normalnya, alat industri yang dimiliki oleh suatu masyarakat haruslah bertahap: listrik -> radio -> tv -> telepon -> komputer -> internet. itu standar dalam pertumbuhan industri, dari negara agraris, negara industri lalu ke negara informasi (third wave nya alvin toffler). tapi apa yang terjadi sekarang? kita "memaksakan diri" untuk menjembatani "digital divide" dengan cara IT, yang kental dengan pembangunan fisik!
konsekuensi logis pertama, digital divide itu harus dilihat dari sudut pandang lain. sebenarnya yang melempar isu digital divide itu siapa pada mulanya? bangsa barat bukan? bagi mereka, iya memang benar ada digital divide. karena mereka memandang suatu sistem negara di dunia ini sebagai "pemilik informasi" dan "bukan pemilik informasi". walhasil, negara2 yang tidak punya IT sebagus negara barat, dianggap terjadi digital divide. lalu kata2 digital divide itu akhirnya "dipaksa" diadopsi oleh para pebisnis dan politis IT di indonesia, yang belum tentu cocok. akhirnya apa yang terjadi, sebuah daerah kalau tidak ada teleponnya, dianggap digital divide terjadi. tidak ada internetnya, digital dividenya lebih besar. walhasil, berlomba2lah kita mencanangkan program warnet masuk desa. mastel, kadin, apjii, awari (lama), komitel, semua berteriak bahwa untuk mengatasi digital divide di indonesia adalah melalui akses internet dan warnet di daerah. apakah sudah diadakan penelitian demografis dan sosiologis yang lebih mendalam, sebenarnya perlu atau tidak (sementara ini) internet masuk sampai ke daerah2? benarkah ada digital divide itu? bukankah digital divide itu adalah menurut versi kita? pernah ada yang berpendapat bahwa, "ya orang badui tidak pakai internet juga bisa hidup, jadi terserah saja kita saja sebenarnya, yang jelas siap tidak siap kita akan masuk ke dunia internet". sebenarnya isu utamanya adalah bukan badui atau bukan badui, bukan pula punya internet atau tidak punya internet, tetapi adalah.......................... (silakan baca konsekuensi logis kedua) konsekuensi logis kedua, internet akhirnya menjadi hal yang negatif, pornografi dan destruktif. pasti banyak yang keberatan dengan konsekuensi logis yang kedua ini. tapi silakan lihat sekeliling anda, lihat masyarakat sekitar anda. kita tidak berbicara antar "kita", antar sesama "pemilik informasi" yang menciptakan "digital divide". teknologi itu merupakan buah dari kebudayaan. kebudayaan itu mencakup aspek sosiologi, dll. jadi tidak bisa teknologi itu dipaksakan ada di sebuah budaya yang memang belum saatnya untuk menerima itu. saat ini kita terjebak dengan pembangunan fisik untuk menjembatani digital divide tersebut. segala program disusun, segala sumber dana dirayu, hanya untuk membangun apa yang namanya warnet2 hingga ke daerah2. pertanyaan mendasar, sudah siapkah budaya daerah tersebut menerima kehadiran internet yang notabene merupakan "leap frog" dari suatu teknologi yang tengah dimilikinya saat ini? sudahkah anda yang bergerak dalam penyebarluasan internet hingga ke daerah2, berpikir bahwa anda memiliki tanggung-jawab sosial yang besar? saya coba paparkan beberapa contoh: internet saat ini kental diasosiasikan sebagai media pornografi, warnet di jogja kena sweeping soal pornografi, dll. inilah yang luput dari orang2 TI kita. pembangunan fisik menjadi utama, aspek sosial belakangan. walhasil, internet menjadi hal yang negatif, porno dan destruktif. secara empiris (pengalaman nyata), sudah banyak saya temui ibu2 yang melarang anaknya menggunakan internet karena takut anaknya membuka situs2 porno, si ibu begitu karena membaca pemberitaan2 media yang salah tentang internet, si anak karena dilarang lalu curi2 ke warnet untuk membuktikan bener tidak di warnet bisa buka pornografi (dan ternyata benar), lalu masyarakat mulai resah karena warnet menjadi sarang pornografi, warnet lalu dirazia. apakah tidak mungkin suatu saat nanti warnet2 terpaksa diminta tutup selama bulan puasa lantaran "kental" dengan pornografi? jadi, saya hanya ingin berbagi keresahan saya selama ini. orang2 IT kita terlalu mendewakan apa yang namanya kuantitas. mereka lupa bahwa teknologi itu harus lahir dari sebuah budaya, budaya itu lahir dari masyarakat. tidak mungkin teknologi bisa dicemplungkan begitu saja ke suatu masyarakat tanpa menyiapkan kondisi masyarakat tersebut. jadi, janganlah kita terlalu berteriak soal digital divide, karena digital divide itu adanya di pikiran kita sendiri. yang sebenaranya adalah information divide. dan untuk mengatasi information divide itu bukanlah melulu dengan IT, internet, warnet, dll. penyuluhan, sosialisasi, pelatihan, media massa, merupakan wahana yang tepat untuk memprakondisikan suatu budaya secara perlahan-lahan untuk memasukkan internet. sekarang saya miris, berapa banyak sih orang2 IT kita yang concern dengan hal ini? berapa banyak sih yang peduli dengan aspek sosiologis dari (dipaksa) masuknya internet dalam budaya suatu masyarakat? dan pertanyaan saya yang terakhir, berapa banyak nanti warnet2 harus mengalami nasib sial karena dicap sebagai penyebar pornografi? masih untung cuman di cap, gimana kalo sampai di sweeping atau sialnya karena masyarakat sekitar sudah marah, lalu warnet itu di rusak/dibakar. kita berbicara pada konteks warnet2 di daerah yah, bukan warnet2 yang di kota2 besar yang notabene budayanya sudah siap masuk ke gelombang ketiga, yaitu era informasi. bertahaplah, jangan buru2 :) ada yang menarik dari hasil riset terkini UCLA, tentang internet dan aspek sosiologisnya. ternyata mayoritas orang2 yang menggunakan internet, tidak mengambil jatah waktu bersama keluarganya untuk mengakses internet. dia mengambil jatah waktu menonton TV nya. ini berarti, mereka, dan mungkin kita juga, tidak kehilangan waktu kerja dan kumpul bersama keluarga untuk mengakses internet. waktu untuk TV lah yang dikorbankan. hal ini positip, bagi mereka yang sudah punya TV di rumah (dan punya internet di rumah pula). tetapi bagi orang2 di daerah yang tidak punya TV di rumah, atau menonton TV masih hal yang mewah, lalu paruh waktu mana yang akan diambil untuk mengakses internet (di warnet)? bisa jadi waktu kerja mereka atau waktu kebersamaan mereka bersama keluarga. sudah siapkah mereka masuk dalam transisi budaya yang sedemikian cepat ini? kalau digabungkan ke konsekuensi nomor 2 tadi, bukan tidak mungkin ada (banyak) orang dalam suatu masyarakat tertentu yang bela-belain mengurangi waktu kerja atau waktu bersama keluarga untuk mengakses internet, yang notabene "isinya" masih dianggap pornografi. ada satu kisah nyata, di sebuah warnet di daerah perumahan menengah kebawah. tepatnya di pinggiran kalimalang jaktim. secara idealis, warnet itu menjadi sentra informasi yang ideal seperti yang didamba-dambakan oleh pebisnis dan politis IT kita. secara bisnis, warnet itu tidak menguntungkan, karena berada di daerah yang pendapatan penduduknya menengah kebawah. secara sosial, saya kuatir, warnet itu bisa dicap buruk oleh penduduk sekitar. kejadiannya begini, menurut yang dipaparkan oleh yang punya, pernah suatu ketika anak2 abg sekitar 5 orang patungan untuk menyewa internet di warnet tersebut. dan yang dibuka ternyata situs2 porno. lalu pernah pula remaja beberapa orang menyewa pula internet tersebut, tetapi komputernya digunakan untuk menyetel VCD porno yang disewanya di tempat lain. asumsinya, berdasarkan penelitian UCLA dan kasus empiris ini, ternyata ada (dan mungkin banyak) orang2 yang lebih rela kehilangan waktu untuk bekerja atau bersama keluarga, untuk mengakses yang porno2 baik di internet, ntah di warnet atau di mana saja ada internet. "ya khan baru sedikit, itu kan kasuistis". ya memang! tapi itu adalah yang muncul di permukaan. kalau kita memahami teori gunung es, yang muncul di permukaan jauh lebih sedikit dari apa yang sebenarnya terjadi. dan sedikit2 lama2 menjadi sedikit bukan? :) ini bukan soal teknis, "tinggal di filter, tinggal diperingatkan, tinggal ini tinggal itu". tapi ini konsekuensi logis dari "pemaksaan" masuknya sebuah teknologi dalam suatu kultur yang seharusnya belum masuk ke era tersebut. kalaupun kita berkilah tentang digital divide, era informasi, afta-nafta, modernisasi, liberalisasi dan jargon2 lain yang kita anggap benar (tetapi belum tentu benar menurut pihak lain), lakukanlah dengan kesadaran sosial yang tinggi. bangsa kita bisa (bahkan sudah) hancur kalau pembangunan fisik tidak dibarengi dengan pembangunan sosial. sayangnya, sedikit orang yang mau memperhatikan aspek sosial, budaya dan sosiologis dari sebuah implementasi teknologi, karena hal tersebut menyerupai kerja sosial yang nyaris tanpa laba apapun. -dbu- Pekerja TI Biasa ----- Original Message ----- From: "Andi Ardiansyah" <[EMAIL PROTECTED]> To: <[EMAIL PROTECTED]> Sent: Thursday, December 13, 2001 12:35 PM Subject: Re: [asosiasi-warnet] Membuka Polemik Internet di South East Asia.... > komentar yg menarik Pak Bas .. > jadi baiknya mana dulu.. listrik dulu .. atau IT dulu .. > kalo normalnya listrik dulu .. jalan dulu .. > atau mungkin pengairan dulu, baru kabel telpon atau BTS wavelan > > tapi mungkin kalau dibalik juga bagus, > membangun fasilitas2 IT pasti memerlukan listrik, > siapa tau dgn begini listrik lebih cepat masuk > apalagi kalo sekalian pakai Power Line Communication > alias internet via listrik.. hehe > investasi di daerah tsb tambah banyak, > potensi lokal lebih berkembang.. dsb etc > > tapi tampaknya memang kesenjangan di bidang lain > lebih tinggi prioritasnya untuk diurus, > kalo yg lain2 beres, digital devide ntar ilang sendiri kok > > cmiiw- > > ----------------- > Basuki Suhardiman <[EMAIL PROTECTED]> said: > > > > > Sekedar mau comments , > > ada sebenarnya yang disebut digital devide ? :-) > > apa memang kita sudah butuh itu ? ...(utk mengatasi yang namanya digital > > devide) > > sebagai ilustrasi , di Jawa Barat (+Banten) yang boleh dikatakan propinsi > > penyangga DKI , terdapat tidak kurang 3000 desa yang tidak ada listrik. > > Apa tidak sebaiknya 'dana' digital devide , diperuntukkan untuk > > pembangunan listrik di desa desa tersebut. Kalau tanpa listrik , apa mau > > ada warnet disana ? :-) > > -bas- _______________________________________________ Milis Komunitas Sekolah2000 (A.K.A [EMAIL PROTECTED]) Untuk posting kirim email ke : [EMAIL PROTECTED] Untuk mengubah mode langganan anda, berhenti langganan kunjungi: http://milis.sekolah2000.org/mailman/listinfo/komunitas