Salam kasih saudaraku Semua,



Mungkin ini hanya sekedar informasi buat kita semua, dimana film dan buku
"The Da Vinci Code" yang menjelaskan sisi lain yang tidak tidak pernah kita
dengar, apakah ini merupakan bukti sejarah yang hilang? Ataukah hanya fiksi
belaka?  Atau mungkin pula yang disebut sebagai kitab suci yang kita baca
bukanlah yang sebenarnya?



Sungguh sulit kita membedakan mana kebenaran dan mana yang tidak kalau kita
bicara suatu masa lampau, karena sesuatu yang tidak kita lihat, sesuatu
sejarah yang terjadi dapat di manipulasi, seperti yang terjadi pula di
Indonesia mengenai Gerakan 30 September 1965, manakah yang benar?



Bagaimana tanggapan saudaraku semua?, semoga ini menjadi bahan diskusi
menarik buat kita sekaligus dapat menambah wawasan kita bahwa guru Buddha
mengatakan "bukanlah kita seharusnya melihat kebelakang ataupun ke depan
tetapi saat ini, sekarang apa yang kita buat, kesadaran saat ini dalam
bertindak, inilah kebenaran yang sesungguhnya".

Guru Buddha selalu mengatakan pula "dengan Ehipasiko kita berjalan".



Berikut adalah salah satu komentar dari seorang  ketua umum persekutuan
Injil Indonesia terhadap "The Da Vinci Code".  Tentu setiap orang juga akan
menilainya dengan pendapat sendiri-sendiri.

Karena sesuatu itu tidak ada yang pasti, semua relative, yang pasti hanya
satu yaitu "Kematian".  Setiap makhluk apapun juga pasti akan mengalami
kematian, disebabkan adanya kelahiran.



Salam metta selalu,

Akwang



  _____ 

From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: Tuesday, May 23, 2006 9:54 AM
Subject: Fw: Mengungkap THE DA VINCI CODE...(^^)...



Mengungkap "The Da Vinci Code"

Oleh Pdt Dr Ir Bambang Wijaya/Ketua Umum Persekutuan Injili Indonesia

THE Da Vinci Code adalah salah satu novel terlaris dekade ini, sejak
diterbitkan pada 2003, di seluruh dunia buku ini telah terjual lebih dari 40
juta copy!

Bila jumlah tersebut didistribusikan di seluruh Indonesia, sama dengan
setiap rumah tangga memiliki sebuah buku tersebut. Buku ini tentu dapat
berdampak pada pola pikir masyarakat. Dampak yang diharapkan secara jelas
dituliskan pada sampul depan edisi bahasa Indonesianya, yaitu "memukau
nalar, mengguncang iman!"

Dampak yang dalam edisi bahasa Inggris tidak dicantumkan ini, dapat semakin
besar dengan tayangan versi layar lebarnya, melalui film yang dibintangi Tom
Hanks, aktor Hollywood yang sangat terkenal, dan diluncurkan serempak di
seluruh dunia pada 19 Mei 2006 ini.

Hujatan terhadap Iman Kristiani

Buku ini memang diharapkan untuk mengguncang iman karena novel ini, edisi
bahasa Indonesianya setebal 624 halaman, terang-terangan menghujat
pokok-pokok iman Kristiani. Berikut adalah hujatan tersebut yang merupakan
pandangan si penulis:

1. Yesus bukanlah Tuhan, melainkan manusia biasa.

Kaisar Konstantin dari kerajaan Romawilah yang menjadikan Yesus sebagai
Tuhan, melalui konsili Nicea pada tahun 325 demi kepentingan politiknya.

2. Kitab Perjanjian Baru yang digunakan oleh orang Kristen saat ini adalah
himpunan dari kitab-kitab yang disusun oleh Kaisar Konstantin melalui
konsili Nicea. Sedangkan kitab-kitab suci yang benar, yaitu yang digunakan
oleh para pengikut Yesus yang asli, justru dibakar berdasarkan putusan
konsili tersebut sebab berisikan "kebenaran" yang sesungguhnya, yaitu bahwa
Yesus adalah seorang manusia biasa dan bukan Tuhan.

3. Yesus menikah dengan Maria Magdalena dan memiliki seorang putri.

Maria terpaksa harus mengungsi ke Prancis, berlindung di antara masyarakat
Yahudi dan melahirkan anaknya di sana. Hal ini antara lain dikarenakan rasul
Petrus merasa cemburu sebab Maria Magdalena, sebagai seorang perempuan,
telah dipilih oleh Yesus untuk menjadi kepala gereja.

Untuk mengemukakan hujatannya tersebut sang penulis dengan sangat licin
telah memadukan:

1. Cerita-cerita khayalan, fiksi
2. Fakta-fakta sejarah
3. Data yang tidak akurat dan tafsiran yang melenceng terhadap beberapa
fakta sejarah
4. Keyakinan teologisnya yang bersifat anti Kristen

Karena keempat hal tersebut dijalin rapi di dalam sebuah tulisan yang rancak
dan dengan setting cerita thriller yang menarik, menegangkan serta penuh
kejutan, maka dengan mudah orang terhanyut dalam alur cerita tanpa dapat
membedakan fakta dan fiksi. Akibatnya bagi yang tidak paham sejarah gereja
dengan mudah akan terperangkap kedalam jerat keyakinan teologis sang
penulis. Bahkan, orang dapat terbawa kepada ajaran sang penulis yang
merupakan ajaran kafir, seperti memandang hubungan seks bebas sebagai sarana
untuk berhubungan dengan Tuhan.

Ringkasan Plot Cerita

Buku ini diawali dengan pembunuhan terhadap Jacques Sauniere, curator Museum
Louvre, di Paris, oleh Silas seorang biarawan berkulit albino, demi mendapat
rahasia batu kunci Priory of Sion, karena di situ termuat informasi tentang
letak Cawan Kudus (Holy Grail), yaitu cawan yang digunakan oleh Yesus dalam
perjamuan kudus terakhir bersama para murid-Nya.
Sebelum meninggal Jacques Sauniere sempat memberi petunjuk sandi yang
mengakibatkan Robert Landon, ahli ilmu simbol dari Universitas Harvard, ikut
terlibat dalam kasus ini. Robert Landon lalu bekerjasama dengan Sophie
Neveu, ahli ilmu sandi pemerintah Prancis, yang juga cucu perempuan Jacques
Sauniere. Dalam upaya ini, keduanya terus diburu oleh Kapten Bezu Fache,
anggota reserse kriminal Prancis, dan Silas.

Kapten Bezu ingin mengungkap kasus pembunuhan, sedangkan Silas ditugasi
pemimpin Opus Dei, sebuah organisasi rahasia Gereja Katolik, demi
menyelamatkan Gereja Katolik. Di tengah cerita, Robert Landon dan Sophie
Neveu berjumpa Sir Leigh Teabing, ilmuwan yang mendalami rahasia Cawan
Kudus.

Teabing memaparkan berbagai "rahasia gereja", di antaranya: Yesus hanyalah
manusia biasa yang menikah dengan Maria Magdalena. Sehingga demi kepentingan
politiknya Kaisar Romawi Konstantin menetapkan Yesus sebagai Tuhan melalui
sebuah konsili (sidang gereja) di kota Nicea pada tahun 325. Dalam konsili
tersebut diputuskan semua "kitab suci yang benar", yang menyatakan Yesus
manusia biasa, dilarang dan dibakar.

Sedangkan para "pengikut Yesus yang asli", yaitu mereka yang tak mempercayai
ketuhanan Yesus ditetapkan sebagai kaum bidat, dan harus dimusnahkan. Lebih
jauh Teabing menjelaskan Leonardo da Vinci, yang adalah anggota serikat
rahasia Priory of Sion, mengetahui rahasia pernikahan Yesus dengan Maria
Magdalena, sehingga tugas serikat ini menjaga rahasia itu. Namun Leonardo da
Vinci membocorkannya melalui lukisannya yang sangat terkenal, The Last
Supper (Perjamuan Malam yang Terakhir) yang melukiskan suasana perjamuan
Paskah sebelum Yesus ditangkap. Lukisan tersebut menyembunyikan beberapa
kode yang menunjukkan Maria Magdalena adalah istri Yesus. Kode-kode tersebut
diantaranya: tidak adanya gambar Cawan Suci pada lukisan tersebut. Orang
yang duduk di sebelah kanan Yesus, sesungguhnya adalah gambar Maria
Magdalena, bukan rasul Yohanes. Posisi tubuh Yesus dengan Maria Magdalena di
dalam lukisan tersebut membentuk huruf V, supaya orang yang mencari-cari
gambar Cawan Suci akan menangkap kode huruf V ini, mendapati sesungguhnya
Maria Magdalenalah Sang Cawan Suci yang mereka cari.

Huruf V merupakan simbol dari cawan yang juga simbol seorang perempuan, dan
Leonardomemakai Cawan Suci sebagai kode untuk memberitahukan Yesus menikah
dengan orang yang duduk di sebelah kanan-Nya, yaitu Maria Magdalena.
Lukisan itu juga ingin memberitahukan betapa bencinya rasul Petrus kepada
Maria Magdalena, sebab Maria telah dipercaya Yesus untuk memimpin gereja. Di
situ dilukiskan wajah Petrus penuh amarah dengan jari telunjuknya diarahkan
ke leher Maria Magdalena. Teabing juga menjelaskan Gereja Katolik telah
berkonspirasi menutupi fakta Yesus hanya manusia biasa, dan Vatikan
mengetahui kebohongan ajaran kalau Yesus adalah Tuhan. Rahasia ini dijaga
demi mempertahankan kekuasaan gereja.

Kejutan di akhir cerita, terungkap bahwa ternyata Teabing-lah tokoh kunci
dalang pencarian batu kunci Priory of Sion, dan bahwa Sophie Neveu adalah
keturunan Maria Magdalena dari perkawinannya dengan Yesus.

Fakta dan Fiksi

Seperti yang saya kemukakan di atas, Dan Brown, menulis novelnya dengan
sangat licin. Dia menjalin beberapa fakta dan fiksi, atau kisah khayal,
sehingga orang awam yang tak paham sejarah gereja sulit membedakannya.
Akibatnya pembaca buku tersebut dapat menganggap bagian-bagian fiksi sebagai
fakta.

Pelbagai fakta yang disisipkan oleh Dan Brown dalam novel fiksi ini antara
lain:

1. Detil ruangan Museum Louvre, tempat kisah ini dimulai, dan detil dari
kapel Rosslyn di Skotlandia, yang dikisahkan sebagai tempat disimpannya
cawan suci.

2. Penyelenggaraan Konsili Nicea atas permintaan Kaisar Konstantin, yang
juga menetapkan bahwa para pengikut Arius yang tak mempercayai keilahian
Yesus sebagai bidat.

3. Kedangkalan kekristenan Kaisar Konstantin, sehingga misalkan ia hanya mau
dibaptis menjelang saat ajalnya, dan diserapnya beberapa praktik agama kafir
ke dalam kehidupan gereja khususnya sejak Kaisar Konstantin mengeluarkan
edik toleransi pada tahun 313. Edik toleransi ini memang pada satu sisi
bersifat positif bagi orang Kristen karena penganiayaan terhadap mereka
dihentikan, namun di sisi lain bersisi negative sebab telah mengakibatkan
gereja mengalami kemerosotan spiritual sehingga terjerumus ke dalam
abad-abad kegelapan.

4. Sebagian dari detil lukisan The Last Supper, karya Leonardo Da Vinci yang
terdapat pada dinding gereja Santa Maria delle Grazie di kota Milan, Italia.

5. Serikat Piory of Sion dan Opus Dei yang memang ada dalam lingkup Gereja
Katolik. Hanya saja lembaga-lembaga tersebut didirikan bukan untuk melakukan
kegiatan rahasia seperti yang ditulis Dan Brown.

Di luar fakta tersebut bagian yang lain dari buku tersebut hanyalah fiksi,
khayalan Dan Brown. Data yang dikemukakannya tidak akurat, tafsirannya
melenceng dari fakta sesungguhnya. Namun karena gaya penyajiannya sangat
meyakinkan, maka pembaca yang tidak menggunakan nalarnya secara kritis akan
menganggap itu semua fakta yang benar.

Pembaca seperti ini akan mudah terperangkap dalam alur pikir Sophie, tokoh
dalam novel ini, saat ia terpengaruh oleh ceramah Leigh Teabing, yang
sesungguhnya adalah indoktrinasi dari Dan Brown. Sebaliknya apabila
ketidakakuratan dan tafsir yang melenceng tersebut diungkap, dan pada saat
yang sama ditunnjukkan bagian fiksi novel tersebut, maka dengan mudah
pembaca yang berpikiran jernih dan obyektif dapat menangkap kelicinan dan
kesalahan pandangan Dan Brown, dan sekaligus akan melihat kebenaran pokok
iman Kristiani.

Kebenaran Konsili Nicea?

Jauh sebelum Konsili Nicea, yang digelar pada tahun 325, gereja pada zaman
para rasul atau gereja mula-mula telah mengajarkan bahwa Yesus adalah Tuhan,
dan ini selaras dengan ajaran Yesus Kristus tentang diri-Nya kepada para
murid-Nya (lihat Injil Matius 16:13-20).

Beberapa bukti keyakinan gereja mula-mula ini dapat dilihat antara lain di
dalam kitab Didache (ditulis sebelum tahun 100), yang pada intinya
mengajarkan tentang praktika ibadah Kristiani dan dengan jelas menuliskan
pokok iman Kristiani:

Yesus adalah Tuhan.

Contoh yang lain adalah tulisan-tulisan Yustinus Martir, bapa gereja dan
apologet terkemuka pada awal abad kedua, yang dua abad sebelum Konsili Nicea
telah menegaskan keilahian Yesus Kristus.

Bukti lain adalah ajaran Uskup Irenaeus, dari Lungdunum, tokoh yang sangat
terpandang pada awal abad kedua, yang mengacu kepada tulisan dalam 1Korintus
8:6, yang berbunyi:

"Namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang daripada-Nya
berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja,
yaitu Yesus Kristus."

Dengan kata lain, ajaran Yesus adalah Tuhan sama sekali bukanlah ide Kaisar
Konstantin yang dalam agenda politiknya bermaksud menyatukan kaum kafir
dengan pemeluk agama Kristen di negara Romawi, dengan mencampurkan ajaran
kafir dan Kristen melalui Konsili Nicea.

Diakui dalam Konsili Nicea dirumuskan syahadat atau pengakuan iman
Kristiani, namun isi pengakuan iman tersebut bukanlah pemasukan ajaran baru
yang bersumber dari ajaran kafir ke dalam ajaran Kristiani. Kredo yang
dirumuskan itu merupakan penegasan inti jaran Kristiani yang sudah ada tiga
abad sebelumnya.
Penegasan ini dinilai perlu karena pada masa itu muncul ajaran baru yang
dikembangkan oleh Arius, seorang teolog dari Aleksandria, Mesir, yang
menyangkali keilahian Yesus.

Dan Brown melalui mulut tokoh yang ia ciptakan, Teabing, berkata bahwa di
dalam Konsili Nicea telah diadakan pemungutan suara, untuk menentukan apakah
Yesus adalah Tuhan atau manusia. Ia mengatakan bahwa voting tersebut
menghasilkan suara yang hampir seimbang di antara pendukung dan penentang
ajaran Yesus sebagai Tuhan.

Dalam realita sejarah, saat dilakukan pemungutan suara, dari tiga ratus
uskup yang hadir pada konsili tersebut hanya dua orang saja yang menentang
rumusan Pengakuan Iman Nicea.

Jadi sungguh jauh dari yang disebut oleh Dan Brown sebagai suara hampir
seimbang! Padahal sebagian besar dari para uskup yang hadir berasal dari
wilayah Timur, tempat Arius menyebarkan ajarannya.

Konstantin Penyusun Perjanjian Baru?

Dan Brown sangat benar saat ia menulis bahwa "Alkitab tidak datang dengan
cara difaks dari surga." Sebab kekristenan tidak mengajarkan bahwa setiap
kata dan kalimat di dalam Alkitab didikte dari surga kepada para penulisnya.
Tetapi Dan Brown sangat keliru saat mengatakan Konstantin-lah penyusun dan
yang memilih kitab Injil mana yang boleh dimasukkan ke dalam Perjanjian Baru
melalui Konsili Nicea.

Menurut Brown, Konstantin telah memilih kitab-kitab yang membuat Yesus
seakan adalah Tuhan, sedangkan semua kitab Injil yang berbicara tentang
segala perilaku manusiawi Yesus dikumpulkan lalu dibakar.

Dan Brown keliru, karena ia menyembunyikan fakta sejarah bahwa sesungguhnya
daftar yang baku, atau kanon, dari kitab-kitab Perjanjian Baru sudah
tersusun dua abad sebelum Konsili Nicea. Salah satu kanon yang paling
terkenal adalah kanon Muratorian yang disusun pada tahun 190.

Disitu dicantumkan dua puluh sembilan kitab dan surat Perjanjian Baru, dua
puluh tujuh kitab di antaranya sama persis dengan kanon Kitab Perjanjian
Baru yang ada saat ini, dengan dua tambahan yaitu kitab Wahyu kepada Petrus
dan kitab Hikmat Salomo.

Pada masa berikutnya para bapa gereja mengeluarkan kedua kitab tersebut dari
kanon Perjanjian Baru karena dipandang isinya tak setara dengan kitab-kitab
kanonik. Kanon lain adalah tulisan Irenaeus pada awal abad kedua, yang
mendaftarkan keempat Injil dalam Perjanjian Baru yang ada sekarang sebagai
kitab suci.

Jadi, dalam Konsili Nicea tidak disusun kanon Perjanjian Baru, tetapi
diperdebatkan keabsahan dari beberapa kitab yang ada di dalam kanon
Perjanjian Baru, khususnya kitab Ibrani dan Wahyu.

Alasan perdebatan tersebut karena pada kedua kitab tersebut tidak
dicantumkan nama sang penulis secara eksplisit seperti pada kitab-kitab
Perjanjian Baru lainnya. Bagi para pemimpin gereja di abad mula-mula
kejelasan nama penulis kitab atau surat sangat menentukan demi memastikan
kekokohan dari kanon.

Lebih lanjut Dan Brown mengatakan kumpulan kitab-kitab Injil yang sejati
yang dicoba dimusnahkan oleh Kaisar Konstantin ada yang berhasil
diselamatkan.

Kumpulan tersebut ditemukan kembali di Gua Qumran dekat Laut Mati pada tahun
1950-an, yaitu Dead Sea Scrolls, dan gulungan kitab di Nag Hammadi pada
tahun 1945.

Memang benar di kedua tempat itu ditemukan gulungan-gulungan kitab tersebut,
namun gulungan-gulungan tersebut bukan kitab Injil yang sejati!

Dead Sea Scrolls sama sekali tidak berisi sepotong pun kitab yang disebut
sebagai Injil, sebaliknya berisi fragmen-fragmen dari kitab-kitab Perjanjian
Lama yang isinya sangat persis dengan kitab Perjanjian Lama saat ini.
Sehingga ia justru membuktikan keakuratan isi kitab Perjanjian Lama dalam
Alkitab.

Dalam Dead Sea Scrolls juga ditemukan catatan tentang aturan kehidupan kaum
petapa Essenes, suatu kelompok agama Yahudi sebelum masa agama Kristen.

Sedangkan isi kitab-kitab di dalam gulungan Nag Hammadi sangat jauh untuk
dapat dikatakan sebagai Injil yang sejati. Kitab-kitab tersebut disebut
sebagai kitab Gnostik, yakni aliran kebatinan yang mulai muncul di gereja
sejak awal abad kedua.

Kitab-kitab dalam gulungan Nag Hammadi tersebut ditulis oleh pengikut aliran
ini pada akhir abad kedua sampai dengan abad kelima, bukan pada zaman para
rasul!

Kitab-kitab tersebut berisi dongeng dan mitos khas kaum Gnostik, mutu
etikanya kelewat rendah dan sangat bertentangan dengan doktrin Perjanjian
Lama tentang pribadi Allah sebagai Pencipta Langit dan Bumi, sehingga oleh
gereja mula-mula pun sama sekali tidak dipandang sebagai kitab yang suci.

Yesus Menikah?

Kesimpulan Dan Brown ini tanpa bukti ilmiah, sebab tak satu pun naskah pada
zaman para rasul dan bapa-bapa gereja yang mencatat bahwa Yesus menikah.
Namun, untuk mendukung pernyataannya Dan Brown menggunakan tiga "bukti."
Namun bila diteliti tiga "bukti" itu dengan mudah terlihat sebagai
kesimpulan yang gegabah.

"Bukti" pertamanya adalah lukisan The Last Supper karya Leonardo Da Vinci.
Tanpa dasar jelas ia mengatakan gambar orang berwajah halus, yang mirip
wanita, duduk di sebelah kanan Yesus di dalam lukisan tersebut adalah Maria
Magdalena!

Untuk membuktikan pendapatnya bahwa Yesus menikahi "Maria Magdalena"
tersebut, Dan Brown menggunakan metode otak-atik gathuk, istilah bahasa Jawa
yang berarti "diotak-atik supaya jadi cocok."

Dia mengotak-atik detil di dalam lukisan tersebut sedemikian rupa supaya
mendukung pernyataannya. Hanya saja ia tidak menyebutkan suatu fakta dalam
dunia seni bahwa para pelukis abad pertengahan, yaitu zamannya Leonardo Da
Vinci, seorang pria belia sering dilukis dengan wajah feminim. Hal yang sama
dilakukan Leonardo Da Vinci saat melukiskan wajah Yohanes, murid Yesus
Kristus yang termuda, dalam lukisan The Last Supper di atas.

"Bukti" kedua yang ia gunakan adalah pendapatnya bahwa dalam kepantasan
sosial pada zaman Yesus Kristus, bahwa seorang lelaki Yahudi terlarang untuk
tidak menikah. Menurut Brown, dalam adat Yahudi tidak menikah adalah hal
terkutuk. Jelas pernyataan ini tidak berdasar, sebab merupakan fakta sejarah
ada banyak pria Yahudi pada zaman itu yang menjadi nazir, yang karena alasan
keyakinan keagamaan ada di antara mereka yang tidak menikah. Sebagai contoh
adalah kaum Essenes yang menyimpan gulungan kitab Dead Sea Scrolls di atas.
Di samping itu merupakan suatu fakta pula bahwa orang
Yahudi sangat menghormati tokoh-tokoh di dalam Perjanjian Lama yang tidak
menikah, seperti nabi Daniel, yang adalah seorang sida-sida Yahudi di negara
Babilonia.

"Bukti" ketiga yang ia gunakan adalah Injil Philip yang menyebutkan bahwa
Yesus mencintai Maria Magdalena lebih dari pada seluruh murid-Nya dan Yesus
sering mencium Maria. Patut diketahui bahwa yang disebut sebagai Injil
Philip sesungguhnya sama sekali bukan kitab Injil, melainkan sebuah kitab
Gnostik yang ditulis sekitar pada abad ketiga.

Kitab ini disebut sebagai Injil Philip bukan karena ia ditulis oleh Rasul
Filipus, tetapi karena di dalam kitab Gnostik tersebut tidak disinggung nama
rasul-rasul Tuhan Yesus yang lain, kecuali hanya nama Rasul Filipus. Dan
Brown juga tidak menyebutkan bahwa Injil Philip yang ditemukan dalam
gulungan Nag Hammadi tersebut tidak ditulis di dalam bahasa Yunani ataupun
berlatar belakang bahasa Yunani sebagaimana layaknya kitab-kitab Perjanjian
Baru, namun di dalam bahasa Koptik, yaitu bahasa Mesir dan dengan latar
belakang bahasa Siria!

Kesimpulan

Sejak gereja berdiri dua ribu tahun yang lampau serangan terhadap
pokok-pokok iman Kristiani tidak pernah berhenti. Serangan tersebut berasal
dari kelompok bidat di dalam gereja sendiri, maupun dari orang-orang yang
tidak mempercayai Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juru Selamat manusia. Jadi,
hujatan dalam buku The Da Vinci Code bukan hal baru. Hanya saja kali ini
hujatan ini menjadi meluas karena ditunjang dengan sistem promosi dan
pemasaran yang sangat canggih, yang mendatangkan keuntungan finansial luar
biasa bagi pihak penulis dan penerbit buku ini.

Di samping itu juga karena di wilayah-wilayah tertentu di dunia buku ini
dipopulerkan oleh pribadi-pribadi yang tidak menginginkan terbangunnya
kerukunan umat beragama di tengah masyarakat.

Mengapa orang Kristen tidak menanggapi hujatan di dalam buku The Da Vinci
Code dengan amarah yang membabi-buta dan berbuat keonaran? Hal ini bukan
karena mayoritas orang Kristen yang terdidik mengetahui bahwa Yesus memang
seorang manusia yang karena manuver politik Konstantin telah dijadikan
Tuhan, sehingga tidak mampu menjawab hujatan tersebut (seperti dikatakan Dan
Brown di dalam bukunya). Justru sebaliknya, orang Kristen yang berpikir
obyektif, kritis dan memahami metoda ilmiah yang masuk nalar serta
mengetahui sejarah iman mereka, akan dapat melihat hujatan di dalam novel
The Da Vinci Code tersebut bersifat fitnah murahan.

Di samping itu orang Kristen menghayati firman Tuhan bahwa "Janganlah
membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua
orang!"

Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian
dengan semua orang!" (Roma 12:17-18).

Perilaku kasih ini bukanlah tanda kelemahan, justru sebaliknya kemampuan
untuk mengendalikan emosi secara dewasa merupakan bukti dari buah Roh
(Galatia 5:22) di dalam kehidupan orang yang hidup di dalam anugerah Tuhan.

Di sisi yang lain, buku-buku seperti The Da Vinci Code harus membuat orang
Kristen lebih giat lagi membaca dan mempelajari Alkitab, memahami
pokok-pokok ajaran iman yang sehat, dan sejarah gereja dengan baik.

Dengan demikian mereka akan dapat "menjadi seorang pelayan Kristus Yesus
yang baik, terdidik dalam soal-soal pokok iman dan dalam ajaran sehat yang
telah mereka ikuti selama ini." (1Timotius 4:6), serta mampu menjawab setiap
hujatan tersebut sesuai dengan nasihat firman Tuhan:

"Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab
kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang
pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat,
dan dengan hati nurani yang murni, supaya mereka, yang memfitnah kamu karena
hidupmu yang saleh dalam Kristus, menjadi malu karena fitnahan mereka itu."
(1Petrus 3:15-16).



[Non-text portions of this message have been removed]



** MABINDO - Forum Diskusi Masyarakat Buddhis Indonesia **

** Kunjungi juga website global Mabindo di http://www.mabindo.org **




SPONSORED LINKS
Buddha Buddhism Buddhism religion
Different religions beliefs


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke