Republika
Selasa, 7 Agustus 2007
Memberdayakan Open Source
Ikbal Maulana dan Dwi Handoko
Peneliti dan Pegiat Open Source di BPPT
Indonesia bukanlah negara kaya. Perekonomian kita masih terpuruk.
Sektor riil masih membutuhkan perjalanan panjang untuk kembali ke
prestasi puncaknya seperti saat sebelum krisis ekonomi dulu. Belum
lagi rangkaian bencana alam, dan bencana karena kecerobohan kita, yang
datang bertubi-tubi membuat kondisi bangsa ini tidak semakin baik.
Namun, dengan segala keterbatasan dana yang ada, kita tetap harus
melakukan kegiatan pembangunan, termasuk, yang tak terelakkan,
memenuhi kebutuhan akan teknologi informasi (TI).
Berkaitan dengan kebutuhan akan TI, paling tidak ada dua masalah besar
yang sekarang ini penyelesaiannya sekilas tampak bertentangan.
Pertama, kita sudah lama berada dalam Priority Watch List terkait
dengan pembajakan hak cipta software musik maupun film, di mana hal
ini memperburuk citra kita di mata dunia, dan secara tidak langsung
membuat Indonesia tidak menarik bagi investor. Hal yang kedua, kita
menghadapi kondisi kesenjangan digital, di mana sebagian besar
masyarakat kita tidak bisa mendapatkan informasi dan pengetahuan yang
aksesnya menuntut penggunaan TI.
Sebuah jawaban
Untuk mengatasi permasalahan pertama, DPR sudah mengesahkan
Undang-undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, dan kemudian yang
terakhir ini pemerintah melalui Menkominfo Sofyan A Djalil
menandatangani MoU dengan Microsoft. Kedua hal tersebut bisa memiliki
implikasi yang membuat pemerintah perlu mengeluarkan anggaran
pembelian lisensi software. Untuk permasalahan yang kedua, ada fakta
yang menarik, dalam kondisi saat ini dengan tingkat pembajakan yang
tinggi saja, kesenjangan digital di Indonesia masih cukup parah.
Bisa dibayangkan bagaimana kondisi kesenjangan digital Indonesia
kelak, jika hanya dibatasi pada penggunaan software-software
proprietary, yang notabene harganya belum terjangkau oleh masyarakat
kebanyakan di Indonesia? Jadi, pertanyaannya, mampukah kita mengatasi
kesenjangan digital melalui pembelian software-software proprietary?
Anggaran negara sangat terbatas, sementara banyak masalah lain yang
lebih mendesak. Dan juga, apakah untuk menghapus citra negeri pembajak
hanya bisa dilakukan dengan membeli software-software komersial?
Ketersediaan open source software (OSS) memungkinkan kita bisa
menjawab 'tidak' pada kedua pertanyaan tersebut. Hal ini karena banyak
OSS yang bisa kita unduh (ambil) secara gratis dari internet. Bahkan,
untuk menekan biaya akses internet, banyak pihak menggandakan dan
mendistribusikan OSS dalam bentuk CD. Calon pengguna cukup membayar
biaya CD dan distribusi yang murah. Dan ini legal! Artinya dengan
biaya minim, kita bisa juga menghindari Priority Watch List. Dari segi
kualitas, kita tidak perlu ragu, karena telah banyak negara yang
berusaha menghemat devisa dengan mendifusikan OSS, termasuk ke
lembaga-lembaga pemerintah.
Dengan ketersediaan OSS yang berlimpah di internet, dukungan komunitas
pengembang lokal maupun internasional, maupun para penulis, penerbit
buku-buku, termasuk para pengguna itu sendiri, pemerintah bisa
bertindak sangat tegas terhadap pembajakan tanpa khawatir akan
berdampak negatif pada upaya mengatasi kesenjangan digital. Penjualan
software ilegal yang marak di tempat-tempat tertentu, termasuk kawasan
dagang ternama, bisa ditindak. Hal ini akan lebih memperbaiki citra
Indonesia dibandingkan pemerintah harus mengeluarkan anggaran besar
untuk membeli software proprietary, namun membiarkan penjualan
software ilegal yang sangat terlihat mata dan marak.
Tindakan tegas terhadap pembajakan akan mendorong penggunaan OSS.
Selanjutnya, penggunaan OSS yang luas akan mendatangkan penghematan
devisa yang sangat besar, serta dapat membebaskan diri dari
ketergantungan pada vendor software tertentu. Lalu, apa yang perlu
dilakukan pemerintah untuk mendorong penggunaan OSS? Lembaga-lembaga
pemerintah yang lain, bisa meniru apa yang telah dilakukan oleh
Kementerian Negara Riset dan Teknologi (KNRT), yakni mewajibkan
penggunaan software legal di lingkungan masing-masing. Software
proprietary yang telah dimiliki, asal legal, boleh tetap digunakan.
Jika tidak, dan tidak ada dana untuk mengadakannya, mau tidak mau
harus bersedia migrasi ke OSS.
Upaya difusi OSS ini harus dilakukan dengan menjaga keseimbangan
antara memenuhi kebutuhan TI dan dana terbatas, serta harus tetap
menjaga persaingan yang adil. Perlu dibuat aturan yang baik untuk
menjamin terjadinya hal ini. Misalnya, dalam pengadaan perangkat lunak
di lingkungan pemerintah, harus tetap ada penilaian berdasarkan
kriteria keunggulan teknis, di samping biaya.
Banyak masyarakat pengguna maupun calon pengguna TI yang kurang
mengenal OSS. Informasi yang diperlukan di sini bukan hanya mengenai
teknologi OSS, tetapi dan terutama, siapa yang akan memberikan jaminan
serta dukungan teknis terhadap OSS ketika ada masalah. Pengguna TI
perlu melihat OSS in action dalam mendukung kegiatan operasional,
bukan cuma melihat presentasi dalam seminar. KNRT, melalui proyek IGOS
Nusantara, telah mempromosikan, menyediakan sistem operasi, serta
menyiapkan help desk untuk memberikan dukungan teknis.
Kebutuhan OSS Indonesia terlalu besar untuk hanya ditangani oleh satu,
bahkan beberapa lembaga pemerintah. Perlu upaya untuk menumbuhkan
industri OSS, termasuk bisnis-bisnis pelayanan teknis, yang membantu
pengguna awam untuk memasang, mengkonfigurasi sistem, memberikan
pelatihan, sampai memberikan bantuan teknis ketika pengguna menghadapi
masalah.
Kendala
Dukungan teknis bagi pengguna awam ini lebih diperlukan. Memperbanyak
distro (paket sistem operasi) tanpa meningkatkan kualitas pelayanan,
hanya akan membingungkan pengguna awam, karena mereka akan melihat
masing-masing distro sebagai sistem operasi yang berbeda, yang tidak
kompatibel satu sama lain. Selain IGOS Nusantara, telah ada beberapa
distro seperti Blankon, Winbi, Kuliax, DD dan lainnya, belum lagi
keberadaan distro-distro luar negeri yang sebenarnya merupakan sumber
dari distro yang ada di Indonesia. Karena lemahnya atau ketiadaan
dukungan teknis bagi pengguna awam, sebagian besar distro ini kurang
menyebar.
Hal lain yang bisa membuat pengguna enggan menggunakan OSS adalah
banyak peralatan, seperti pencetak (printer), pemindai (scanner),
kamera, dan lain-lain, yang tidak memiliki driver bagi sistem operasi
OSS. Karena itu, agar adil buat pengguna, pada pembelian peralatan
komputer perlu ditetapkan agar vendor menyediakan driver (software
pengendali) bagi peralatan tersebut, baik driver untuk sistem operasi
proprietary, maupun sistem operasi open source. Mengingat pasar
pemerintah yang cukup besar, bisa dipastikan industri akan memenuhi
tuntutan ini.
Harus diakui banyak tantangan dalam memasyarakatkan OSS di Tanah Air.
Namun, dalam kondisi ekonomi yang masih terpuruk, OSS merupakan solusi
yang cerdas untuk mengatasi pembajakan software sekaligus mengatasi
kesenjangan digital dengan biaya terbatas.
Ikhtisar
- Pembacakan hak cipta software telah membuat citra Indonesia menjadi
buruk di mata dunia.
- Keberadaan UU Hak Cipta dan naskah kerja sama pemerintah dengan
Microsoft, membawa dampak berupa penyediaan dana pembelian lisensi
perangkat lunak.
- Kondisi tersebut sebenarnya bisa ditekan dengan memanfaatkan open
source software (OSS) yang tersebar di internet.
- Dukungan pemerintah sangat diperlukan bagi berkembangnya industri OSS.
( )
--
ryan_oke <ryan.oke at gmail titik com>
--
Berhenti langganan: [EMAIL PROTECTED]
Arsip dan info: http://linux.or.id/milis