Kok tdak berkaca ya Cak pada saat di hajar habis-habisan di jaman Orba hingga 
menjelang Pemilu. Lalu tidak belajar pula ketika pemilihan Presiden kalah lalu mereka 
pulang lemas karena amanat kongres Bali tidak terwujud. Apa tidak bisa berefleksi to 
ya.....

Bener Cak... budaya gerombolan.... dan ini tadi DPP PDIP di Liputan 6 mengtakan bahwa 
kekalahan itu adalah sebuah pembelajaran politik. Tampaknya mereka masih harus belajar 
terus Cak... Kita tunggu saja pelajaran apa yang akan mereka peroleh nanti.

Eh.... tetapi kini lagi musim stor muka lho Cak.... Coba kemana saja "Ibu" tindak maka 
banyak muka-muka disetor meskipun sebenarnya tidak ada kaitannya secara langsung. Baru 
saja di Purwokerto, ada Hatta Rajasa, Gogon dll.

Di Yogya Cak, yang katanya menjadi salah satu barometer politik nasional,  sedang 
ramai mengenai balon walikota. Nah di ujung jalan Mataram tepat di sudut hotel Garuda 
ada perang poster antara GPM dan PDIP mengenai Balon Walikota. Perpecahan jelas telah 
terjadi dan para wakil PDIP dari Yogya seperrti Soetarjo Klowor itu tentu akan ABS 
terhadap Ibu... Nanti kita melihat bagaimana akhir pemilihan walikota itu ketika PDIP 
mengatakan bahwa Balon Walikota harus berasal dari kader PDIP padahal yang muncul dan 
banyak dibicarakan dibawah justru kekuatan lama.... Yah semacam nostalgila gitu....




----- Original Message ----- 
From: GIGIH NUSANTARA <[EMAIL PROTECTED]>
To: <[EMAIL PROTECTED]>; <[EMAIL PROTECTED]>; 
<[EMAIL PROTECTED]>
Sent: Thursday, July 12, 2001 8:53 AM
Subject: [Kuli Tinta] Re: Kopi Pagi: Amanat kang wis Kliwat---> Rebutan layangan pedhot



--- åç <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> Tahun 1998 kita telah belajar banyak dari Orbais
> yang mengangkat kembali Soeharto sebagai Presdien
> secara aklamasi. Tiga bulan kemudian, ketua MPR
> Harmoko dan wakil-wakilnya dikuyo-kuyo oleh mhs.
> Banyak mantan pejabat Orba akhirnya tidak kajen
> meskipun ada pula yang muka beton tetap merasa benar
> tidak bersalah sama sekali....
> 
> Sejarah adalah koco benggolo. Mari kita menunggu apa
> pelajaran berikutnya yang akan diberikan oleh
> sejarah. 
> 

--------

Cacak Ki Nggleng menyindir upaya 'rebutan presiden',
lebih-lebih yang dicoba-legitimasikan oleh kelompok
PDI-P sebagai realisasi amanah kongres Bali, yang
mengharuskan gerombolan ini untuk menjadikan 'ibu'
sebagai presiden, sebagai 'amanat sing wis kliwat'.

Kalau ditilik bener-bener, amanat itu kan khusus untuk
pemilu kemarin, lalu disusul SU MPR. Kalau luput,
logikanya, ya pemilu depannya lagi. Bukan malah jadi
amanat sepanjang hayat, ben dino mesti dibikin
practice, untuk menggoyang yang ada, untuk, siapa
tahu, nduk, bakal keturutan olehmu meminati posisi
yang rasanya enak itu.

Amanat Bali untuk 'agar ibu jadi presiden', tentu
bukan dengan cara 'mbuh piye carane', atau 'cenglie
ndak cenglie pokok cwan', harusnya. Bo cenglie,
mestinya, jangan dilakukan (di Surabaya ada toko roti
enak, namanya Tjwan Bo, yang karena akhirnya kalah
maju dibanding pendatang baru, sering aku istilahkan
dengan Bo Tjwan saja). Mesti adalah yang namanya
fatsoen.

Ternyata, tafsiran amanat itu diterima dengan cara
yang benar-benar bo-cenglie tadi, yaitu 'mbuh piye
carane, pokok mresiden' tadi. Cak Ki Nggleng memberi
judul yang pas sekalee.....

Ini mengingatkanku bagaimana anak-anak yang royokan
layangan pedhot. Mereka rela untuk lari lintang
pukang, kesrempet becak, ndlosor kesruduk mobil,
segala. Nikmat sekali rasanya acara seperti itu buat
mereka. Padahal, dibanding rekosonya berebut tadi,
dengan harga layangan itu sendiri, ndak mbejaji babar
siman.

Aku sendiri, juga lebih suka beli layangan hasil
royokan tadi ke anak-anak tadi, selain murah, juga
dijamin bisa muluk (mabur) dukur. Wong mantan layangan
aduan, kan?

Tapi beda, antara royokan layangan di Surabaya dan
Semarang. Di Surabaya, asal sebagian saja dari sosok
layangan tersebut sudah kepegang, dan ybs. berteriak
'roso... roso... roso...', maka berhentilah upaya
perebut layangan tersebut untuk mendapatkan layangan
limbung tadi. Bisa saja udah ketangkep benangnya, atau
salah satu pojokan layangan pedhot tadi.

Sementara di Semarang, meski sudah kepegang oleh
seseorang, dan dia berteriak 'wese... wese... wese',
yang mungkin artinya 'wis kenak aku lho ya', segenap
perebut-layangan-pedhot tadi tak menghiraukannya. Si
penangkep yang 'wese' tadi harus berusaha
menyelamatkan tangkapannya, dengan cara apa pun.
Biasanya, dengan berlari kencang, yang harus
dilakukan, karena si peroyok lain juga akan
mengubernya, sampei bosan.

Jika tidak berhasil, dipastikan layangan pedhot yang
ditangkep tadi pasti robek dan ancur. Sehingga, di
Semarang, aku tak pernah lihat ada layangan limbung
yang utuh. Pasti mawut.

gaya gerombolan pdi-p dalam menunaikan amanat yang
sudah kliwat, untuk mresidenkan ibu, mirip dengan gaya
rebutan layangan ala semarangan tadi. Ini jelas akan
memberikan penilaian sendiri terhadap gerombolan ini
kala pemilu depan. Atau, pantes aja gerombolan ini tak
suka pemilu dipercepat.

(ayah pilu, ibu pilu, anak-anak pilu, lha wong pemilu....)

=====
+==========================================================+
| Sugih durung karuwan, sombong didisikno...               |
| Nek kate banyolan, http://matpithi.cjb.net ae, rek... |
| Jugak boleh ke http://www.itjurnal.com, soal IT          |
+==========================================================+

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Get personalized email addresses from Yahoo! Mail
http://personal.mail.yahoo.com/

...........Menuju Indonesia yang Demokratis dan Berkeadilan............
Untuk bergabung atau keluar dari Milis, silakan anda lakukan sendiri
Bergabung: [EMAIL PROTECTED]
Keluar: [EMAIL PROTECTED]

->Cake, parcel lebaran & bunga2 natal? Di sini, http://www.indokado.com<-- 



...........Menuju Indonesia yang Demokratis dan Berkeadilan............
Untuk bergabung atau keluar dari Milis, silakan anda lakukan sendiri
Bergabung: [EMAIL PROTECTED]
Keluar: [EMAIL PROTECTED]

->Cake, parcel lebaran & bunga2 natal? Di sini, http://www.indokado.com<--

Kirim email ke