http://www.hukumonline.com/artikel_detail.asp?id=5600
==========================================================
Sensor Internet, Upaya "Sia-sia" Meredam Pornografi 
 
[21/05/02] 
Belakangan, gencar isu akan dilakukan sensor terhadap internet 
sebagai media publik. Gagasan ini justru berangkat dari berbagai 
organisasi masyarakat yang dengan lantang menyuarakan perang terhadap 
pornografi. Mereka beranggapan bahwa internet adalah "sarang" 
pornografi. 
   
Lalu jalan satu-satunya untuk meredam pornografi internet adalah 
melakukan sensor dengan cara melakukan filterisasi terhadap situs-
situs porno. Namun, masalahnya menjadi tidak sederhana. Karena 
ternyata, pengalaman di beberapa negara yang melakukan filterisasi 
ternyata tidak sepenuhnya membuahkan hasil. Secara teknologi, sangat 
mungkin melakukan filterisasi pada ISP (internet service provider) 
bahkan juga pada backbone. 

Namun bila pemerintah selaku pengambil kebijakan tidak berhati-hati 
dalam menelurkan kebijakan, bukan tidak mungkin akan menghambat 
masyarakat dalam mengakses informasi. Jika kebijakan yang dibuat 
hanya berpijak pada satu sisi, imbasnya tidak hanya informasi 
pornografi saja yang terkena dampaknya, tapi juga informasi lainnya.

Beberapa software bisa di-download untuk mengontrol laju informasi, 
tetapi tidak membatasi kesempatan dan kebebasan untuk memperoleh 
informasi pada internet. Misalkan filter yang berbayar, 
www.cyberpatrol.com, www.cybersitter.com, www.netnanny.com. Namun di 
samping itu, ada beberapa software yang bisa di-download gratis 
seperti, www.we-blocker.com, www.safekids.com, dan masih banyak lagi.

Dengan software tersebut, situs-situs yang masuk dalam kategori porno 
tidak bisa diakses oleh pengguna. Namun secanggih-canggihnya 
teknologi, tetap saja buatan manusia dan tetap memiliki kelemahan. 
Demikian juga dengan sensor terhadap pornografi internet,  tetap saja 
pengguna akan menemukan jalan untuk mengakses informasi tersebut.

Perdebatan semantik

Masalahnya, kembali pada kebijakan mana yang dipilih oleh si pengguna 
untuk menyiasati pornografi internet. Pengguna di sini, termasuk di 
dalamnya pemerintah dan masyarakat. Hal tersebut akan menjadi faktor 
penentu dalam kegiatan internet di Indonesia.

Hingga kini, belum ada upaya nyata dari pemerintah untuk mengontrol 
kegiatan internet, terutama yang berkaitan dengan content porno. 
Dalam setiap diskusi mengenai hal ini, selalu berujung pada 
perdebatan semantik yang melulu didasarkan pada keyakinan dari masing-
masing kelompok. 

Beberapa situs penyedia software mungkin akan membatasi dan mampu 
meredam seseorang untuk mengakses situs porno. Namun, masalahnya 
tidak berhenti sampai di situ. 

Sensor hanyalah sebuah mekanisme untuk mengontrol pornografi dan 
bukan menghilangkan pornografi itu sendiri. Satu hal yang perlu 
dipertegas adalah apa yang akan dan harus diatur kemudian dalam 
undang-undang yang memiliki ketegasan sekaligus menjamin hak 
kebebasan publik untuk mengakses informasi. 

Kuncinya, jangan sampai undang-undang pornografi nantinya akan 
membatasi pengguna internet lain yang tidak mengakes situs-situs 
porno.  Karena itu, perlu dicari satu titik moderat bagaimana 
menyikapi pornografi internet tanpa harus membatasi aktifitas 
internet itu sendiri. 

Selaku regulator, pemerintah cukup memberikan panduan bagi 
masyarakat, khususnya pengguna internet. Terutama, dalam memberikan 
satu pendidikan bagi masyarakat untuk menggunakan internet 
sebagaimana mestinya. Pengalaman beberapa negara menunjukkan, hingga 
kini belum diketemukan jurus mujarab yang benar-benar ampuh untuk 
menyensor pornografi internet.  

Dimulai dari masyarakat

Kebijakan sensor di beberapa negara, justru dimulai dari masyarakat 
dan bukan dari pemerintah. Negara maju seperti Amerika Serikat, 
Inggris, dan Jerman yang lebih dahulu mengenyam internet, ternyata 
lebih memilih internet dikembangkan secara self regulating. Misalnya, 
yang dilakukan oleh Bertelsman Foundation yang sudah meluncurkan ICRA 
Filter. 

ICRA Filter adalah software yang diluncurkan oleh Internet Content 
Rating Association. Dengan software yang diluncurkan tersebut, 
keluarga dan guru dapat melindungi anak-anak dan remaja dalam 
pemanfaatan internet sebagaimana mestinya. 

Mungkin yang bisa dilakukan oleh masyarakat adalah mencari satu 
persepsi yang sama bagaimana menyikapi pornografi internet itu 
sendiri. Berbagai jenis software mungkin bisa dikembangkan untuk 
meredam pornografi. Toh, bisa dipastikan norma yang dianut akan 
kembali pada masyarakat. Masyarakatlah yang pada akhirnya akan 
menentukan bagaimana persoalan pornografi ini diatur. 

Masyarakat di sini lebih difokuskan pada pengguna internet selaku 
pihak yang langsung berhadapan dengan objek tersebut. Pemerintah 
tidak lagi menjadi regulator, melainkan beralih wujud menjadi 
fasilitator. Pemerintah tidak lagi mengontrol, melainkan membatasi 
mana yang menjadi pokok perhatian dalam pornografi internet. 

Diskusi bisa diawali dengan adanya pengakuan akan eksistensi dari 
pornografi yang disebarluaskan. Masyarakat adalah kunci dari segala-
galanya, terutama dalam membangun hukum sebagai sikap tindak itu 
sendiri.  Norma yang dianut masyarakat bisa menjadi titik awal 
mengulas lebih jauh bagaimana pornografi internet ini diatur dalam 
hukum positif (tertulis).  

Percuma saja jika pemerintah mengharuskan filterisasi dengan 
menggunakan berbagai cara, termasuk penggunaan software dan penutupan 
akses pada backbone. Sementara masyarakat sendiri tidak mengakui 
peraturan atau ketentuan yang dibuatnya. Usaha membangun kesadaran 
bagaimana mengunakan internet secara bijak mungkin butuh waktu yang 
tidak sedikit.   

Secanggih apapun sensor internet dilakukan, tetap akan dikembalikan 
pada nilai yang dianut oleh masyarakat itu sendiri. Dalam konteks 
ini, internet menjadi bebas nilai dan tidak adil jika dipersalahkan 
sebagai sarang dari pornografi. Karena itu, masyarakat dan pemerintah 
harus lebih bijak dalam memandang internet itu sendiri.   

Kemudian, bagian yang tidak kalah pentingnya adalah keterlibatan 
penyedia jasa internet (PJI) sebagai pihak yang menyediakan akses 
internet pada masyarakat. Terutama, sebagai stakeholder dalam 
pengembangan dan pemanfaatan teknologi informasi, khususnya internet 
di Indonesia.

Sebagai penyedia jasa, sudah selayaknya PJI bertanggungjawab atas 
penayangan gambar, tulisan, suara, atau paduan yang disimpan dalam 
database. Sudah semestinya, yang bersangkutan melakukan kontrol 
terhadap content yang bernuansa porno tersebut. Akibatnya, informasi 
yang disediakan pasti akan terkategorisasi. 

Tampaknya, ini yang harus dilakukan oleh pemerintah, bagaimana 
menyeleraskan kebutuhan masyarakat dengan kepentingan bisnis yang 
juga memiliki kewajiban untuk meningkatkan penetrasi internet. 
Misalkan, dengan membuat peraturan yang mewajibkan pada para ISP 
untuk membuat program atau paket bagi keluarga. 

Jika pilihan tersebut akan membatasi dunia usaha berkembang, setidak-
tidaknya setiap ISP diwajibkan untuk menyertakan software filter yang 
bisa di-download oleh keluarga.

Dengan begitu, hak masyarakat untuk memperoleh informasi tidak 
dikorbankan dan begitu juga dengan kepentingan bisnis. Masing-masing 
bertanggung jawab atas apa yang dilakukan. 

Hapus badan sensor

Mandulnya badan sensor selama ini boleh jadi menjadi salah satu sebab 
tidak berfungsinya mekanisme sensor. Pemotongan beberapa adegan, baik 
kekerasan maupun seks mungkin terkadang bertentangan dengan kebebasan 
ekspresi dari produsen. 

Lantas bagaimana dengan keberadaan badan sensor dikaitkan dengan 
internet itu sendiri yang secara alamiah lahir dalam nuansa liberal. 
Sejauh mana badan sensor yang sudah demikian mandulnya harus 
menggenjot langkahnya untuk mengontrol internet? 

Internet tidak gampang diatur karena memiliki keunikan tersendiri. 
Sebagai media content, internet perlu diregulasi. Namun dari sisi 
media informasi, internet tidak perlu diregulasi. Pasalnya, internet 
sendiri terbangun dengan kesepakatan. Demikian pula dengan aturan 
yang ada didalamnya, juga dijalin dengan kesepakatan. 

Konstitusi pun sudah memberikan jaminan atas hak masyarakat untuk 
mendapatkan dan memanfaatkan informasi. Di sini jelas, informasi 
merupakan hak azasi publik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Demikian juga dengan keberadaan lembaga sensor yang praktis akan 
menghambat masyarakat untuk menghasilkan, menyimpan, dan 
mendistribusikan informasi. Alternatifnya, membangun kesadaran 
masyarakat untuk menggunakan internet secara bijak. Pendapat ini 
pasti akan mendatangkan kritik tajam, terutama dari kalangan relijius 
yang sejak awak menolak keberadaan pornografi dalam masyarakat.  

Sebagai bagian dari informasi, pornografi juga merupakan hak 
masyarakat yang harus dilindungi. Dalam konteks ini, terjadi 
perubahan paradigma dari pornografi itu sendiri. Pornografi yang 
tadinya hak pribadi beralih sebagai bagian hak publik. 

Satu hal yang krusial dalam diskursus pornografi sebagai hak publik 
tentunya menyangkut nilai dan perspektif dari masyarakat. Wacana ini 
mesti dikembangkan dalam berbagai sisi dan pandangan dari berbagai 
kelompok masyarakat. Hal ini mengingat pornografi tidak saja 
bersentuhan dengan nilai moral saja, tetapi telah menjadi komoditas 
tersendiri. 

Ringkasnya, badan sensor tidak lagi diperlukan untuk melakukan 
pengekangan terhadap ekspresi dalam berkomunikasi dan berinformasi. 
Namun, yang penting bagaimana menciptakan sensor sendiri dari setiap 
pribadi pada saat terkoneksi dengan internet. Pasalnya, keberadaan 
badan sensor hanya akan menyebabkan pertentangan yang selalu berakhir 
dengan perdebatan ideologi dari masing-masing kelompok.

Pornografi memang akan sulit untuk dihapuskan karena telah menjadi 
bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan masyarakat itu 
sendiri. Pekerjaan rumah terbesar dari masyarakat adalah menerima 
keberadaan internet secara alamiah tanpa harus mematikan kesempatan 
untuk memperoleh akses informasi
--- End forwarded message ---


_______________________________________________
Milis Komunitas Sekolah2000 (A.K.A [EMAIL PROTECTED])
Untuk posting kirim email ke : [EMAIL PROTECTED]
Untuk mengubah mode langganan anda, berhenti langganan kunjungi:
http://milis.sekolah2000.org/mailman/listinfo/komunitas

Kirim email ke