The Grazy MIND (kelanjutan The Power of MIND) Pada awalnya bentol-bentol alergi terhadap jamur, dan kadang muncul seenak udel tanpa sebab jelas itu, cukup menganggu hidupku.
Tapi syukurlah, suatu ketika bentol-bentol itu muncul lalu aku bawa dalam meditasi, ajaib dan susah dipercaya, alergi yang hampir âmembunuhkuâ itu lenyap dalam 15 menit. Jadi merupakan hal wajar berpegian dengan guruku terkasih, beliau suka melihatku duduk meditasi dalam kamar dengan jubah melilit menyelimuti tubuh dari ujung kepala sampai kaki saat alergi itu muncul. Aku tak pernah minum obat mengatasi alergi ini, cukup dibawa meditasi anapanasati samata bhawana yang aku praktekkan saat itu, selesai. Seolah kehilangan taringnya, tak lama setelah jadi samanera bentol-bentol ini lenyap dan tak pernah muncul lagi sampai sekarang. Sedangkan alergi terhadap jamur itu ikut menghilang. Selanjutnya, tahun 2004 aku berkunjung ke Myanmar untuk kedua kali. Setelah mengikuti Fourth World Buddhist Summit, aku melanjutkan perjalanan ke Panditarama Forest Monastry. Semula sempat bingung, nanti bagaimana? Karena aku merasa sudah âpinterâ, sudah bisa mengamati gerak pikiran (baca âKembali ke MYANMARâ) Jadi sikap dan gerak-gerik saya sesuai intruksi di Shwe Oo Min center just rileks, santai saja. Berjalan tak terlalu lambat, yang penting menyadari gerak-gerik pikiran. Saat di ruang makan pun aku bergerak santai. Bahkan dalam hati aku meremehkan mereka yang focus dan serius, aku bertindak sebaliknya, menunjukkan senyum dan keramahanku. Barulah saat interviue dengan guruku terkasih U Tamana Kyaw Sayadaw keesokan pagi, aku menyadari telah diamati sejak kemarin. âKalau tak salah, kamu yogi yang dulu ditabis di sini, bukan?â âBetul, Bhante,â kataku beranjali menunduk. âWaktu itu kamu ke India?â tanyanya yang diterjemahkan seorang ibu dokter penerjemah. âBetul, Bhante.â âDi India kamu kemana saja?â âSaya ziarah, Bhante. Ke tempat-tempat suci Agama Buddha.â âOoâ¦â katanya senang. Kemudian beliau melanjutkan âsetahu saya, dulu kamu yogi yang serius dan bagus. Saya harap kamu mempertahankan sikap yang dulu, kalau tidak, kamu tak akan mendapat kemajuan di sini.â Deg, tiba-tiba aku menyadari, sikap yang memang tak seserius dulu. Dalam hal berjalan, aku selalu mendahului yogi-yogi lain yang bergerak seperti keong. Lambattt banget. âYah, Bhante,â kataku menunduk kian dalam. Malu bercampur takut. âMasih ada yang ingin dilaporkan?â âTidak, Bhante.â Ia berkata sesuatu pada penerjemahnya, lalu penerjemahnya mengatakan, ânow you can go.â Aku namaskara tiga kali perlahan-lahan, lalu bergerak slow motion meninggalkan ruangan interview. Sejak itu, aku kembali pada metode Mahasi di Panditarama Forest Monastry yang serius dan keras. Berjalan sangat lambat. Aku menjadi serius dan tak banyak mengumbar keramahan, terutama saat makan. Benar-benar kembali hidup di dunia sendiri. Hari terus berjalan, hingga suatu pagi saat bangun dan mandi jam 3 pagi, aku merasa gerakanku sangat lambat dalam arti bukan aku yang mengontrolnya, tapi gerakan itu melambat dengan sendirinya. Rasanya enak juga, aku tak usah melambatkan gerakanku, tapi ia melambat sendiri, jadi tak butuh usaha lagi, hehe. Saat interviu dengan Sayadaw, ia tertawa yang terdengar dari gelaknya. Aku agak tenang, berarti gerak lambat sendiri ini bukan sebuah kesalahan. U Tamana Kyaw Sayadaw, guruku terkasih kemudian bertanya, âapakah pusaran di ubun-ubun kamu sudah hilang? Saya ragu.. berpikir sebentar, âsudah,â kataku. âApa yang kau lihat?â Tanya Sayadaw. âHmâ¦tidak jelas,â kataku. âMungkin belum cukup bersih,â tambahnya, âdan kami melihat gerakkanmu juga belum cukup lambat,â tambahnya lagi sambil tersenyum. Berdasarkan pengalaman interviuw, aku bisa tahu meditasiku di trek yang benar atau tidak dari nada suara Sayadaw. Bila nadanya lembut berarti baik, bila suaranya tegas berarti ada yang tak beres. âAda lagi yang ingin kau laporkan?â âHm..aku ragu, sepertinya aku memiliki kekuatan aneh,â kataku sejurus kemudian. âDalam vipassana tak ada keraguan, yang ada hanya kepastian,â kata sayadaw tegas. âSaat meditasi, tanganku bergerak sendiri. Membentuk mudra-mudra, dan sepertinya itu memiliki kekuatan,â kataku. âDalam vipassana yang ada hanya kepastian. Disadari saja, itu akan berhenti.â kata sayadaw lagi dengan tegas. Ups aku menyadari kekeliruanku. Semakin hari, dengan obyeb meditasi yang kian abstrak dan hal aneh yang aku alami (baca âBagai Ular Melompat dari Jidatâ), sepertinya aku makin tak tahu apa-apa dan muda melakukan kesalahan mendasar tanpa menyadarinya. Di lain pihak, nasehat Sayadaw manjur sekali, begitu aku meletakkan kesadaran pada tangan yang akan bergerak sendiri, tangan itu tiba-tiba lemas dan tak berhasil bergerak diluar kesadaranku. Tapi efek dan perkembangan lebih lanjut berjalan sangat cepat. Jadwal interview dua hari sekali tak memadai lagi dengan peristiwa-peristiwa aneh yang aku alami. Namun, untuk bertemu sayadaw di luar jadwal adalah hil yang mustahal. Bagaimana kerasnya aku memohon, biku-biku pengawas di meditation hall tak memberiku kesempatan. Mungkin juga mereka tak berani menyampaikan pada Sayadaw, jawaban mereka selalu akan disampaikan atau Sayadaw tak ada di tempat, Sayadaw sedang mengajar di tempat lain, Sayadaw sedang istirahat. Celakanya, oleh pengalaman kian aneh diluar nalar dan tak ada sumber pemberi masukan sesuai kapasitas pengetahuannya inilah, hingga suatu malam di dalam kuti yang gelap, di dalam hutan yang sunyi, gerakan-gerakan abstak itu berhasil menjebol kesadaranku, membuat malam itu sebagai malam pertempuran batin yang panjang, menakutkan, dan melelahkan. Menjelang fajar aku akhirnya menyadari, semalaman aku bertempur dengan imajinasi-imajinasi yang diciptakan pikiranku sendiri. Tentang âpertempuran ituâ akan diceritakan di tulisan berikutnya. Sunda Kelapa, 14 Februari 2009 (3.32 am) Harpin Sumber: http://harpin.wordpress.com