----- Original Message ----- From: =|*|= AGLI=|*|= <[EMAIL PROTECTED]> To: <[EMAIL PROTECTED]>; <[EMAIL PROTECTED]> Sent: 06 Juni 2001 17:07 Subject: [kaumkiri] ] MEMORANDUM DPR > > > ======================================================================== > > "Sebuah BabakBaru di Bumi Manusia!" > > "AGLI" > > ======================================================================= > > > -----Original Message----- > From: "baron setiabudi" <[EMAIL PROTECTED]> (by way of Bonnie Setiawan > <[EMAIL PROTECTED]>) > Date: Tue, 05 Jun 2001 17:08:45 +0700 > Subject: MEMORANDUM DPR > > Memorandum dan Duduk Soalnyalnya > Baron Setiabudi [*] > > Setelah keluarnya Memorandum II DPR, karena implikasinya "bisa" membawa > kepada Sidang Istimewa MPR, dan politik set back seperti Mei 1998, > perdebatan mengenai pasal 8 UUD 1945 muncul lagi kepermukaan. Pasal ini > menyatakan, "Jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan > kewajibannya, maka ia diganti oleh Wakil Presiden hingga habis > waktunya." Pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan "berhenti" > dan merujuk pasal 8 UUD 1945. Namun, kali ini, pasal itu dirujuk > sehubungan dengan nasib pemerintahan Presiden Wahid. Pertanyaannya > sekarang: adakah cara selain ketentuan pasal 8 yang bisa > member-hentikan Presiden pada masa jabatannya? Pertanyaan ini paling > akhir mengemuka ketika Wapres Megawati menolak konsep "pelimpahan tugas > konstitusional" yang disodorkan Presiden Wahid sebagai kompromi solusi > di luar Sidang Istimewa MPR. > > Dalam hubungan itu, pendapat Dr. Adnan Buyung Nasution di kolom Tempo > [27 Mei, 2001] menarik untuk ditelaah. Inti dari argumen ABN - demikian > beliau akrab disapa - ialah, terdapat "landasan yang tak tertulis" > [judul tulisan ABN] bahwa pasal 8 UUD 1945 bisa mendapat pengaturan > lebih lanjut da-lam Tap MPR III/1978. Karena Tap MPR III/1978 masih > efektip, atas dasar itu, ABN menolak preposisi Prof. Dr. Harun Alrasid, > bahwa: [a] pasal 7 Tap MPR III/1978 cacat hukum atau inkonstitusional; > [b] bahwa Memorandum I dan II DPR cacat hukum atau inkonstitusional. > Dengan demikian, ABN berpendapat, keabsahan Memorandum dapat dipastikan > oleh keyakinan mayoritas dan pelanggaran haluan negara tidak memerlukan > suatu pembuktian atau persyaratan lain dari DPR yang memang tidak > diperyaratkan pasal 7 Tap MPR itu. > > Namun sebelumnya, perlu ditampilkan isi pasal 7 Tap MPR III/1978, > supaya jelas duduk soalnya. Pasal itu terdiri atas 4 preposisi: [1] DPR > yang seluruh Anggotanya adalah Anggota MPR berkewajiban senantiasa > mengawasi tindakan-tindakan Presiden dalam rangka pelaksanaan Haluan > Negara. [2] Apabila DPR menganggap Presiden sungguh melanggar Haluan > Ne-gara, maka DPR menyampaikan memorandum untuk mengingatkan Presiden. > [3] Apabila dalam waktu tiga bulan Presiden tidak memperhatikan > memorandum tersebut pada ayat [2] pasal ini, maka DPR menyampaikan > memorandum yang kedua. [4] Apabila dalam waktu satu bulan memorandum > tersebut pada ayat [3] pasal ini, tidak diindahkan oleh Presiden, maka > DPR dapat meminta Majelis mengadakan Sidang Istimewa untuk meminta > pertanggunganjawab Presiden. > > Pendapat ABN dapat diringkaskan dalam beberapa preposisi: Pertama, > Memorandum DPR sebagai cara mengganti Presiden melalui Sidang Istimewa > MPR "secara konstitusi dapat diterima," sesuai pasal 7 Tap MPR III/ > 1978. "Ketentuan pasal 7 Tap MPR III/ 1978 tidak bertentangan dengan > pasal 8 UUD 1945, karena hakikatnya hanya mengatur tatacara > pemberhentian presiden." Pasal 8 UUD 1945 dapat berarti Presi-den > "diberhentikan" oleh MPR atau "mengundurkan diri" seperti pada Presiden > Soeharto. Kedua, "jalan tengah" untuk melimpahkan wewenang presiden > kepada wakil presiden, yang direkomendasi Tim Tujuh dari fihak > pemerintah maupun rekomendasi Ketua Golkar / Ketua DPR, "tidak ada > dasar hukumnya dalam konstitusi." Ketiga, "hak uji materiil terhadap > UUD 1945 tetap ada pada mahkamah konstitusi." Alasan tidak bisa > dilakukan MPR karena "MPR hanya boleh membuat keputusan apapun dalam > framework dan landasan konstitusi yang berlaku." > > Rekomendasi ABN bila terjadi konflik penafsiran konstitusi antara > Presiden dan DPR maka prosedur perubahan konstitusi harus ditempuh MPR > untuk mendapatkan landasan konstitusi baru bagi suatu keputusan atas > hal-hal yang bersifat kontroversial. Apabila diragukan apakah proses > Memorandum I dan II sesuai pasal 8 UUD 1945, dan apakah pasal 7 Tap MPR > III/1978 sesuai dengan konsep pemerintahan Presidensiil dari UUD 1945, > suatu prosedur perubahan konstitusi harus diputuskan MPR dalam suatu > sidang yang quorum 2/3 jumlah anggota, dan keputusan 2/3 anggota yang > hadir. Dari pandangan ini, bisa diturunkan dua alternatip: > > [a] Sesuai pasal 37 UUD 1945, pasal 8 UUD 1945 diamandemen dulu, dengan > memasukkan pasal 7 Tap MPR III/1978 kedalam pasal 8 UUD 1945, atau > dibentuk suatu Mahkamah Konstitusi. Dalam hubungan ini, gagasan > perlunya Mahkamah Konstitusi tidak boleh ditafsirkan sebagai pembenaran > melanjutkan praktik Tap MPR, tapi sebagai solusi dari situasi peralihan > sebelum konstitusi baru dihasilkan dalam transisi demokrasi sekarang > ini. > > [b] Apabila MPR beranggapan bahwa pasal 7 Tap MPR III/1978 tidak > relevan lagi untuk mengisi kekosongan pengaturan pasal 8 UUD 1945, atau > apabila MPR menganggap Tap MPR tersebut dibuat oleh kekuasaan otoriter, > suatu prosedur perubahan konstitusi harus ditempuh MPR untuk > mencabutnya. > > Ada beberapa point lain yang mengganggu dalam tulisan ABN, dan perlu > ditanggapi di sini: > > Pertama, ABN tidak masuk pada materi Memorandum I ["kasus Buloggate" > dan "kasus Bruneigate"] yang kontroversial dari segi hukum, tidak ada > keputusan pengadilan yang menyatakan keterlibatan Presiden yang > disangkakan DPR. Dengan demikian, keabsahan Memorandum I, mengingat > materinya, melangkahi wewenang pengadilan alias DPR main hakim sendiri. > > Kedua, ABN tidak mempertimbangkan itikad baik Presiden Wahid, untuk > memisahkan aspek hukum dan aspek politik, bahwa meskipun materi hukum > Memorandum I bersifat kontroversial, Presiden Wahid memberi jawaban > untuk memenuhi sopan santun politik. Namun itikad baik itu bertepuk > sebelah tangan, dan jawabannya dinilai mayoritas anggota DPR sebagai > "tidak memuaskan," dan mendorong dikeluarkannya Memorandum II. > > Ketiga, ABN tidak mempertimbangkan "itikad tidak baik" anggota DPR > dalam memanfaatkan celah-celah pasal 7 Tap MPR III/1978 untuk > persekongkolan menggulingkan pemerintah yang syah. Dua hal perlu > disebut dalam hubungan ini: [a] Ketika pasal 7 Tap MPR III/1978 dibuat, > perbandingan anggota DPR dan anggota MPR ialah 1: 2, dengan demikian > agak sukar bagi proses di DPR untuk secara otomatis menentukan proses > di MPR. [b] Ketika Tap MPR III/1978 dipraktikan sekarang, perbandingan > anggota DPR dan anggota MPR ialah 500: 700, dengan demikian proses di > DPR menentukan proses di MPR. > > Jawaban Presiden Wahid atas Memorandum DPR tidak harus diartikan > menerima keabsahan Tap MPR atau pasal 7 Tap MPR III/1978, mengingat > Presiden Wahid sangat kritis terhadap kesalahan MPR di masa lampau, > seperti usulannya kepada MPR agar mencabut Tap MPRS XXV/MPRS/1966. > > Jika kita merujuk pada pidato Nawaksara Presiden Soekarno, almarhum, > maka kita dapati analogi situasi yang sama: Nawaksara disampaikan > Presiden Soekarno atas kehendaknya sendiri secara sukarela. Sekadar > mengingatkan kita semua, ada baiknya dikutip disini, paragraf I dari > "Pelnawaksara." > > "Dalam UUD 1945, ataupun dalam Ketetapan dan Keputusan MPRS sebelum > sidang umum IV, tidak ada ketentuan, bahwa mandataris harus memberikan > pertanggung jawab atas hal-hal yang "cabang." Pidato saya, yang saya > namakan "Nawaksara" adalah atas kesadaran dan tanggung jawab saya > sendiri, dan saya maksudkan sebagai semacam "Progress-report sukarela" > tentang pelaksanaan mandat MPRS yang telah saya terima terlebih > dahulu." > > "Dalam UUD 1945 ditetapkan bahwa MPR menentukan GBHN, dan tentang > pelaksanaan GBHN inilah Mandataris harus > mempertanggung-jawabkan.(lihatlah UUD pasal 3). Juga dalam penjelasan > daripada pasal 3 UUD ini dinyatakan benar, bahwa mandataris harus > mempertanggung-jawabkan tentang pelaksanaan keputusan MPR mengenai GBHN > itu. Dus tidak tentang hal lain-lain." > > Dengan itu, hendak dikatakan kemungkinan kolusi bisa terjadi dalam > proses di DPR dan proses di MPR sehubungan dengan pelaksanaan pasal 7 > Tap MPR III/1978, yakni pada materi Memorandum I dan II. Dakwaan > "benar-benar melanggar Haluan Negara" atau "nyata-nyata melanggar > Haluan Negara" berisi sanksi yang mematikan, yang dalam sistim jury > lazimnya diputuskan secara aklamasi, untuk menghindari kesalahan > pengertian pasal 7 ayat 2 Tap MPR III/1978. > > Kita akan menguji pandangan ABN sebagai berikut: Jika kita mengingat > kembali pada raison d'etre dari reformasi, yang memaksa Presiden > Soeharto mengundurkan diri berdasarkan pasal 8, maka jelaslah bahwa > untuk pertamakali sejak 1966, UUD 1945 itu diuji dalam praktik sebagai > sistim konstitusi. Apa yang terjadi ialah, pasal-pasal UUD 1945 saling > tabrakan: Presiden BJ Habibie tidak dipilih MPR [sesuai pasal 6 ayat 2] > dan tidak pula menjabat sampai habis waktunya [sesuai pasal 8]. > > Meskipun demikian, suksesi Presiden dari Soeharto ke BJ Habibie itu > absah, karena de facto kekuasaan Presiden pada BJ Habibie dan fakta > tacit concent dari MPR ketika itu. Baru kemudian tacit concent dibuat > hukumnya dengan Tap MPR. Hal yang sama terjadi pada terbentuknya pasal > 7 Tap MPR III/1978, yakni setelah de facto "impeachment " terhadap > Presiden Soekarno dengan dijadikannya Surat Perintah 11 Maret sebagai > Tap MPRS IX/MPRS/1966. Selanjutnya, sbagaimana ditulis ABN: "DPRGR > membuat memorandum untuk langsung memanggil Sidang Istimewa MPRS guna > meminta tanggungjawab Presiden Soekarno, tanpa memakai tahapan memo I > dan memo II." Dari fakta ini tampaklah inti argumen ABN mengenai > konstitusi bersifat tacit concent, sebagaimana dirumuskan Markku Suksi: > > ".This concent can also be characterize as a contractual arrangement [ > which is ] involving only one contract, to which rational agent of > later generations also concent. The concenting could perhaps as well be > described as people acting as if there was a contract or an agreement > on the rules. The contract does not, then, directly establish a > rational form of government. " [Suksi,1955, p. 46.] > > ABN tidak mempertimbangkan praktik kolusi hukum yang terjadi dalam > relasi DPR dan MPR ketika pasal 7 Tap MPR III/1978 dipraktikan untuk > pertama kali, yakni pada proses Memorandum DPR ke Sidang Istimewa MPR. > Namun hal itu hanyalah konsekuensi saja dari argumen konstitusinya yang > bersifat tacit concent, sebagaimana dirumuskan Kattzner, > > "Because tacit consent no longer depends on my actions, nor even upon > my actual toughts, but rather upon what I would think under certain > circumstances. [ W] hat I tacitly concent to, may in turn out to be > very different to what I am concenting to. In effect, tacit concent now > lies out-side the hands of those who concenting." [dlm. Suksi, 1995, > footnote 77] > > Keputusan MPR itulah hukum, dan menjadi hukum selama MPR tidak > mengubahnya. Karena itu keputusan MPR tidak bisa dipegang sebagai > kepastian hukum. "The contract does not, then, directly establish a > rational form of government. " > > Apa persoalannya?a > > Jika kita kembali pada konteks diskusi yang sekarang, yakni konflik > penafsiran atas pasal 8 UUD 1945, maka kita kembali pada posisi Mei > 1998, ketika Presiden Soeharto dipaksa berhenti oleh gerakan people > power. Krisis konstitusi yang terjadi selama pemerintahan Presiden BJ > Habibie menyebabkan munculnya pemikiran mengubah UUD 1945, karena dua > hal: [a] perubahan pada tingkat Tap MPR dianggap tidak memadai; [b] > tidak percaya kepada UUD 1945 yang disalahgunakan Presiden Soeharto; > [c] penolakan terhadap apa yang secara kerakyatan disebut KKN. > > Tidakkah aneh bila partai-partai di DPR sekarang mempraktikan kekuatan > mayoritasnya untuk menjatuhkan Presiden, bukan menjatuhkan pemerintah > dalam logika oposisi, tapi dengan mendorong MPR untuk memecat Presiden > sebagai mekanisme lain dari people power? Perubahan UUD 1945 oleh MPR > tahun 1999 dan 2000 telah keluar dari sasaran, demikian pula keputusan > MPR lainnya tahun 1999 dan tahun 2000 tidak bisa diperasionalkan, dan > mengakibatkan krisis politik berlarut-larut seperti sekarang. Itulah > soalnya, sebagaimana ditulis Dr. T Mulya Lubis pada kolom Tempo ketika > menulis mengenai perlunya Reformasi Konstitusi. > > Proses "reformasi" tertahan pada elite, sehingga demokrasi dan > kebebasan tidak mencapai sasaran. Kesadaran publik mengenai "hal ihwal" > tidak berkembang secara wajar dan nalar, media dan partai politik > tertelan dalam "kebebasan tanpa hukum." Kerusakan tertib konstitusi dan > hukum sekarang ini, perlu mendapatkan penilaian saksama sebelum > ber-anjak kepada pertanyaan apa yang harus dilakukan. Mengubah > Undang-undang Dasar" menjadi agenda politik menonjol selain > "memberantas KKN." Namun tidak pernah menjadi jelas "apakah" itu semua, > apalagi kaitan satu dengan lainnya. > > Harus diingat bahwa Tap MPR diciptakan oleh MPRS, ketika pembentukan > DPR tidak dilakukan melalui Pemilu, ketika UUD 1945 sebagai sistim > konstitusi tidak bisa dijalankan tanpa Tap MPR. Dalam membela Tap MPR > sebagai "praktik ketatanegaraan yang telah dijalankan selama lebih dari > 20 tahun" ABN melupakan bahwa selama 20 tahun itulah hukum tatanegara > RI menjadi rawan KKN. Terhadap pasal 7 Tap MPR III/1978, ABN tidak > melihat bahwa materi prosedur Memorandum I dan II tidak memadai karena > rawan kolusi dan menjadi de facto "impeachment" oleh DPR terhadap > Presiden, suatu hal bertentangan dengan konsep pemerintahan > Presidensiil UUD 1945. > > Dari sudut teoretis maupun empiris, pandangan Prof. Harun Alrasid > kritis terhadap KKN pada level constitutional law. Pandangannya yang > bersifat kritis terhadap kolusi, merujuk pada penolakan atas > digunakannya status Tap MPR sebagai perundangan ekstra-konstitusi, atau > keputusan hukum yang ditempatkan diantara UUD [constitution] dan > undang-undang [law]. Apa yang disebut body of constitution dalam UUD > 1945 ialah dua kategori kuasa dan relasi competence-competence dari > MPR, Presiden dan DPR. Di luar pasal 3, pasal 6 ayat 2, pasal 37, MPR > tidak mempunyai kompetensi menentukan jalannya pemerintahan, karena > relasi pemerintahan ada pada kuasa legislatif [pouvoir legislatif] yang > dipegang oleh DPR dan Presiden secara seimbang. > > Meskipun MPR secara empiris-sosiologis mencerminkan "komunalisme" > masyarakat-masyarakat Indonesia, MPR pastilah bukan sesuatu konsep asli > Indonesia seperti banyak dikira orang, dan karenanya harus dibela > sampai mati. Konsep State Assembly sudah dikenal dalam Konstitusi > Republik Estonia tahun 1920, yang sejarah kelahirannya mirip dengan > Republik Indonesia. Dalam State Assembly, pengertian "rakyat" dan > "negara" bisa dipertukarkan, "Majelis Rakyat" artinya "Majelis Negara." > Konstitusi dilihat bukan sebagai kontrak sosial melainkan suatu > peleburan antara penguasa dan rakyat. Disitu pengertian "kedaulatan > rakyat" bersifat metafisik, identik dengan kedaulatan negara. "Majelis > Negara" dimana tidak ada pemisahan antara kuasa konstitusi dan kuasa > legislatif cocok ketika negara dalam keadaan perang. Mungkin > pengetahuan praktik tatanegara Republik Estonia sampai ke elite > Indonesia sekembalinya Suripno dari Uni Soviet dan Eropa Timur dan > Eropa Tengah, antara 1947-1948. > > Adalah ironis, jutru ketika reformasi membuka kemungkinan memperlakukan > UUD 1945 sebagai konsep konstitusi, tapi generasi yang sekarang sudah > tidak mengenal lagi asal-usulnya. Fakta bahwa kasus-kasus KKN susah > diadili bersumber pada Keppres Soeharto yang dibuat berdasarkan "tata > urutan perundangan" dari Tap MPRS XX/MPRS/1966. MPR bertanggungjawab > terhadap KKN yang terjadi pada Orde Baru maupun yang masih berlanjut > hingga sekarang sebagai akibat masih efektipnya Tap MPR. Cara MPR > mengubah UUD 1945 tidak ada bedanya seperti cara MPR mengubah Tap MPR, > karena bunyi pasal-pasal UUD 1945 tampak seperti mantera? > > Kecerendungan untuk membawa perdebatan disekitar pemerintahan Presiden > Wahid keluar dari konstitusi, yakni pada dataran ekstra-konstitusi > [seperti disarankan Jimly Asidhiqie, Suara Pembaruan 25 Mei 2001] bukan > tanpa risiko. Dengan seluruh kewenangan yang dimiliki MPR, toh akhirnya > terserah kepada rakyat Indonesia apakah akan mematuhi keputusan MPR > atau tidak. Pengertian pasal 1 ayat 2 UUD 1945 menjadi kunci. Pasal ini > terdiri atas dua preposisi: [a] "Kedaulatan ada di tangan rakyat." [b] > Preposisi [a] "dilakukan sepenuhnya oleh MPR." Apakah pasal ini ada > mengatur MPR, ataukah mengatur "kedaulatan rakyat," atau keduanya? Jika > mengatur keduanya, apakah "kedaulatan rakyat" bisa diatur? > > Persoalan ini hanya bisa dianalisis secara post-factum: Bila keputusan > MPR diafirmasi rakyat umumnya, artinya keputusannya valid, dan MPR pada > saat itu memang mencerminkan "penjelmaan rakyat." Tapi jika tidak, kita > akan diputar kembali kepada siklus "sistim Orde Baru" dengan kembalinya > represi terhadap kebebasan, atau "moratorium politik" seperti > disyaratkan Megawati. Bahkan dengan mengafirmasi "moratorium politik" > Megawati, masih tersisa pertanyaan lain: Apakah "lengsernya" Presiden > Soeharto, Pemilu 1999, dan pemilihan Presiden tahun 1999 sampai > perubahan UUD 1945, hanya menghapuskan jejak KKN dari kesalahan MPR di > masa lalu? > > Sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak, penolakan Megawati atas > rumusan "pelimpahan tugas konstitusional" yang ditawarkan Presiden > Wahid berimplikasi dua hal: [a] mendorong berlangsungnya Sidang > Istimewa MPR, yang justru hendak dihindari Presiden Wahid karena risiko > respons rakyat, khususnya di Jawa Timur, yang sukar dikalkulasi; [b] > menutup kemungkinan kerjasama Presiden dan Wapres dalam menyusun > kabinet pemerintahan baru. Elite politik sedang memaksakan rakyat > menerima kenyataan sederhana: "kenyataan tidak bisa diubah." Bahkan > gagasan perlunya Mahkamah Konstitusi masih terbuka untuk dipelintir > sedemikian rupa sehingga melanjutkan pembenaran praktik Tap MPR, dengan > dalih menyelamatkan UUD 1945. Namun itu hanya berarti: kekuatan > eksternal yang nanti akan mengubahnya. [*] Penulis aktivis LSM, anggota > PBHI. [Sunday, 27 May 2001] > > > > > [ > > > > URL:http://www.kaumkiri.cjb.net > > To unsubscribe from this group, send an email to: > [EMAIL PROTECTED] > > > > Your use of Yahoo! Groups is subject to http://docs.yahoo.com/info/terms/ > > ...........Menuju Indonesia yang Demokratis dan Berkeadilan............ Untuk bergabung atau keluar dari Milis, silakan anda lakukan sendiri Bergabung: [EMAIL PROTECTED] Keluar: [EMAIL PROTECTED] ->Cake, parcel lebaran & bunga2 natal? Di sini, http://www.indokado.com<--