, 
sehingga jumlah golput tinggi. 

Daftar DPT yang tidak sesuai dengan realitas penduduk seperti bayi, orang mati, 
banyak dobel, alamat tidak lengkap, jumlah lebih banyak dari jumlah penduduk di 
wilayah tersebut, dll. Ini untuk dicontreng oleh petugas penguasa.. Keputusan 
pakai KTP tapi dengan KK dll yang sama saja bohong. 

DPT ditemukan 30% berisi daftar penerima BLT atau RASKIN yang telah dipesan 
untuk mencontreng partai tertentu.

Banyak TPS fiktif (plus DPT fiktif) yang kertas suaranya dicontrengi sendiri 
oleh petugas penguasa.

Pelaksanaan PILEG dipilih tanggal 9 April 2009 yang diikuti dengan hari libur 
berturut-turut. Maka kotak suara menginap di kelurahan. Ini jelas rawan 
penukaran tanpa ada kontrol. Banyak temuan keterlibatan aparat pemerintah di 
tingkat desa (tidak mungkin tanpa instruksi) 

Karena pelaksanaan PILEG rata-rata ditutup pada siang hari (dibatasi waktu), 
sehingga banyak jumlah yang golput, dengan tujuan dicontreng sendiri oleh 
petugas.

Jual beli suara juga amat mudah dilakukan sebelum data entry ke komputer. 
Apalagi kotak suara tidak akan dibuka kalau tidak ada gugatan. 

Mencoblos diganti dengan Mencontreng karena CONTRENGAN dengan TINTA tertentu 
bisa hilang atau yang tadinya tidak kelihatan bisa muncul kena suhu tertentu, 
sehingga DICONTRENG apapun, tidak akan mempengaruhi hasil penghitungan suara 
yang sudah ditentukan sebelumnya melalui rekayasa tinta tersebut. Jadi pasti 
menang.

Adanya serangan fajar ”money politics” (bagi-bagi uang) atas nama BLT, Raskin, 
PNPM, Bansos, Askeskin, Jamkesmas, BOS, dll. telah merusak dan memanfaatkan 
kejujuran dan loyalitas rakyat untuk tujuan kepentingan sesaat. Seharusnya bisa 
dimonitor oleh sistem IT yang terintegrasi untuk diakses Bawaslu dan Panwaslu.




AW: Apa yang anda lihat dari sistem IT KPU?


JS: Perhatikan saja dari performansi yang bisa dilihat dengan kasad mata, belum 
lagi perlu mengaudit perangkat lunaknya (softwarenya), kita dapatkan sbb:


Penghitungan suara 110 juta dalam waktu 1 bulan, dimana setiap hari kenaikan 1 
juta kemudian di hari terkahir langsung melonjak.

Sistem komputerisasi masih amat primitif, yaitu hanya digunakan untuk mengentry 
data dari rekapitulasi dari tingkat Kecamatan, yang mudah terjadi kesalahan. Di 
negara lain sudah menggunakan sistem online ”real time” sehingga hasil 
penghitungan langsung dari TPS dan selesai pada hari yang sama. 

Sistem komputerisasi tanpa ”double engine” menyebabkan tidak ada backup ketika 
terjadi crash atau terputusnya koneksi yang menyebabkan data hilang, atau 
munculnya data yang ekstrim jumlahnya jutaan, sehingga muncul kekacauan pada 
angka perolehan suara. 

Sistem komputerisasi tanpa diaudit oleh publik melalui pihak independen, dan 
tanpa akses terbuka oleh rakyat (padahal sudah ada SMS, Blackberry, internet, 
dll) maka telah dimanfaatkan untuk jual beli suara.

Biaya IT untuk penghitungan tsb memakan sekitar 800 M untuk menangani 600ribu 
TPS dan 170 juta suara saja. Bandingkan dengan “sistem sms” yang hasilnya pada 
hari yang sama dan biaya hanya 60M (600 ribu TPS X Rp.100rb simcard, pulsa dan 
honor saksi TPS).


AW: Pengalaman anda di negara lain, tidak terjadi seperti di kita ini?


JS: Justru itu yang amat menyedihkan. Sementara, di negara lain teknologi telah 
membuktikan peranannya sehingga layanan bisa murah, efisien, transparan, adil, 
jujur, bisa diakses seluruh rakyat secara terbuka, di Indonesia justru 
disiasati untuk dimanipulasi.


AW: Anda juga menyampaikan soal quickcount yang menyesatkan padahal sudah tidak 
dipakai didunia?


JS: Quick count dari 2000 TPS (0,3% dari 600 ribu TPS) dijadikan dasar 
mengambil keputusan oleh Presiden. Ini keliru besar. Pertama, “Quick Count” 
sudah tidak digunakan di dunia karena adanya sistem “Real Time” (Real Count) 
yang murah, mudah, langsung tayang (real time), mengapa perlu quickcount. Ada 2 
kemungkinan yakni Presiden tidak paham statistik atau Presiden yakin bahwa 
kecurangan didesain secara sistematik sehingga menjamin hasil ”quickcount” 
merefleksikan hasil ”realcount”. Sebagai perbandingan, yahoo atau facebook 
sudah mengelola miliaran pelanggan, maka sudah sejak lama cara quickcount (2000 
TPS) tidak digunakan di dunia karena proses real time dan real count (apalagi 
Cuma untuk 600 ribu TPS) sudah bisa dilaksanakan dengan mudah, murah, cepat, 
akurat, transparan, langsung tayang pada hari yang sama. Untuk apa quick count? 
Hanya untuk penyesatan saja. Kuno. Primitif. Atau Kejahatan yang membodohi 
rakyat.




AW: Jadi bisa dibilang Quickcount dan Sistem Amburadul adalah dua sisi matauang 
dari kecurangan sistemik?


JS: Anda cerdas sekali. Quickcount untuk penyesatan. Sistem amburadul untuk 
memaksa perolehan sesuai tayangan quickcount. Dan karena sistemnya amburadul 
maka sulit pembuktiannya. Ditambah DPT yang banyak bermasalah, itu untuk 
memberi petunjuk kepada petugas secara tidak langsung tapi mudah, yaitu yang 
tidak hadir (golput), nama, NIK, alamat, tanggal lahir dobel-dobel, anak-anak, 
orang mati, tidak dikenal, dll. untuk dicontreng sendiri oleh petugas dengan 
imbalan uang atau resiko jabatan kalau tidak melaksanakan. Ini kerjasama KPU 
dan Perangkat Pemerintah di tingkat Kecamatan, Kelurahan, RT/RW karena KPU 
tidak memiliki lengan sampai ke bawah sekali. Maka, hasil sesuai dengan 
tayangan quickcount. Persis. Ada yang menyebut SBY David Copperfield. Itu tepat 
sekali. 


AW: Apa akibatnya dari sistem semacam ini?


JS: Sejak hasil PILEG diumumkan, DESA MERAK sudah menyerukan ”ULANGI PILEG atau 
DUKUNG SBY TANPA PILPRES” karena kami sudah tahu hasilnya bakal seperti ini dan 
itu hanya pemborosan karena hasil yang sudah bisa ditebak. Dan yang pasti 
hasilnya tidak akan legitimate karena desain sistem manual dan IT nya amburadul 
(tidak terintegrasi) sehingga berakibat kekacauan di semua titik rawan tersebut 
diatas. Dan ini sulit untuk dibuktikan. Ulangi PILEG maksudnya setelah sistem 
IT nya dirancang secara terintegrasi seperti negara tetangga.


AW: Apa semua itu ada kaitannya dengan Pilpres Satu Putaran?


JS: Dengan KECURANGAN SISTEMIK sebagaimana diuraikan sebelumnya, BISA DIPAHAMI 
mengapa PILPRES dipaksakan menang 1 putaran dengan mudah. Alatnya adalah 
quickcount, DPT bermasalah dan sistem amburadul. 


AW: Apakah anda bisa memberikan gambaran yang mudah sebagai perbandingan agar 
bisa meyakinkan bahwa membuat sistem seperti di negara lain adalah sangat mudah 
dan para ahli IT kita juga mampu?


JS: Perhatikan fakta di sekitar kita. Jaringan Telematika untuk Perbankan yang 
mengelola dana ribuan trilyun saja tidak ada yang hilang, mengapa hanya 
mengurus 170 juta pemilih dan 600 ribu TPS saja begitu heboh. Fakta lain. Mama 
Loren dengan “ketik reg” bisa mengelola lebih dari 1 juta pelanggan, sedang TPS 
hanya 600 ribu saja. Sebagai perbandingan. Di negara tetangga, Sensus Pemilih 
(pendaftaran DPT) bisa dilakukan dengan sms berhadiah diundi tiap minggu 
sehingga murah meriah, rakyat partisipatif, realtime, efisien, dan RT/RW bisa 
membantu bagi yang tidak punya akses HP dan internet.


Sebagai perbandingan lagi. Di negara tetangga. Laporan bisa langsung dari TPS 
melalui voice & foto & video & scan formulir (direkam dan dikirim via 
internet/handphone), sehingga rakyat bisa melihat tayangan hasil perolehan 
setiap TPS dengan berbagai cara, apakah lewat telepon, internet, sms atau 
chanel TV yang khusus. Sehingga transparan semuanya. 


Intinya di TPS hanya perlu dua langkah melalui sms: 1. Kepala TPS mendaftarkan 
telepon GSM ke “Sistem Pemilu Online” ini melalui password yg diberikan. 2. 
Kepala TPS melakukan input hasil dari tiap kandidat ke dalam sistem.


Sistem IT juga bisa dilengkapi dengan fasilitas mendeteksi keaslian formulir 
melalui adanya “security printing code” (sebagaimana lembar uang), sehingga 
tidak perlu debat kusir soal keaslian dokumen. 


Biaya diperkirakan USD3-5 juta jauh dibawah biaya IT KPU plus biaya 
pemuthakiran DPT (sekitar Rp3T). Dan jelas para ahli IT kita sangat mampu. 
Kejadian ini dicatat sejarah sebagai jaman penghinaan (jaman jahiliyah) bagi 
para ahli IT di tanah air. Apalagi ada para pakar IT yang sering muncul di 
media, dimintai pendapat banyak pihak, kok juga tidak memberi komentar dan/atau 
masukan bagi keadaan amat sesat seperti ini. Ada apakah? 


AW: Dengan sistem IT yang anda usulkan, apa keuntungan yang diperoleh KPU, 
Bawaslu, Masyarakat dan semua stakeholder?


JS: Misalnya KPU dapat memperoleh keuntungan diantaranya sbb:


Kemudahan update, perhitungan, dan laporan secara instan mengenai hasil 
penghitungan. Kemudahan untuk tidak melakukan pengangkutan kotak suara dan 
surat suara TPS secara fisik dari TPS ke RT/RW, lalu ke Kelurahan, lalu ke 
KPPS, dan lainnya, sebab hasil diserahkan melalui USSD (jaringan GSM) langsung 
dari TPS. 

Penghematan waktu dalam melaporkan hasil penghitungan sementara secara kontinyu 
untuk mengirimkan, menghitung dan melaporkan hasil secara real-time. 

Hasil akurat dan mudah dengan menggunakan teknologi GSM yang sudah ada, namun 
tetap memiliki tingkat keamanan yang tinggi. 

Rakyat bisa mengakses dari mana saja, kapan saja, melalui multi channel yaitu 
sms, telepon, internet, tayangan TV secara realtime sehingga proses tidak 
bertele-tele yang rawan manipulasi.

Memajukan tingkat teknologi dalam proses pemilihan – wajah baru bagi Indonesia! 

KPU handal, terpercaya, pelayan publik yang cerdas, memberikan legitimasi yang 
tinggi. 


AW: Kok seperti ini dianggap oleh Mahfud tidak relevan?
JS: Ada dua kemungkinan. Pertama Mahfud tidak paham dan sudah terjebak kacamata 
kuda atau tersesat dalam persidangan naif mencari bukti yang absurd dari sebuah 
konspirasi sistemik. Kemungkinan kedua, Mahfud cerdas sekali sehingga dia 
melakukan penyesatan melalui persidangan sebagaimana quickcount melakukan 
penyesatan persepsi. Sehingga semua dibuat sibuk dan tidak terlihat gambar 
besarnya. Semoga saja saya salah. Semoga saja ada alternatif ketiga, yaitu 
Mahfud memutuskan kembali ke UUD45 yaitu pileg dan pilpres ulang secara 
serempak (bersamaan) dengan sistem IT sebagaimana negara tetangga. Kalau ini 
yang terjadi, saya akan datangi Mahfud dan menyatakan salut sebagai pahlawan 
demokrasi dan penyelamat bangsa darikepunahan. 


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to