Keterangan dan penjelasan yang sangat bagus, ditunggu kelanjutannya…

 

Terima kasih.

 

From: MABINDO@yahoogroups.com [mailto:mabi...@yahoogroups.com] On Behalf Of
Hudoyo Hupudio
Sent: 15 Februari 2009 19:36
To: patria_...@yahoogroups.com; famb...@yahoogroups.com;
b...@yahoogroups.com; daunbodhiindone...@yahoogroups.com;
MABINDO@yahoogroups.com; f...@yahoogroups.com; mahasa...@yahoogroups.com;
dharmaj...@yahoogroups.com; kmbui_sale...@yahoogroups.com;
samaggiph...@yahoogroups.com
Subject: [MABINDO] Memahami NIBBANA secara benar

 

[Dalam ajaran Sang Buddha, 'nibbana' adalah pengertian yang sangat sulit
dipahami. Sangat sulit karena biasanya umat Buddha memikirkan 'nibbana'
tanpa melepaskan diri dari sudut pandang diri/aku-nya.

Banyak umat Buddha salah kaprah memahami 'nibbana' ini. Misalnya, sering
kita dengar, ketika ada umat Buddha meninggal dunia: "Semoga ia segera
masuk ke dalam 'nibbana', Kebahagiaan Tertinggi", atau "Semoga ia
memperoleh kehidupan kekal di dalam 'nibbana'." Ini adalah kekeliruan
fatal dalam memahami 'nibbana'.

Bersama ini saya sajikan tulisan alm Nanavira Thera untuk menjelaskan
masalah 'nibbana'./Hudoyo]

NIBBANA & ANATTA

Oleh: Nanavira Thera

"Atthangatassa na pamaanam atthi
Yena nam vajju tam tassa natthi
Sabbesu dhammesu samuuhatesu
Samuuhataa vaadapathaa pi sabbeti"

(Suttanipaata, Upasívamaanavapucchaa)

"Tentang dia yang telah pergi, tiada lagi ukuran
Tentang dia tiada apa pun yang dapat dikatakan ada
Ketika segala sesuatu telah tanggal seluruhnya
Segala cara menyebut pun tanggal seluruhnya."

I. NIBBAANA, ATTAA & ANATTAA

Adalah kesalahan yang umum untuk berpendapat bahwa suatu kuantitas negatif
berarti 'ketiadaan' (nothing), dan bahwa dengan demikian bagaimana pun
juga itu "tidak ada/tidak eksis". Suatu kuantitas negatif menggambarkan
suatu operasi pengurangan: menggambarkan perbedaan antara suatu keadaan
sebelumnya dibandingkan keadaan sesudahnya. Misalkan ada delapan jeruk
dalam seonggok buah jeruk, lalu dimakan tiga jeruk, maka tersisa lima
jeruk; dengan membandingkan onggokan itu sebelum dan sesudah buah jeruk
diambil, kita bisa berkata, bahwa onggokan belakangan adalah onggokan
terdahulu "minus tiga jeruk". Perbedaan antara kedua onggokan itu
dinyatakan sebagai kuantitas negatif, tetapi tidak seorang pun akan
berkata bahwa perbedaan itu "tidak ada". Bahkan seandainya semua jeruk
diambil dan tidak ada lagi yang tersisa, pembandingan akan memberikan
perbedaan "minus delapan", dan bukan "tidak ada apa-apa"; lagi-lagi,
perbedaan itu bukan fiksi.

Dengan cara yang sama, suatu pernyataan bahwa 'nibbaana', atau kepadaman,
adalah negatif, bahwa itu adalah 'pemusnahan', atau 'ketiadaan', atau
'pengakhiran', tidak berarti bahwa itu "tidak ada/tidak eksis", bukan pula
berarti bahwa itu sesuatu yang mitikal atau tidak nyata, bukan pula bahwa
itu "ketiadaan" (nothing); itu sekadar berarti--seperti akan kita
lihat--bahwa 'nibbaana' adalah 'perbedaan' esensial antara suatu keadaan
sebelum dan sesudahnya, antara seorang biasa dan seorang Arahat.

Apa yang dikatakan Sang Buddha tentang 'nibbaana'? Mungkin tidak ada
uraian yang lebih lengkap daripada yang diberikan dalam Sutta berikut:

"Saya mendengar ini dikatakan oleh Sang Bhagava, Sang Arahat:
'Para bhikkhu, ada dua Unsur Kepadaman (nibbaanadhaatu). Apakah yang dua
itu?
Unsur Kepadaman Dengan Sisa (saupaadisesaa) dan Unsur Kepadaman Tanpa Sisa
(anupaadisesaa).

Para bhikkhu, yang manakah Unsur Kepadaman Dengan Sisa?
Para bhikkhu, seorang bhikkhu adalah Arahat, yang arus kotoran batinnya
(asava) telah musnah, yang telah menjalani hidup dan melakukan apa yang
harus dilakukan, telah meletakkan beban, mencapai kesejahteraannya
sendiri, memusnahkan kelekatan pada kehidupan, yang bebas melalui
pemahaman benar. Di dalam dirinya tersisa lima daya (indriyaa); karena
belum hancur ia menderita hal-hal yang enak dan yang tidak enak, ia
mengalami hal-hal yang nikmat dan yang menyakitkan. Musnahnya nafsu,
kebencian dan ketidaktahuan, para bhikkhu, itulah yang dinamakan Unsur
Kepadaman Dengan Sisa.

Para bhikkhu, yang manakah Unsur Kepadaman Tanpa Sisa?
Para bhikkhu, seorang bhikkhu adalah Arahat ...(dst)... Para bhikkhu,
semua perasaannya, yang tidak lagi menyenangi apa yang ada di sini
sekarang, akan menjadi dingin; inilah, para bhikkhu, yang dinamakan Unsur
Kepadaman Tanpa Sisa.

Inilah, para bhikkhu, kedua Unsur Kepadaman.'

Sang Bhagava mengucapkan kata-kata itu. Ini pula yang dikatakannya:

'Kedua Unsur Kepadaman ini telah dijelaskan
Oleh Yang Tak Terbelenggu, Sang Suci, Sang Waspada:
Di sini, melalui penghancuran semua yang membawa pada keberadaan,
Satu Unsur Dengan Sisa masih ada, dalam hidup ini;
Dan satu Unsur Tanpa Sisa, yang akan datang
Di mana makhluk-makhluk (eksistensi) semuanya berakhir.
Batin mereka yang mengetahui keadaan tak terbentuk ini
Bebas, melalui penghancuran semua yang membawa pada kehidupan:
Intisari Ajaran tercapai, orang-orang ini bersukacita
Dalam pemusnahan, segala keberadaan ditanggalkan.'

Kata-kata ini juga diucapkan oleh Sang Bhagava, demikian kudengar."
(Itivuttaka, Dukanipaata, II,7)

Kelima 'khandhaa', atau kumpulan, yang membentuk makhluk hidup, bersama
dengan seluruh pengalamannya tentang dunia, berada dalam keadaan berubah
terus-menerus. Semuanya terus-menerus muncul dan lenyap kembali, dan
sekalipun jasmani ini mungkin tampak berubah perlahan-lahan, tetapi
perubahan dalam batin dapat dilihat saling susul-menyusul berturut-turut
dengan cepat. Dan selama 'raaga', 'dosa' dan 'moha'--nafsu, kebencian dan
ketidaktahuan--belum musnah, kelima 'khandhaa' itu akan terus-menerus
muncul dari satu kehidupan ke kehidupan lain.

"Tanpa menanggalkan keserakahan, kebencian dan ketidaktahuan, orang tidak
bebas dari kelahiran ..."
(Anguttara Nikaya,II,i.6)

Seorang Arahat adalah orang yang telah berhasil memusnahkan untuk
selamanya nafsu, kebencian dan ketidaktahuannya: penghancuran inilah,
seperti diuraikan di atas, yang dinamakan 'saupaadisesaa nibbaanadhaatu',
atau Unsur Kepadaman Dengan Sisa. Landasan yang tersisa--yang berasal dari
nafsu, kebencian dan ketidaktahuan yang telah lalu--dan memungkinkannya
untuk mengalami sensasi kenikmatan dan kesakitan sementara ia masih hidup.
Namun ia tidak bersukacita dalam, dan tidak terpengaruh oleh, berbagai
perasaan ini, oleh karena ia telah memusnahkan nafsu, kebencian dan
ketidaktahuan; dan bila ia meninggal, perasaan-perasaannya berakhir. Itu
berarti: kelima dayanya (indriyaa) runtuh pada saat meninggal dunia, dan
oleh karena tidak lagi mempunyai nafsu, kebencian dan ketidaktahuan, ia
bebas dari kelahiran kembali; dengan demikian, daya (indriyaa) tidak akan
ada/eksis lagi, dan karena itu tidak ada lagi sensasi baru yang bergantung
pada itu--dengan kata lain, perasaannya "akan menjadi dingin":

"Para bhikkhu, seperti lampu minyak menyala bergantung pada minyak dan
sumbu, dan hanya karena berakhirnya minyak dan sumbunya, tanpa pendukung
lagi, itu padam; begitu pula, para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu
mempunyai perasaan bahwa jasmani ... dan hidup ... ini berakhir, ia
memahami, 'Saya mempunyai perasaan bahwa jasmani ... dan hidup ... ini
berakhir', dan ia memahami, 'Dengan rusaknya tubuh dan berakhirnya hidup,
maka semua perasaan, yang tidak disenangi lagi, di sini & sekarang akan
menjadi dingin.'"
(Vedanaa Samyutta, 7)

Bukan hanya perasaan yang padam pada saat kematian seorang Arahat, tetapi
juga seluruh kelima 'khandha'--yang membentuk makhluk hidup--yang tidak
terpisahkan, tidak lagi muncul:

"Tubuh (kaayo) hancur, persepsi (sa~n~naa) berakhir, semua perasaan
(vedanaa) menjadi dingin,
Bentukan (sankhaaraa) berhenti, kesadaran (vi~n~naana) lenyap."
(Udaana, VIII,9)

Inilah yang dinamakan 'anupaadisesaa nibbaanadhaatu', atau Unsur Kepadaman
Tanpa Sisa.

[bersambung]
==========================================




  ----------


  ----------


No virus found in this outgoing message.
Checked by AVG - www.avg.com 
Version: 8.0.237 / Virus Database: 270.11.1/1961 - Release Date: 02/19/09 
18:45:00


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke