On Sunday 28 October 2007, Sumitro wrote:

> Khusus data asing yang saya sangat ragukan kebenarannya di lingkungan
> Telematika akhir2 ini adalah angka2 yang di-quote oleh Bapak Dirjen HAKI
> dalam setiap seminar dan Roadshow beliau, yang menurut beliau bersumber
> dari MS dan BSA, yaitu:
>  - Angka pembajakan software di Indonesia tahun 2005 adalah 87%, nomor TIGA
> terbesar di dunia

Pak Sumitro,

Angka BSA ini sudah sejak lama 'tidak dipercaya' oleh para aktivis teknologi 
informasi. Bukan cerita baru. Hanya sebagian 'oknum' saya yang masih percaya 
atau memang sengaja memilih menggunakannya karena sesuai dengan kepentingan.

Mungkin kalau Pak Dirjen HAKI menggunakan angka riil peneliti dalam negeri, 
yang hanya sekitar 30%, tentu urgensi tugasnya menjadi sangat jauh berkurang 
sehingga data asing lebih positif diperlukan untuk mendukung legitimasinya.

BSA adalah lembaga yang didirikan oleh para vendor aplikasi multinasional yang 
lebih berorientasi pada kepentingan marketing ketimbang penegakan hukum. Maka 
semua data yang digunakan tentu saja menggunakan basis argumentasi pasar.

Termasuk angka pembajakan di Indonesia sebesar 87%, adalah sebuah asumsi yang 
diperoleh dari 'potensi pasar' nasional yang terutama berdasarkan estimasi 
jumlah total perangkat keras komputer yang sudah digunakan dan dipasarkan 
tiap tahunnya. Data penetrasi komputer itu banyak bersumber dari lagi-lagi 
vendor asing, yaitu data ekspektasi mereka terhadap pasar di Indonesia.

Kalau angka-angka ekspektasi tersebut tidak tercapai, mereka melemparkan aib 
dan tuduhan kepada komputer rakitan yang mendominasi pasar (hingga 80-an % - 
lihat angkanya tidak beda jauh dengan angka pembajakan versi BSA, silahkan 
dikonfirmasi ke Apkomindo). Karena komputer rakitan hampir pasti tidak ada 
atau tidak dilengkapi oleh OS dan aplikasi resmi maka dianggap membajak.

Padahal, belum tentu semua komputer rakitan membajak, karena mereka ada yang 
digunakan di berbagai instansi dan akhirnya membeli juga aplikasi resmi serta 
mungkin menggunakan aplikasi alternatif misalnya FOSS. Tidak fairnya, data 
ini tak pernah dikompilasi kembali untuk mengurangi 'angka pembajakan'.

Jadi angka pembajakan 87% sebenarnya maksudnya adalah 87% komputer beredar 
tidak menggunakan aplikasi client BSA, yang tentu saja belum tentu membajak!

Lalu, kenapa Indonesia ada di peringkat 3? Ya tentu saja karena potensi pasar 
Indonesia sebenarnya ada di peringkat 3 dalam perhitungan marketing mereka. 
Sudah sejak lama dipahami bahwa angka peringkat ini oleh BSA selalu jadi alat 
utama propaganda untuk 'menyandera' pasar dan penentu kebijakan suatu negara.

Pemerintah Amerika Serikat, yang menjadi negara asal semua vendor aplikasi di 
dalam BSA, tentu saja mendukung 'fakta-fakta pembajakan' versi BSA ini dan 
selalu melakukan tekanan pada negara-negara 'peringkat pembajakan terburuk'. 
Jadi sekali lagi, kita perlu memahami bahwa dibalik semua data itu semuanya 
hanyalah demi kepentingan ekonomi, marketing semata, bukan penegakan hukum.

Kita bisa dengan mudah melihat tendensi ekonomi itu lewat pendekatan agen BSA 
terhadap para tersangka 'pengguna aplikasi bajakan' adalah dengan menawarkan 
solusi 'perdamaian' termasuk salah satunya dengan pemerintah kita melalui MOU 
sehingga propaganda peringkat pembajakan hanyalah demi untuk daya tawar saja.

Kalau niatan utamanya adalah penegakan hukum, tentu jelas pengadilan akan jadi 
solusi utama, bukan 'pembelian khusus'. Negara-negara eropa adalah komunitas 
yang sejak awal sudah menolak upaya propaganda, dominasi dan hegemoni ini dan 
memilih alternatif FOSS untuk menyeimbangkan. Sepatutnya Indonesia menirunya.

Siapa tahu Pak Sumitro punya kontak langsung ke Pak Dirjen HAKI untuk memberi 
beliau pencerahan terhadap isu ini sehingga lebih fair. 

-- 
Regards,

Pataka

-- 
Berhenti langganan: [EMAIL PROTECTED]
Arsip dan info: http://linux.or.id/milis

Kirim email ke