KECAP-2


"Isinya kecap ya, Den?" begitu tiba-tiba terdengar kata mBah Soeloyo dan Lek
Oein berbarengan, bersamaan dengan aku mendongakkan muka selesai membaca
surat itu.
Ku lihat Lek Oein telah membawakan ember kosong, tiga botol air putih matang
dan tiga buah cangkir. Sementara mBah Soeloyo meyorongkan ke-3 bungkus
botol-botol kecap contoh itu sambil membawa 3 lepek dan satu panci rantang.
"Menurut firasat saya, pasti Den mBarep minta tolong agar Den Ragil dan
kami, saya dan si mBah "urakan" Soeloyo ini melakukan uji cicip kecap lagi
kan? Kembali Lek Oein melanjutkan kata-katanya. Saya hanya thenger-thenger
memperhatikan tingkah ke-2 pengikut setia dan kritisku itu. Seolah-olah
mereka ikut membaca saja isi surat Mas mBarep.
"Iya kan, Den? Pasti sama persis pesannya dengan kiriman paket "swargi" Ibu
Den Ragil setengah tahun yang lalu".
(Aku jadi ingat ibuku, ibuku yang mengaku sakit dan dengan miminjam nama
almarhumah ibu-kandungku, menyisipkan kecap-kecap buatan rakyat jelata
setengah tahun yang lalu. Menyesal bahwa hasil uji kecap waktu itu belum
sempat beliau terima, keburu penyakitnya anfal terserang kanker di
sana-sini. Penyakit kanker yang menuntut pelepasan atau self-amputation. Oh
ibuku yang malang...)
***
"Den.... jangan ngelamun to. mBokya segera dimulai UDCKI-nya itu. Kan,
hasilnya mau dipakai Den mBarep nanti bersamaan dengan 'coblosan'..."
Sadar aku dengan ucapan Lek Oein itu. Sebelum sempat aku bicara, mBah
Soeloyo telah memberikan usul: "Den, untuk menghindari kejadian yang
lalu-lalu, dan agar Den Ragil tidak kesakitan, gara-gara menanggung rasa
sakit jithakan saya kepada Lek Oein, maka saya usul agar UDCKI ini lebih
jujur dan adil. Kita libatkan Den Ragil Putri ikut jadi wasitnya, gimana?"
"Maksud mBah Soel?"
"Maksud saya, yang mencatat biar Den Putri, langsung dimasukkan ke komputer,
gitu"
"Wah... setuju.. setuju... biar hasilnya segera dapat dilihat, kemudian
tinggal di-print, terus kirim ke Indonesia... ya Den.. saya setuju... Den
Putri... kami mohon Den Putri bersedia menjadi wasit UDCKI kali ini. Biar
nggak terjadi penyelewengan cara mendulit dan mencicip kecapnya….”
“Hee, orang lagi repot nyiapin masakan gini kok disuruh ikut terlibat di
UDCKI. Ngrepotin aja… tapi baiklah.. segera bukain itu Pak, Lotus 123
 nya…”. terdengar sahut Bu Ragil sembari jalan menuju ke tempat kami
bertiga.
Maka segeralah kami melakukan UDKCI. Setiap contoh kecap dituangkan di lepek
tempat sambal wasabi kecil, masing-masing tester memegang satu lepek.
Tuangan kecap selanjutnya harus dengan jujur didulit dengan ujung telunjuk
sambil dipertunjukkan kepada Bu Ragil. Kemudian ujung telunjuk harus dijilat
sampai bersih. Rasa yang muncul diresapkan, dipertimbangkan dan direnungkan.
Termasuk rasa purna-jilat yang mengikutinya. Pendulitan dan penjilatan
setiap contoh dilakukan 3 kali, dengan setiap antara dulit-jilat diselingi
dengan kumur-kumur pakai air putih matang yang kemudian air kumuran
dutampung dalam satu ember. Sisa kecap yang menempel pada lepek kemudian
dipel dengan telunjuk dan ditampung dalam satu rantang.
***
“Wah ini kecap kok mengingatkan pada kecap cap Pembangunan ya Lek ya? Hanya
kok ini ada tambahannya. Membawa efek sampingan pada telinga, seperti
membawa suara adzan gitu lho…. kok aneh?”
“Adzan gimana wong yang terdengar adalah seruan takbir gini kok… Gimana
Den Ragil mireng apa?”
“Wah itu rahasia dong mBah, Lek. Wong namanya juga ngetes secara luber dan
jurdil… Pokoknya kecap ini cukuplah mewakili kecap cap Pembangunan. Saya
memberi nilai C plus lho. Catat Bu, nilainya C plus.” kataku. Ceklik.
ceklik terdengar 3 kali tombol diketik oleh Bu Ragil mencerminkan nilai
kecap dari kami bertiga.
“Lho yang ini kok masih berrasa Pembangunan.. cuma yang terdengar malah
lagu samrah dan qasidahan…”
“Wah kamu ini gimana sih Lek, orang yang terdengar justru suara pengajian
gitu kok. Ya Den Ragik ya? Uuu pasti bilang rahasia lagi… luber lagi..
jurdil lagi… apalan!” sungut mBah Soeloyo. Sementara aku hanya
senyum-senyum saja.
“Lha mBah sekarang coba ingat-ingat… rasanya kan mirip-mirip dengan 
Gotong
Royong… hanya ini lebih asem dan lebih asin”
“Ho-oh lho mbah ini baunya adalah kecap Gotong Royong, cuma rasanya kok ada
pahitnya… jangan-jangan nggak pakai gula lagi ya? Pakai biang gula pasti…
atau kedelenya udah jamuran waktu difermentasikan…”
“Den Ragil dan Lek Oein ini gimana sih lidahnya… orang kecap rasanya 
pedas
gini kok katanya asin, asem ada pahitnya… wah-wah… memang baunya seperti
Gotong Royong.”
“Lho yang ini Lek… yang ini asinnya seperti Kecap Banteng…. 
Jangan-jangan
pabriknya hanya ganti nama saja nih, kecap-kecap itu. Terus pada buka
cabang-cabang gitu… atau gara-gara direktur-direktur lama atau
peramu-peramu lama tidak dianggap lagi, terus bikin pabrik sendiri…” mBah
Soeloyo mulai berandai-andai. Lantaran ternyata bahwa kecap-kecap itu
sekitar 19 contoh bernuansa rasa mirip Kecap Pembangunan, 6 lebih cenderung
beraroma Kecap Banteng dan sisanya kok sepertinya membawa rasa Kecap
Terkenal Gotong Royong…. Hanya memang sekarang rata-rata disertai rasa-rasa
khas masing-masing.
Ada yang ditambah rasa pedas. Ada yang seperti memakai bawang dan jahe.
Bahkan ada yang sudah mirip sekali dengan kecap bumbu sate segala. Bahkan
ada yang rasanya rame seperti permen nano-nano.
Akhirnya setelah hasil ketikan Bu Ragil di-olah lengkap dengan kolom
komentar khusus, malah tidak menghasilkan apa-apa. Karena ternyata rasa-rasa
kecap itu terlalu spesifik. Sehingga sulit bagi kami menentukan kecap contoh
mana yang bakal disenangi rakyat.
Karena isengnya mBah Soeloyo dan Lek Oein, mereka mencelupkan telunjuk ke
dalam panci rantang penampung sisa UDKCI. Kemudian dijilatnya. Tiba-tiba…
“Huuah… huuuah… huuaaduuh puuuedess-nyaaa hoah… 
hoah…. Sssss
Haahhhhhh… kecap haaah ini kok haah melebihi lombok… ssshhaaah…
ssshhhaah…” mBah Soeloyo buru-buru ke belakang sambil gebes-gebes
kepedasan… Segera terdengar dia berkumur nafsu sekali dengan air kran….
Sementara itu Lek Oein juga terlihat aneh…. Mukanya mengkerut, kepala
kirik-kirik, bibir njeber dan mata merem…. “Mmmm… 
kecuuute….
uuuuuuasemmmmmmm sekali … melebihi cukak… heeeeeeh…… 
hehhhhhh…” Diapun
lari menyusul mBah Soeloyo dan terdengar tegukan air berkali-kali…
Aku jadi penasaran… aku celup juga telunjuk. Kemudian kujilat… al hasil,
minta ampuuun pahitnya… Melebihi batang Bratawali atau biji mahoni.  Sambil
hoek-hooek kepahitan akupun lari menyusul mereka untuk kumur-kumur dengan
listerin…
Sementara itu terdengar Bu Ragil tertawa cekikikan di depan komputer… dan
terlihat Besar dan Gede terbengong-bengong nggak tahu apa-apa….

(bersambung)

Wassalam,

WINARSO DRAJAD WIDODO

Ishima-cho 1-14-25
Okayama shi 700-0016
Phone: 086-251-2515
e-mail: [EMAIL PROTECTED]
          [EMAIL PROTECTED]


______________________________________________________________________
To subscribe, email: [EMAIL PROTECTED]
To unsubscribe, e-mail: [EMAIL PROTECTED]

Indonesia Baru: berkeadilan tanpa kekerasan!

Kirim email ke