Salam, On Dec 8, 2010, at 1:48 PM, Resza Ciptadi wrote:
>> pembicaraan semakin menarik. > > Wah sudah 4 post minta di lanjut ... Pa Diedien lagi sibuk mungkin. Maaf, tiga hari terakhir saya mendadak mudik karena ada keluarga yang wafat. > Ta coba urun rembug masalah ini dari opini saya ... > > Bagi saya sebuah profesinalisme dan resource management tidak melulu > di dominasi oleh entitas bisnis memang bisa jadi mungkin. Tapi pola > organisasi yang lebih berperan pada profesionalisme. Dan pola > organisasi dengan struktur rapi rasanya lebih bisa di capai bila dalam > kerangka bisnis entiti (menurut saya). Mungkin pa Diedien bisa > mencerahkan bagaimana bila di implementasikan dalam kerangka > non-bisnis nanti(sy kurang paham). Menurut saya, profesionalisme dibina dari tiga pilar utama gerakan FOSS/Linux: 1. Individual. Baik sebagai aktivis, trainer, periset, pengembang maupun entepreneur dll. senantiasa meningkatkan kapasitas pribadinya. Misalnya antara lain dengan membekali diri dengan berbagai sertifikasi keahlian di bidang FOSS secara umum maupun khususnya Linux sesuai dengan bidang yang diminati oleh masing-masing. Di Indonesia ini aktivis FOSS/Linux sangat banyak bahkan saya kira telah melebihi para teknisi dan marketing proprietary. Akan tetapi baru sangat sedikit yang memiliki kualifikasi formal misalnya sebagai Linux trainer, teknisi/admin dlsb. Padahal hampir di semua seri sertifikasi profesional IT internasional memiliki program khusus untuk FOSS/ Linux. Salah satu kendalanya mungkin adalah karena motivasi dan kesadaran akan pentingnya sertifikasi ini dalam pergaulan di dunia IT baik itu untuk memenuhi tuntutan profesional secara bisnis maupun gengsi secara individu. Biaya mungkin juga salah satu masalah walaupun sebenarnya ada banyak bea siswa maupun program kerjasama yang dapat memangkas harga materi, ujian dan sertifikasi keahlian. Misalnya dengan mengadopsinya sebagai kurikulum kampus (beberapa perguruan tinggi seperti Gunadarma) sudah melakukan ini sehingga ketika mahasiswa lulus selain mendapat ijazah juga sertifikat keahlian sebagai modal memasuki dunia profesional. Saya sering memberikan ilustrasi, misalnya saja ketika sedang diselenggarakan suatu seminar, para aktivis FOSS/Linux umumnya tampil dengan tanpa "titel" apapun. Sementara koleganya yang berasal dari dunia proprietary di kartu namanya saja berderet berbagai macam titel sertifikasi keahlian terbitan vendor. Dunia dimana kita hidup sekarang ini seringkali harus berhadapan dengan situasi dimana "perception is reality". Dengan penampilan seperti ilustrasi saya di atas maka belum apa-apa dunia FOSS/Linux menjadi terpersepsikan sesuai penampilan sang aktivis. Bagi audiens pengaruhnya adalah, mereka jadi memandang sebelah mata seolah kelas solusi FOSS/Linux masih belum beranjak dari kesan "kumuh", "gerombolan tidak jelas" dan tidak bisa diandalkan karena tidak profesional. Lain soal ketika aktivis mampu tampil percaya diri karena memiliki "well recognize professional certification". Di dunia IT seringkali justru titel sertifikasi lebih berharga dan diakui ketimbang gelar akademik seperti doktor, profesor. Selain itu pembinaan profesionalitas pribadi ini patut didukung dengan mentalitas, integritas diri yang baik dalam arti mampu menjaga moral dan etika dalam pergaulannya dan menetapkan ini sebagai standar yang harus dijaga. Yang terakhir, senantiasa berupaya meningkatkan pengetahuan dan kemampuan. Kebanyakan pemegang lisensi dan sertifikasi bahkan yang sudah lama berkecimpung di dunia profesional sekalipun ternyata sering mengabaikan masalah update ini. Seperti kernel, isi otak pun serta keterampilan harus diasah serta diperbaharui terus menerus secara periodik. Semua jenis sertifikasi punya program update yang kontinue bahkan sebagian diantaranya sampai melakukan ujian evaluasi selang beberapa tahun setelah sertifikasi diperoleh. Semacam kelas review dan ujian ulang. Ini dilakukan untuk menjamin kualitas lulusan yang telah dihasilkan dan untuk kredibilitas profesionalnya. Catatan penting: menjadi profesional tidak harus kehilangan jiwa kerelawanan. Silahkan ini kita diskusikan nanti, kalau tertarik. 2. Organisasi. Legal formal di satu sisi (memiliki badan hukum dan struktur yang baku) dan profesionalisme organisasi di sisi yang lain sebenarnya adalah dua hal yang beriringan. Walau faktanya suatu organisasi formal memiliki legalitas belum tentu serta merta menjadi profesional. Sebaliknya tidak ada masalah tetap menjadi OTB (organisasi tanpa bentuk) asalkan mampu bekerja secara profesional. Artinya di dalam organisasi itu ada suatu standar dan budaya yang harus dibentuk dan dipatuhi sebagai aturan main yang baku. Misalnya KPLi, walaupun bentuknya OTB tapi bisa saja dirumuskan sebuah model tata kelola baku yang mengarah pada penyelenggaraan suatu organisasi secara profesional. Sejak mulai dari perekrutan dan sistem kaderisasi ada standar minimal kecakapan/kompetensi yang harus dipenuhi dan mengikuti kelas matrikulasi untuk menyamakan tingkatan diantara anggota. Selanjutnya ada penjenjangan atau tingkatan keanggotaan yang masing-masing juga harus melewati jenjang pendidikan (misalnya diklat). Bahkan bila perlu syarat keahlian serta pengalaman tertentu. Ada kewajiban masa bakti dan keterlibatan minimal dalam kegiatan organisasi dan organisasinya sendiri punya program terstruktur secara periodik misalnya sejumlah agenda tahunan yang wajib/harus diselenggarakan maupun event bebas. Kalau dulu pernah menjadi aktivis kampus pasti mudah memahami penjelasan saya di atas. Apabila KPLi bisa diselenggarakan dengan tata kelola yang baku semacam unit kegiatan mahasiswa di kampus, saya kira lambat laun di masyarakat akan terpersepsikan seperti apa KPLi dan diakui keberadaan dan kompetensinya. Tidak lagi distigma sebagai gerombolan tidak jelas tanpa disiplin. Kebanyakan udiens dan mitra counter part KPLi di luar menuntut adanya kepastian keberlangsungan organisasi. Keluhan yang sering disampaikan: bagaimana mau kerjasama dan menjatuhkan pilihan pada FOSS/linux apabila tidak ada jaminan misalnya untuk pendampingan jangka panjang karena organisasi KPLi tidak memiliki mekanisme kaderisasi yang baku dan kredibel. Suatu organisasi bisa saja tetap informal dan otonom bahkan mungkin punya ciri khas lokal, akan tetapi apabila di dalamnya diisi oleh para aktivis yang memiliki kualifikasi personal sebagai profesional, maka dengan sendirinya akan lebih mudah diterima dan dipercaya oleh masyarakat. Inilah yang sebenarnya yang dibutuhkan dan dicari kesesuaian dengan ekspektasi masyarakat (link and match). Misalnya di dunia profesi hukum kita mengenal adanya forum atau klub informal yang menjadi tempat "nongkrong" para aktivis, pakar, akademisi, praktisi di bidang tersebut. Dengan sendirinya forum tersebut tetap diakui keberadaannya walaupun tidak memiliki badan hukum serta legal formal sebagai suatu organisasi. Karyanya diterima, pendapatnya diperhatikan oleh publik. Yang terakhir, suatu organisasi sosial seperti KPLi ini apabila ingin tumbuh dan berkembang menjadi semakin kuat patut meningkatkan kapasitasnya melalui interaksi, bergaul dengan organisasi masyarakat sipil lainnya. Biasanya beberapa LSM serta donor bisa membantu memfasilitasi melalui program pembinaan atau pemberdayaan. Dari pergaulan itu sedikit demi sedikit organisasi seperti KPLi dapat belajar profesionalisme dalam konteks organisasi. Salah satu keuntungan lainnya dari pergaulan itu adalah sumber daya untuk mendukung aneka program dan kegiatan. Catatan penting: gaya organisasi paternalistik masih menjadi ciri khas utama organisasi aktivis FOSS/Linux seperti KPLi. Dimana tingkat ketergantungan organisasi pada tokoh tertentu sangat besar. Sang tokoh biasanya memiliki sumber daya yang menghidupi organisasi sehingga ruang lingkup aktivitasnya sering ditentukan sepihak sesuai "selera" beliau. Pasang surut organisasi juga ditentukan oleh naik turunnya motivasi sang pemimpin. Model ini harus diubah sebab dalam organisasi profesional modern basisnya adalah aturan main yang disepakati bukan ketokohan. Figur diperlukan tidak untuk mengkooptasi tata kelola organisasi namun justru dimanfaatkan untuk kepentingan memperluas akses sumber daya dan relasi. 3. Bisnis. Saya ingat pernyataan salah seorang rekan aktivis FOSS/Linux yang menyatakan bahwa bisnis di bidang ini sangat unik. Salah satunya karena kekuatan utamanya justru berasal dari komunitas, dibangun dari sana tidak bersandar pada kekuatan korporasi dan kapital. Bisnis di bidang ini justru mengedepankan semangat kebersamaan dan kerjasama. Profesionalisme bisnis FOSS/Linux selalu memiliki keterkaitan yang kuat terhadap aktivitas di sisi komunitasnya. Maka kedewasaan para pebisnis FOSS/Linux serta tingkat profesionalitasnya sebenarnya juga ditentukan. Kendala yang dihadapi oleh pebisnis ini di Indonesia dalam pengamatan saya nampaknya disebabkan oleh kurang harmonisnya atau kurang selarasnya relasi dengan komunitas. Pada satu sisi tuntutan dunia bisnis agar selalu berada di jalur profesional tidak menemukan jalur interaksi yang cukup nyaman dengan komunitasnya. Alternatifnya tentu semestinya para pebisnis FOSS/Linux turut membantu memberdayakan komunitas terutama aktivis FOSS/Linux untuk lebih cepat memasuki tingkatan profesional. Sehingga ini dapat menolong interaksi mereka hingga terjadi kesepahaman. Apabila ini terjadi, maka bisnis FOSS/Linux di Indonesia akan benar-benar memiliki basis/akar yang kuat untuk maju dan berkembang, walaupun kebanyakan skalanya UKM tidak akan minder ketika menghadapi raksasa proprietary di dunia persaingan pasar bebas sekarang ini. Profesionalisme dan kematangan suatu sektor industri juga antara lain ditentukan oleh regulasi pemerintah serta kemampuan para pebisnis untuk menciptakan platform tatanan industri yang fit dengan semua produk layanan yang berputar di dalamnya. Biasanya upaya ini dicapai melalui organisasi profesional seperti asosiasi atau ikatan profesi. Mereka inilah yang menjalankan fungsi dan peran aktivis profesional dalam lingkup industri. Selanjutnya salah satu tugas mereka adalah sebagai mitra pemerintah untuk menyusun regulasi (peraturan perundangan) dan kebijakan menyangkut gerakan FOSS/Linux terutama dalam konteks pembinaan dan pengembangan tatanan industri. Catatan penting: saat ini kita sudah memiliki AOSI sebagai organisasi asosiasi yang menjadi representatif satu-satunya mewakili aktivis dan profesional dari kalangan industri. Apakah keberadaan AOSI telah sebagaimana yang diharapkan, tentu menjadi tanggung jawab dan pekerjaan rumah kita semua untuk turut berkontribusi dan menyempurnakannya. Sementara itu dulu, sekedar sumbangan wacana kiranya dapat didiskusikan lebih lanjut. Terima kasih. _______ Regards, M. Salahuddien -- Berhenti langganan: linux-aktivis-unsubscr...@linux.or.id Arsip dan info: http://linux.or.id/milis